Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

"Racun" Dikarung Ikan Asin

Tan Seng Ka, 56, diadili di Pengadilan Negeri Medan. Dituduh mengirimkan 800 gram heroin lewat titipan kilat Jon Ekspres Air Cargo (JEAC). Terdakwa dikenal licin, selalu lolos dari incaran polisi. (krim)

29 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEMBONG pedagang narkotik Tan Seng Ka, 56, akhirnya bisa juga dijadikan terdakwa. Dan, hari-hari ini, ia diadili di Pengadilan Negeri Medan. Tuduhannya: mengirimkan 800 gram heroin dan inti morfin ke Jakarta. Ini tergolong jumlah yang sangat besar, yang pernah dijumpai polisi. Berdasar Undang-Undang Antinarkotik No. 9/1976, ia bisa diancam hukuman mati. Namun, pria atletis yang kelihatan awet muda ini tetap tegar. Ia duduk di kursi terdakwa dengan kepala tegak dan sikap yang tenang. Tak tergambar sedikit pun bahwa ia merasa gentar berhadapan dengan majelis hakim pimpinan H. Simanjuntak, yang kini tengah memilah-milah nasibnya. Tan Seng Ka alias Eddy Suanto memang bukan sebuah nama asing di kalangan polisi antinarkotik. Ia sudah cukup dikenal di kalangan alat penegak hukum itu, khususnya di Medan, Jakarta, dan Bengkulu, sekurangnya sejak 1975 lampau. Tapi, Tan Seng Ka begitu licin. Ia selalu saja bisa meloloskan diri bila polisi menguntit gerak-geriknya, dan sekaligus bisa menghilangkan jejak dan barang bukti Polisi Medan pernah mendongkol melihat kelicinannya. Sekali waktu, kata sebuah sumber, Tan Seng kena sergap. Karena bukti tak ada, ia terpaksa dilepas kembali setelah ditahan selama sembilan bulan. "Kami sungguh-sungguh jengkel, karena ia tak bisa dijangkau hukum. Padahal, dari informasi yang masuk, diperoleh kesan bahwa dia itu gembong narkotik," kata sumber itu. Taktik Tan Seng Ka bermacam-macam. Sekali waktu, April 1982, gembong narkotik itu muncul lagi di Medan. Bersama salah seorang dari enam anaknya, Indra, 20, ia mengendarai mobil menuju kantor titipan kilat Jon Ekspres Air Cargo (JEAC) di Jalan Juang. Ia menurunkan sebuah goni yang, katanya, akan dikirimkan ke Jakarta. "Isinya, ikan asin dan kerang kering," kata Tan Seng Ka pada petugas. Saat ditimbang, berat goni keseluruhan 11 kilogram. Tan Seng Ka, menurut tuduhan Jaksa A.B. Mansyur, waktu itu, hanya menuliskan alamat yang dituju: Kepada P.M. Hutapea di Jakarta. Sedang si pengirim ditulis singkat: Tobing di Medan. Edy Chandra, pimpinan JEAC, mengingatkan agar alamat yang dituju ditulis jelas dan lengkap. "Itu tidak penting. Di kantor perwakilan JEAC di Jakarta nanti, akan ada orang yang akan mengambil barang ini," jawab Tan Seng Ka seperti dituturkan kembali oleh Edy Chandra. Jawaban itu membuat Edy curiga. Begitu Tan Seng Ka dan Indra pergi, buru-buru ia mengontak Lektol Abdul Manan, Dansatserse Polda Sumatera Utara, waktu itu. Goni kiriman itu lalu dibongkar. Kecurigaan Chandra ternyata beralasan. Kaleng besar yang ditaruh dalam karung memang betul berisi ikan asin dan kerang kering. Tapi, di dalamnya, ada lagi sebuah kaleng yang lebih kecil berisi kopi. Dan, di tengah bubuk kop itulah tersimpan dua kantung plastik berisi barang terlarang tersebut. Yang satu berisi 350 gram heroin, dan kantung satunya memuat 450 gram inti morfin. Narkotik sebanyak itu tergolong sangat besar. April 1984 lalu, misalnya, petugas Polda Jakarta yang melakukan pelacakan sampai ke Medan "hanya" memperoleh 700 gram heroin. Dan, heroin sejumlah itu sudah cukup untuk menghantar Husni alias Yono ke vonis mati. Sedangkan rekannya, Abdul Munar, dihukum seumur hidup, dan Singkek Effendi kena ganjaran 15 tahun penjara. Tapi, Yono rupanya belum ingin mati. Ia kini buron, setelah dengan mulus melarikan diri -- bersama sejumlah tahanan lain -- dari rumah tahanan Salemba, Jakarta, beberapa bulan setelah vonis jatuh. Tan Seng Ka juga sempat menjadi buron. Setelah menyetor barang kiriman di JEAC Medan, ia bersama Indra terbang ke Jakarta. Esoknya, 29 April 1982, mereka muncul di kantor perwakilan JEAC di Jakarta untuk mengambil sendiri barang yang dipaketkannya. Namun, barang yang dinantikannya tak kunjung muncul, karena ditahan polisi Medan. Tahu bahwa langkahnya sudah tercium Tan Seng Ka buru-buru raib. Polisi Medan sendiri, ketika itu, tak bisa segera menyergap di kantor JEAC Jakarta. "Kami terbentur birokrasi, sehingga tak segera bisa mengirim petugas ke Ibu Kota," tutur sebuah sumber. Maka, Tan Seng Ka cukup punya waktu untuk lolos. Dari Jakarta, ia dikabarkan menuju Bengkulu. Menetap di sana, dan kawin lagi. Di sana, ia meminjam uang Rp 2 juta dari bank untuk membuka usaha membuat es dan reparasi aki. Usahanya itu macet, dan, ia dengan istri barunya juga kurang akur. "Pasangan itu sering berkelahi," ujar Makmur Hasugian, pengacara Tan Seng Ka. Dari mulut sang istri itulah akhirnya polisi tahu bahwa Tan Seng Ka, yang lama dicari-cari itu, ngendon di Bengkulu. Namun, saat digerebek, ia sudah keburu kabur. Baru beberapa waku kemudian ia bisa ditangkap di Jakarta. Di Jakarta, menurut sumber di Polda Jakarta, Tan Seng Ka memiliki sebuah rumah di daerah Kapuk, Jakarta Barat. "Rumahnya cukup besar, dan bertingkat," kata sumber tersebut. Rumah itu kini tampaknya sudah dijual. Diduga, selama dalam pelarian, Tan Seng Ka masih tetap aktif berdagang narkotik. Sumber TEMPO itu menyatakan, beberapa kali ia mendapat informasi bahwa Tan Seng Ka biasa membawa narkotik jenis morfin atau heroin dengan truk ke Jakarta. Truk itu, resminya bermuatan ikan asin. Namun, yang dibawa sebenarnya heroin disembunyikan dalam ban serep. Sayangnya, setiap dilakukan pelacakan truk Tan Seng Ka selalu bisa lolos. Menurut sebuah sumber di Medan, Tan Seng Ka diduga bukan hanya mengurus narkotik di dalam negeri. Sedikitnya, ia sudah tiga kali mengurus paspor untuk terbang ke Singapura dan Penang, Malaysia. Bukan tak mungkin kepergiannya itu masih ada hubungan dengan bisnis gelapnya. Apalagi, ada dugaan, narkotik yang masuk wilayah Indonesia berasal dari Penang. Apa reaksi Tan Seng Ka? "Saya tidak tahu-menahu tentang karung berisi narkotik itu. Saya difitnah," katanya kepada Monaris Simangunsong dari TEMPO. Juga, kcpada polisi, ia tetap mungkir bahwa dialah yang bertanggung jawab atas 800 gram narkotik. Tan Seng Ka, yang mengaku sebagai pengusaha minyak goreng, juga memiliki kilang kapur di Labuhan, Medan. Sebab itu, dia bisa ke luar negeri. "Saya merantau ke Bengkulu dan Jakarta setclah usaha saya macet," ujarnya. Tentu, majelis hakim nanti yang akan menilai seberapa jauh keterangan Tan Seng Ka bisa dipercaya. Sur. Laporan Monaris S. (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus