Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya narkotik yang masuk ke Indonesia dari Malaysia lewat Entikong, kecamatan di ujung utara Kabupaten Sanggau yang "menempel" dengan Malaysia. Gula merupakan salah satu komoditas yang mengalir deras-secara ilegal-masuk ke Pontianak. Benda putih itu juga masuk lewat ratusan jalan tikus yang menghubungkan Malaysia dengan berbagai wilayah di utara Kalimantan Barat.
Jauh sebelum geger penangkapan Ajun Komisaris Besar Idha Prastiono dan Brigadir Kepala M.P. Harahap oleh polisi Malaysia, tiga pekan lalu (Tempo edisi 8-14 September 2014), berbagai kalangan di Kalimantan Barat telah meributkan maraknya gula-gula selundupan tersebut. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Kalimantan Barat Syarif Usman Almutahar, gula yang masuk dari Malaysia lewat Entikong sekitar 3.800 ton per bulan. "Ini hitungan kasar karena tak tercatat di Bea-Cukai perbatasan," kata Syarif.
Syarif hanya mendasarkannya pada data konsumsi 1,89 kilogram per jiwa dengan jumlah penduduk Kalimantan Barat yang menghasilkan angka konsumsi 6.000 ton sebulan. Selama ini stok gula selalu aman, padahal jumlah pasokan dari empat perusahaan yang diakui Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kalimantan Barat hanya sepertiga dari total kebutuhan. "Gula banyak di pasar, tapi tak ada laporannya ke kantor kami," kata Kepala Dinas Perdagangan Robertus Isdius.
Gula ilegal yang mengalir ke Kalimantan berupa gula rafinasi yang semestinya ditujukan untuk industri makanan dan minuman. Ribuan karung gula itu bisa leluasa masuk ke Entikong karena tak ada pemeriksaan ketat di sana. Petugas Bea dan Cukai hanya memeriksa lalu lintas orang beserta tentengannya. Tak ada pengecekan terhadap kiriman partai besar.
Ini, misalnya, dilakukan "dua sekawan" Ridwan dan Wawan-bukan nama sebenarnya. Kepada Tempo, Ridwan, 46 tahun, bercerita bahwa dia bisa menyelundupkan 1 ton gula dalam 20 karung per hari dari Sarawak ke Pontianak. Caranya, gula disusupkan lewat mobil bus antarkabupaten.
Dia mengaku bisa mondar-mandir Sarawak-Entikong dengan kartu identitas lintas batas milik saudaranya. Kartu dengan nama dan foto berlainan itu sama sekali tak diperiksa. Setelah melewati perbatasan, Ridwan memindahkan gula-gula tersebut ke minibus. "Jika ada pemeriksaan, saya sebut saja itu barang ekspedisi," katanya.
Ridwan kemudian memasarkan gula-gula ilegal itu di Pontianak, sepuluh jam perjalanan dari Entikong. Dia memasoknya ke warung-warung. Penyelundup "ketengan" seperti Ridwan sangat banyak. Umumnya gula tersebut dijual tanpa merek, berbeda dengan yang dipasarkan melalui agen.
Jika melalui agen, gula-gula tersebut diberi merek sama dengan gula yang dijual 19 perusahaan penyalur resmi yang terdaftar di Dinas Perdagangan Kalimantan Barat. "Banyak pedagang yang mengeluh jumlah satu karung kurang 50 kilo," kata Alexander, Komisaris Teknikon, salah satu penyalur resmi. "Saya cek, ternyata itu bukan gula dari gudang saya."
Dari satu kilogram, Ridwan dan Wawan bisa mendapat untung Rp 2.000. Dalam sehari, untung bersih yang mereka peroleh Rp 2 juta. Sudah sekitar setahun Ridwan dan Wawan menikmati bisnis gula ilegal itu sampai kemudian berhenti pada Mei lalu.
Ada perubahan di pucuk pimpinan Kepolisian Kalimantan Barat. Brigadir Jenderal Arief Sulistyanto menggantikan Brigadir Jenderal Arie Sulistyo. Baru dua hari menjabat, pada 14-30 Mei Arief menggelar operasi besar-besaran: menyikat para penyelundup. Penyelundupan apa pun: beras, gula, kayu, hingga barang-barang elektronik. "Tugas untuk saya di Kalimantan Barat sangat spesifik, memberantas penyelundupan," kata Arief.
Operasi itu membuat para penyelundup gula, termasuk Ridwan dan Wawan, menghentikan "bisnis" mereka. Akibatnya, saat Ramadan terjadi kelangkaan gula di Pontianak. Gula yang masih beredar berasal dari Jawa atau Lampung. Itu pun sedikit, sehingga harganya melambung. "Gula Malaysia harganya enam ribu sekilo, gula Jawa ini sebelas ribu," kata Amin, pedagang di Pontianak.
Sebelum ditugasi ke Kalimantan Barat, setahun sebelumnya Arief ditugasi Kepala Kepolisian RI-saat itu Jenderal Timur Pradopo-mengecek kebenaran informasi bebasnya barang dari Malaysia masuk ke Kalimantan Barat. Saat itu dia menjabat Direktur Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus Markas Besar Polri, Jakarta. "Saya lihat jalur perdagangan lewat darat terbuka sangat lebar," kata Arief.
Menurut Arief, polisi mencegat para penyelundup dan menangkap mereka di jalan-jalan. Namun, karena jumlah pembawa barang banyak dan barang dalam ukuran jumbo, mereka kewalahan. Dia melapor, salah satu problem perdagangan ilegal ada di Direktorat Bea dan Cukai.
Arief lantas meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menelusuri transaksi para pejabat Bea-Cukai di sana. Hasilnya, 16 petugas terindikasi menerima suap dari para penyelundup. Modusnya, penyelundup membuka banyak rekening yang mereka isi uang dan ditarik tunai oleh para pejabat tersebut. Para petugas dan penyelundup itu sudah ditangkap serta diadili di Pengadilan Negeri Entikong dengan tuduhan menerima suap dan pencucian uang.
Menurut Syarif Usman, kelangkaan selama puasa menunjukkan bahwa gula yang beredar di Kalimantan Barat berasal dari pasar gelap. Syarif menghitung, selama 16 bulan sebelum operasi polisi, para penyelundup bisa meraup untung hingga Rp 176 miliar. Keuntungan besar itu dinikmati 15 pengusaha besar yang punya izin usaha memasok gula antarpulau dan puluhan penyelundup. Salah satu yang terbesar adalah PT Delta Asia Sekawan milik The Lu Sia alias A Sia.
A Sia, 54 tahun, sangat terkenal di Kalimantan Barat. Selain sebagai pedagang beras dan gula, pengusaha ini memiliki penggilingan padi seluas 100 hektare di daerah Wajok Hilir dan menjadi agen tunggal pelbagai barang di Kalimantan Barat. November tahun lalu, polisi menggerebek gudangnya. Di sana, petugas menemukan ribuan karung gula yang telah diberi merek yang sama dengan merek penyalur resmi. Gula-gula itu diduga kuat hasil selundupan.
Tapi hasil penggerebekan itu tak membawa A Sia masuk bui. Polisi hanya bolak-balik memeriksanya. Barulah setelah Arief menggantikan Arie, Mei lalu, A Sia diperiksa secara intensif. Pada Juni lalu, berkas kasus A Sia masuk pengadilan. Ia diadili bersama penjaga gudangnya.
Tapi tuntutan jaksa terhadap "pengusaha top" Kalimantan Barat itu sungguh aneh: hanya 1 bulan plus 14 hari penjara. Para pengacara A Sia meminta klien mereka itu dibebaskan karena, menurut mereka, dugaan pemalsuan merek dan penyelundupan telah gugur setelah PT Industri Gula Nasional sebagai pemasok resmi mencabut aduannya. Manajer Komersial PT Industri Poerwanto Prawoto belakangan memang mengatakan perusahaan A Sia tak lain agen resmi mereka.
Selain A Sia, ada dua pengusaha besar lain di Kalimantan Barat yang dikenal sebagai pemasok gula selundupan-kendati, menurut sumber Tempo, mereka kini sudah bangkrut. Untuk memuluskan bisnis haram mereka, semua memakai modus yang sama: memberi merek resmi pada gula-gula selundupan.
Ditemui di pengadilan, pekan lalu, A Sia menolak jika dituduh sebagai penyelundup. "Tunggu sampai pengadilan selesai, akan saya jelaskan dengan gamblang apa yang terjadi di balik penangkapan saya," katanya. Jika tuntutan jaksa dikabulkan, A Sia jelas akan langsung bebas. Hukumannya akan habis dipotong masa penahanannya.
Untuk menjamin ketersediaan gula di Kalimantan Barat, Bulog Kalimantan Barat kini merangkul CV Agro Abadi sebagai pemasok gula dari Thailand. Agro, yang tak terdaftar di Dinas Perdagangan, pada 2009 tercatat pernah berurusan dengan polisi karena mengoplos beras gelap dari luar negeri untuk dipasarkan di Kalimantan.
Kedatangan gula-gula dari Thailand lagi-lagi kini membuat gula di Kalimantan membeludak. Gula lokal pun tak laku. "Saya punya 300 ton di gudang dan akan rugi jika dijual sekarang," kata Direktur Perusahaan Daerah Ignatius Lyong.
Kepada Tempo, juru bicara Bulog, Nordi Muslim, menyatakan tak ada yang dilanggar Bulog dengan menggandeng Agro. "Kami punya legalitas berdagang. Kebetulan stok yang ada gula dari Thailand," katanya.
Bagja Hidayat, Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo