Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Vonis Ganjil Pengguna Faktur Fiktif

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menghentikan penyidikan kasus faktur fiktif Permata Hijau Sawit. Hakim melampaui kewenangan.

15 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABAR mengejutkan itu diterima Yuli Kristiyono, Senin pekan keempat Agustus lalu. Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak ini baru mendapat informasi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang mengabulkan praperadilan penghentian penyidikan kasus faktur fiktif tiga perusahaan yang bernaung di Permata Hijau Group.

Yuli bingung tak alang kepalang. Sebab, penyidikan praktek ilegal yang dilakukan perusahaan perdagangan sawit ini masih terus berjalan. Direktur Utama Permata Hijau, Robert, sudah menjadi tersangka dan masih buron. "Ini di luar dugaan," katanya kepada Tempo, Selasa pekan lalu.

Yuli langsung menggelar rapat pada malam harinya dengan para penyidik pajak dan Biro Bantuan Hukum Kementerian Keuangan. Hasilnya, rapat menyepakati agar Direktorat mengajukan permohonan peninjauan kembali dan melaporkan Muhammad Razzad, hakim tunggal yang memutus perkara praperadilan yang diajukan Direktur Keuangan Permata Hijau Toto Chandra tersebut, ke Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung karena putusannya dianggap janggal.

Dalam putusannya, hakim beralasan penyidikan yang dilakukan Direktorat Pajak berlarut-larut. Padahal penyidikan masih berlangsung dan belum pernah diterbitkan surat ketetapan penghentian penyidikan. Memang, sejak pertama kali berkas dikirimkan ke Kejaksaan pada 2010, sudah delapan kali berkas penyidikan bolak-balik Gedung Bundar-Direktorat Pajak. "Agustus lalu, kami terakhir melakukan pemeriksaan," katanya. "Saat ini hanya tinggal pemberkasan."

Menurut Yuli, berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pengadilan praperadilan tak berwenang memutus penghentian penyidikan pajak. Apalagi, pada 2010, Pengadilan Jakarta Selatan juga menolak permohonan praperadilan yang diajukan PT Kaltim Prima Coal (atas penyidikan Direktorat Pajak). Dia khawatir ini menjadi preseden buruk terhadap penyelesaian kasus pajak.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis Yustinus Prastowo menilai putusan itu di luar kewenangan hakim. Menurut dia, selama ini praperadilan lebih kepada proses penyidikan yang tidak memenuhi syarat atau melanggar prosedur. "Tapi tidak menghentikan," katanya.

Muhammad Razzad enggan menjelaskan dasar putusan sidang tersebut. "Saya tidak bisa berkomentar," katanya. Juru bicara Pengadilan Jakarta Selatan, Achmad Dimyati R.S., juga tak mau memberi tanggapan. "Saya tidak bisa berkomentar karena sudah diputus majelis."

Kasus ini bermula saat Direktorat Pajak menemukan adanya kejanggalan dari surat pemberitahuan pajak (SPT) PT Permata Hijau Sawit, PT Nubika Jaya, dan PT Nagamas Palmoil. Tiga perusahaan milik Robert itu ketahuan menggunakan faktur fiktif dengan nilai lebih dari Rp 200 miliar.

Direktorat Pajak kemudian menghapus predikat wajib pajak patuh dan menerbitkan surat perintah penyidikan pada 2009 untuk tiga perusahaan itu. Akibatnya, klaim restitusi yang diajukan tiga anak perusahaan Permata Hijau Group itu tak bisa dicairkan. Pada 2010, Permata Hijau menyatakan total klaim restitusi yang tak bisa cair mencapai Rp 530 miliar.

Penyidik pajak menemukan faktur yang digunakan Permata Hijau Group untuk mengajukan restitusi pajak pertambahan nilai terbukti berasal dari sejumlah perusahaan fiktif. Sedangkan enam perusahaan masih dalam penyidikan dan satu perusahaan tengah mengajukan permohonan penghentian penyidikan.

General Marketing Permata Hijau Group Hendra Gondawidjaja tak mau berkomentar soal putusan janggal itu. "Saya tidak mengikuti jalannya persidangan," katanya.

Adapun Yuli berjanji akan menempuh upaya hukum lanjutan agar penyidikan kasus ini bisa tuntas. Dia melihat ada ketidakadilan dalam kasus ini. "Bagaimana mungkin penerbit faktur fiktif sudah dipenjara tapi penggunanya (Permata Hijau Group) tidak?"

Angga Sukma Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus