Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#FF0000>Antasari Azhar: </font><br />Seperti Ada yang Menyetel

25 April 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua kebiasaan baru Antasari Azhar selama setahun dua bulan menghuni penjara Tangerang: bersepeda saat sore dan baca buku biografi. Katanya, bersepeda membuatnya bugar dan segar. Ia juga menulis. Bekas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi ini sudah merampungkan draf buku berjudul Strategi Penegak Hukum Abad 21.

Antasari sedang menulis berkas peninjauan kembali yang akan diajukan ke Mahkamah Agung. Dia menilai hakim mengabaikan bukti, yang membuatnya dihukum 18 tahun karena dituduh terlibat pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Putra Rajawali Banjaran. ”Saya akan terus melawan,” katanya. Antasari berapi-api menjawab pertanyaan Ayu Cipta dari Tempo, yang menemuinya Jumat sore pekan lalu.

Bagaimana Anda kenal Rani Juliani?

Dulu saya main golf di Modernland. Saya tahu Rani, tapi dia tak pernah jadi caddy saya. Lalu saya pindah ke Pondok Indah. Setelah saya jadi Ketua KPK, dia mengirim SMS menawarkan jadi member di Modernland kembali. Semula tak saya tanggapi karena saya tak kenal nomornya.

Suami Rani, Nasrudin Zulkarnaen, mempersoalkan hubungan Anda. Ia meneror?

Ceritanya begini. Pada 1 Januari 2009, saya dan istri sedang merayakan ulang tahun perkawinan di Bali. Istri saya menerima telepon dari seseorang yang mengatakan, ”Suamimu meni­duri perempuan.” Kemudian saya meminta staf KPK mendeteksi telepon itu. Ini gangguan terhadap pejabat negara.

Anda minta staf KPK menyadap?

Bukan. Saya hanya minta mendeteksi. Hasilnya, ada banyak nomor telepon, termasuk nomor Nasrudin. Tapi itu telepon Nasrudin ke telepon saya, bukan Nasrudin ke istri saya. Dan tak ada hubungan antara nomor Nasrudin dan nomor yang menelepon istri saya.

Anda merasa terteror?

Sudah biasa. Di kantor saya ada menyan. Lalu Johan Budi (juru bicara KPK) juga melapor diteror. Istri saya didatangi dua orang sehabis belanja dan mereka mengulang ucapan di telepon. Wajar dong saya peduli.

Ada dua saksi yang melihat SMS teror Anda di telepon Nasrudin….

Hasil teknologi menunjukkan selama Februari saya tak pernah mengirim SMS kepada Nasrudin. Dua saksi itu waktu di pengadilan seperti ada yang menyetir. Jeffry Lumampouw seperti orang sakit. Lalu Etza belum ditanya sudah menangis. Waktu pengacara saya tanya, yang menjawab jaksa.

Staf KPK mengaku mendengar Anda mengatakan ”dia atau saya yang mati”. Benar itu ucapan Anda?

Dia itu siapa? Ini kesaksian Budi Ibrahim (Direktur Pengolahan Informasi dan Data KPK) dan Ina Susanti (analis informasi). Waktu itu ceritanya, saat saya ngobrol dengan Ina, Pak Bibit Samad Rianto (Wakil Ketua KPK) pingsan di ruangannya. Saya bilang, wah, ini cobaan berat. Waktu itu kami sedang meneliti kasus teknologi informasi di Komisi Pemilihan Umum, upah pungut di Kementerian Dalam Negeri, dan korupsi pengadaan radio komunikasi di Kementerian Kehutanan. Juga korupsi RNI yang dilaporkan Nasrudin. Saya minta terus dipantau karena yang jadi tersangka kok direktur keuangan. Seharusnya direktur utama juga.

Jadi siapa yang mengatakan ”dia atau saya yang mati”?

Itu pengakuan Ina di sidang. Dia seperti disetel. Waktu Pak Bibit pingsan, saya hanya bilang, ”Kita harus konsentrasi ke Pak Bibit.” Penekanan kalimat itu diartikan saya merencanakan pembunuhan.

Pertemuan di rumah Sigid Haryo Wibisono itu membicarakan apa?

Dia menelepon minta saya mampir. KPK dan Harian Merdeka sedang bekerja sama dalam rubrik Publik Bertanya KPK Menjawab. Sigid mengenalkan Wiliardi Wizar. Tak ada pembicaraan apa-apa kok disebut merencanakan pembunuhan?

Tapi ada amplop yang isinya uang dan foto Nasrudin….

Soal amplop baru muncul saat rekonstruksi. Saya protes, ”Sigid apa-apaan ini?” Penyidik bilang amplop itu pernyataan Sigid. Saya tidak teken berkas rekonstruksi. Sigid sudah disetel. Targetnya saya.

Anda selalu bilang disetel. Siapa menyetel?

Begini. Waktu kantor saya digeledah, polisi membawa tiga bundel berkas laporan masyarakat: BLBI, laporan teknologi informasi KPU, dan satu lagi saya lupa. Berkas itu tak dikembalikan lagi. Saya heran kenapa cuma tiga itu yang diambil dan yang lain tidak.

Kenapa Anda baru mengungkap sekarang?

Saya menunggu hasil uji hakim di pengadilan banding dan kasasi. Sekarang saya bisa teriak kasus saya direkayasa. Kalau hakim pakai nurani, mereka akan membongkar telepon saya. Mereka akan tahu saya tak mengirim SMS ke Nasrudin. Juga baju Nasrudin, di mana sekarang? Hasil uji balistik dan forensik menunjukkan peluru dan pistolnya janggal.

Apa benar Anda menyimpan rekaman percakapan petinggi republik ini dengan seorang pengusaha dalam kasus teknologi informasi KPU?

Wah, ini pertanyaan nakal. (Diam sesaat.) Saya belum mau omong dulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus