Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERDANDAN rapi dengan setelah jas hitam lengkap, Saiful Syamsudin, 46 tahun, mendatangi gedung Divisi Hubungan Masyarakat Markas Besar Kepolisian RI, Selasa pekan ketiga Agustus lalu. Di ruang rapat lantai dua, bekas bintara polisi ini ditemui Kepala Divisi Humas Brigadir Jenderal Iskandar Hasan.
Kepada Iskandar, yang juga bekas atasannya di Kepolisian Resor Aceh Utara, Saiful menunjukkan segepok dokumen. Dokumen itu berupa kliping berita dari berbagai media, serta surat-surat Saiful selaku Direktur Utama PT Banda Kersa kepada beberapa lembaga negara, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Pers, Sekretariat Negara, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Komisi Kepolisian Nasional. ”Ada juga nota dinas yang menyatakan Polri harus membayar tanah saya. Nanti saya bisa tunjukkan,” kata Saiful. Iskandar sendiri mengamati dokumen itu dengan saksama.
Nota dinas yang dimaksud Saiful dikeluarkan oleh Divisi Pembinaan Hukum pada akhir Desember 2006. Berisi saran kepada Kepala Polri agar membayar tanah PT Banda Kersa. Isi nota itu dianggap Saiful sebagai janji Polri.
Pria dengan pangkat terakhir sersan mayor itu mengklaim telah berkali-kali menagih janji tersebut kepada Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Namun selalu dijawab, ”Nanti, nanti dibayar,” Saiful melanjutkan ceritanya. Hingga kini Saiful belum menerima pembayaran tanahnya.
”Ya, kalau sudah begitu, ikuti saja prosesnya,” Iskandar memberikan saran. Kepada Saiful, Iskandar, yang belum satu bulan menjabat Kepala Divisi Humas, mengaku belum tahu persis duduk persoalan antara PT Banda Kersa dan Polri.
Awal munculnya persoalan Saiful sebagai Direktur Utama PT Banda Kersa dengan Kepolisian RI terjadi pada 11 Desember 1996. Saat itu dilakukan penandatanganan perjanjian hibah atas lahan milik PT Banda Kersa, milik mertua Saiful, Hamzah Risjad, kepada Kepolisian Daerah Aceh. Dalam perjanjian disebutkan Banda Kersa menyerahkan lahan miliknya kepada kepolisian.
Tanah itu rencananya akan digunakan untuk pembangunan lapangan tembak dan Markas Kompi Brigade Mobil di Lhokseumawe, Aceh. Di situ juga disyaratkan bahwa Banda Kersa selaku kontraktor pembangunan markas dan lapangan. Namun, jika pembangunan dilakukan pihak selain Banda Kersa, Polda Aceh harus membayar ganti rugi lahan tersebut.
Kedua belah pihak sepakat. PT Banda Kersa sebagai kontraktor pembangunan markas. Tanah Banda Kersa yang terletak di Desa Blang Ado dan Jeulikat, Kecamatan Kuta Makmur dan Blang Mangat, Aceh Utara, dengan status hak guna usaha, tak dipersoalkan lagi.
Masalah kemudian muncul saat proses pembangunan akan dimulai. Secara diam-diam Polda Aceh ingkar janji dengan menggandeng empat perusahaan selain Banda Kersa, yakni CV Kenari Indah, CV Paramitra, CV Young Star, dan CV Putra Kalit. Nama keempat perusahaan ini tak pernah tercantum dalam perjanjian hibah. Nama Banda Kersa dicoret dari daftar pemborong.
Kepolisian belakangan juga mempersoalkan kepemilikan lahan tersebut oleh Banda Kersa. Perjanjian hibah yang sempat ditandatangani kedua belah pihak dianggap batal demi hukum. Alasannya, hibah tersebut melanggar Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengaturan Hak Guna Usaha.
Dalam undang-undang itu disebutkan tanah dengan status hak guna usaha tidak boleh dijual atau dipindahtangankan tanpa seizin Menteri Agraria saat itu, yang sekarang disebut Badan Pertanahan Nasional. Dari penelusuran polisi, alasan pengalihan tanah menjadi hak guna usaha atas nama PT Banda Kersa adalah untuk beternak sapi. Namun sudah sepuluh tahun lebih di lokasi tersebut tidak ada usaha ternak sapi. ”Dengan kata lain, perjanjian hibah Banda Kersa dengan Polda Aceh batal demi hukum,” kata Inspektur Jenderal Paulus Purwoko, yang menjabat juru bicara Polri pada 2006.
Tak cukup sampai di situ, polisi juga mengklaim menerima pengaduan masyarakat yang berkeberatan dengan pemberian HGU kepada PT Banda Kersa. Alasannya, di lokasi tanah yang diklaim oleh Banda Kersa sudah ada warga masyarakat yang menempati. Walhasil, polisi kesulitan merealisasi proyek pembangunan Markas Brimob.
Sampai akhirnya ada empat perusahaan di luar Banda Kersa yang membeli tanah-tanah itu dari warga dan menghibahkannya ke Polda Aceh. Empat perusahaan inilah yang kemudian menjadi pemborong proyek pembangunan Markas Brimob dan lapangan tembak.
Pada saat bersamaan dengan proses pembangunan proyek, Saiful, yang saat itu berdinas di Unit Reserse dan Intelijen Kepolisian Resor Aceh Utara, justru diberhentikan dengan tidak hormat dari dinas kepolisian. Saiful dianggap lari dari tugas dengan tidak masuk kantor selama 16 bulan.
Padahal waktu itu Saiful mengantongi memo dari Kepala Polda Aceh Brigadir Jenderal Bachrumsyah, karena terlibat pengerjaan proyek perumahan bagi anggota kepolisian. Namun, ”Dengan adanya memo itu bukan berarti tidak masuk dinas dan apel,” kata Purwoko.
Di tanah yang diklaim milik PT Banda Kersa kini telah berdiri Markas Komando Brimob. Namun, sejak 2001, Saiful tak lelah bergerak menuntut haknya, bahkan sampai sekarang. Tak cukup di Negeri Serambi Mekah, dia menyeberang hingga jauh ke Ibu Kota Jakarta mengadu ke Kepolisian RI, DPR, Sekretariat Negara, hingga KPK.
Awal 2006, Kepala Polri waktu itu, Jenderal Sutanto, telah membentuk tim untuk menindaklanjuti pengaduan Saiful. Dipimpin Inspektur Pengawasan Umum saat itu, Komisaris Jenderal Didi Widayadi, tim melakukan pengecekan lokasi tanah Markas Brimob di Aceh.
Tim kemudian memberikan disposisi agar kasus ini diselesaikan oleh Deputi Logistik yang kemudian meneruskan ke Divisi Pembinaan Hukum. November 2006, Divisi Pembinaan Hukum memberikan rekomendasi kepada Kepala Polri untuk membayar tanah PT Banda Kersa dengan harga sesuai dengan nilai jual obyek pajak 2004. Saiful menyebut angka Rp 55 miliar untuk nilai 10 hektare tanahnya berdasarkan NJOP 2004. ”Itu kesepakatan saya dengan tim dari kepolisian,” kata Saiful.
Tapi, menurut Kepala Bidang Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Marwoto Soeto, berdasarkan saran Deputi Logistik kepada Kepala Polri, Polri hanya akan membayar Rp 900 juta. ”Itu pun pembayarannya secara bertahap,” kata Marwoto, Kamis pekan lalu. Namun Marwoto mengaku tidak tahu apakah janji itu sudah direalisasi atau belum. Adapun menurut Saiful, nilai Rp 900 juta itu hanyalah klaim sepihak dari Polri. Sebab, faktanya NJOP untuk tanah di Lhokseumawe itu sudah di atas Rp 2 juta.
Pada Mei 2007, terbit surat dari Kepala Bagian Pengaduan Masyarakat Inspektorat Pengawasan Umum Polri kepada Komisi Kepolisian Nasional. Surat itu menjelaskan bahwa persoalan tanah Mako Brimob dan lapangan tembak di Aceh telah selesai. Perjanjian hibah antara Banda Kersa dan Polda Aceh sebagai dasar Saiful menuntut ganti rugi cacat hukum. Disebutkan dalam surat itu bahwa tanah yang digunakan untuk pembangunan Mako Brimob telah terbit sertifikatnya dengan status hak guna pakai atas nama polisi. ”Saya malah belum tahu surat itu,” kata Marwoto.
Toh, Saiful bertekad tak akan berhenti menagih janji Kepolisian RI: membayar tanah PT Banda Kersa senilai Rp 55 miliar. Hampir setiap Jumat, Saiful mencegat Kepala Polri yang salat di masjid kompleks Markas Besar.
Jumat pekan lalu, Saiful sengaja salat di belakang saf Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri. Seusai salat, dia menanyakan janji Polri tersebut. Jawaban Kepala Polri sama seperti sebelumnya, Saiful hanya mendapat senyum dan anggukan. ”Sampai kapan pun akan saya tagih. Hari ini dibayar, hari ini saya berhenti menagih,” kata Saiful.
Erwin Dariyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo