Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budiyanto tampak tak tenang. Rabu pekan lalu, kuasa hukum Intercontinental, korporasi hotel asal Amerika Serikat, itu duduk mendengarkan putusan majelis hakim di ruang sidang Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Anggota staf kantor hukum George Widjojo and Partners itu menunggu putusan atas gugatan kliennya.
Ketua majelis hakim Nani Indrawati membacakan amar putusan yang menolak seluruh gugatan yang dilayangkan klien Budi terhadap PT Lippo Karawaci, akhir Januari lalu. Hakim menilai Lippo berhak menggunakan jenama yang nyaris sama untuk apartemen miliknya, The Intercontinental.
Hakim berpendapat tidak ada persamaan di antara jenama yang disengketakan, baik berdasarkan bentuk tulisan maupun logonya. Bahkan selama tiga bulan beperkara di pengadilan, kata Nani, ”Penggugat tidak bisa membuktikan tuduhannya soal pendomplengan ketenaran.”
Kasus rebutan nama Intercontinental ini meletik ketika korporasi perhotelan Intercontinental merasa ada yang merayah nama dagang miliknya dan menumpang beken. Yang dituding adalah PT Lippo Karawaci, yang menggunakan jenama The Intercontinental untuk apartemennya.
Perusahaan jaringan hotel internasional asal Georgia, Amerika Serikat, itu menganggap hanya mereka yang berhak menggunakan nama Intercontinental. Nama itu sudah didaftarkan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 16 Juli 1993. Jauh lebih lama dibanding Lippo, yang baru mendaftarkan mereknya pada 20 Oktober 2008.
Mereka meminta pengadilan membatalkan pendaftaran merek yang diajukan Lippo. Pemerintah dianggap lalai memberikan peluang kepada Lippo mendaftarkan mereknya. Namun hakim memutuskan tak perlu membatalkan nama Intercontinental milik Lippo. ”Pemerintah bisa membuktikan pendaftaran merek oleh Lippo sah,” ujar Nani.
Kuasa hukum Lippo, Ludiyanto, menjelaskan kepada Tempo, sejak awal yakin bakal menang. Menurut dia, penggugat tidak memiliki dasar yang kuat dalam memperkarakan merek Intercontinental. Terutama ketidakcermatan melihat perbedaan kelas perlindungan merek di antara dua jenama itu.
Merek yang didaftarkan Lippo melindungi kelas 36, yaitu jasa apartemen. Sedangkan penggugat melindungi kelas 43, yaitu jasa perhotelan. Lagi pula bentuk tulisan, warna, dan logo terdaftar di antara kedua merek itu sama sekali berbeda. ”Putusan itu membuktikan merek mereka tidak diakui sebagai merek ternama,” katanya.
Korporasi Intercontinental tidak mau menyerah. Budiyanto menegaskan, kliennya pasti melakukan kasasi ke Mahkamah Agung. Ia menilai hakim tidak memberikan penilaian terhadap persamaan label dagang secara keseluruhan. ”Hakim hanya mempertimbangkan perbedaan kelas perlindungan produk yang dilindungi,” katanya.
Sengketa jenama, dalam pandangan ahli hukum bisnis dari Universitas Indonesia, Agus Sardjono, terjadi bila ada pihak yang merasa dirugikan dengan terbitnya jenama yang identik dengan produk atau jasa yang mereka miliki. Sengketa ini merupakan pertarungan produk intelektual. ”Merek pantas disengketakan karena mengandung nilai ekonomi bagi si pengusaha,” katanya.
Kubu Intercontinental khawatir, Lippo bakal terus memperluas jaringan apartemennya dengan memakai merek yang mereka gugat ke seluruh Indonesia. Itu sebabnya mereka bakal bertarung sampai mendapat ketetapan hukum yang besifat inkracht. ”Kami akan terus melawan,” kata Budiyanto.
Sandy Indra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo