Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Betapa "lebarnya" pergaulan A Sia terlihat ketika Tempo berniat menghampiri pemilik PT Delta Asia Sekawan itu, Kamis dua pekan lalu, di Pengadilan Pontianak. Hari itu, pengadilan menggelar sidang kasusnya. Belum lagi Tempo sampai ke A Sia yang saat itu tengah menunggu sidang, tiba-tiba muncul seorang wartawan senior menghadang, melarang mendekati A Sia. "Jangan wawancara, nanti beliau marah," katanya. A Sia, yang melihat adegan itu, hanya tersenyum dan melambaikan tangan.
Keberanian polisi menggerebek pabrik gula dan menyeret A Sia ke meja hijau mendapat banyak pujian dari sejumlah kalangan. Selama ini A Sia memang dikenal "kebal hukum". Dia memiliki banyak kenalan: dari kalangan pejabat, politikus, hingga wartawan.
Pertama kali sidangnya digelar pada 5 Juni lalu, pengadilan dipenuhi warga Pontianak yang, antara lain, ingin melihat sosoknya. A Sia, 54 tahun, "menyambut" keriuhan itu dengan terlambat datang. Sidang pun tertunda sampai dua jam. Hakim Torowa Daeli, yang memimpin sidang, pun menegurnya. "Apa Saudara tak tahu jadwal sidang?" ujar Torowa. Dia langsung memerintahkan agar A Sia ditahan.
A Sia juga dikenal dermawan. Kedermawanannya itu, antara lain, ditunjukkan dengan keaktifannya berkiprah pada Yayasan Bhakti Suci, organisasi perkumpulan warga Tionghoa. Yayasan ini kerap membantu dan memberikan sumbangan kepada kalangan tak mampu di Pontianak dan sekitarnya.
Kepada majalah SWA edisi Agustus 2007, A Sia mengaku memulai bisnisnya dengan membuka toko kelontong berukuran 2 x 3 meter di pusat belanja Kapuas Besar pada 1986, selepas lulus dari Universitas Panca Bhakti, Pontianak. Dengan modal Rp 700 ribu, ia menjual aneka barang hingga menjadi agen sejumlah merek. Pelan-pelan bisnisnya maju hingga, pada 1992, ia mendirikan pabrik daur ulang barang rongsokan aluminium menjadi panci dan kuali bermerek Cap Piala.
Saat Kalimantan Barat dilanda kerusuhan etnis pada 2000-an, A Sia menangkap peluang bisnis. Ketika itu, jalur distribusi pangan terputus dan terjadi kelangkaan beras. Pemerintah daerah meminta para pengusaha membantu pengadaan beras. A Sia pun "masuk". Dia memasok beras untuk mencukupi kebutuhan 35 ribu ton sebulan di Kalimantan Barat.
Bisnis A Sia makin moncer. Belakangan, dia juga mendirikan penggilingan padi berkapasitas 100 ton per hari. Pabrik berasnya tersebut terhitung terbesar di Kalimantan Barat. Di gudang heuleur itulah polisi kemudian menemukan ribuan karung gula yang telah dikemas ulang dengan merek resmi yang dipasarkan PT Industri Gula Nasional.
Dalam berbisnis gula, ia diduga menadah gula dari para penyelundup dan pemasok 70 persen kebutuhan gula Kalimantan Barat sebanyak 6.000 ton sebulan. Kasusnya sekaligus mengungkap modus pemasaran gula ilegal dari Malaysia sejak 2000-an yang selama ini hanya menjadi desas-desus.
Kini A Sia menunggu vonis setelah, Senin pekan lalu, jaksa menuntutnya hukuman singkat, yakni 1 bulan plus 14 hari, jauh dari hukuman yang disangkakan kepadanya karena melanggar Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang hukumannya maksimal 5 tahun penjara.
Ditemui di pengadilan, dua pekan lalu itu, A Sia berkata singkat. "Saya ingin menjelaskan kasus ini, tapi sebaiknya nanti setelah pengadilan selesai," ujarnya kepada Tempo. Itu saja yang diucapkan "orang kuat" dari Pontianak ini.
BHD, Aseanty Pahlevi (Pontianak)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo