MENEMUKAN intan bagi pendulang ternyata tak selalu berarti mujur. Buktinya Husaini, pendulang intan dari desa Rantau Bujur, Kecamatan Aranio, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Ia justru digiring tetangganya, Saini, ke meja hijau, hanya sebulan setelah ia menemukan intan sebesar telur burung puyuh. Di sidang Pengadilan Negeri Martapura, Kalimantan Selatan, yang dimulai Selasa pekan lalu, Saini mengklaim intan itu ditemukan Husaini dari tempat pendulangan miliknya. Artinya, menurut hukum adat, sebagian intan itu adalah hak Saini sebagai pemilik pendulangan. Pada 22 Juli lalu, cerita Husaini, 43 tahun, ia pergi mencari ikan di Sungai Jelapat, sekitar 200 meter dari Desa Rantau Bujur. Di pagi itu ia terpaksa mengganti mata pencahariannya, karena usahanya selama ini berburu intan di pendulangan Rantau Bujur tak menghasilkan batu berharga sebiji pun. Menurut Husaini, ketika itu, ia cuma sendirian di atas perahu. Karena terlalu ringan, katanya, perahunya mudah oleng. Sebab itu, ia berniat mengambil batu besar untuk menambah beban perahunya. Waktu itulah, menurut Husaini, ia melihat sebongkah batu yang warnanya ganjil. Batu seukuran telur burung puyuh itu berwarna kuning kusam. Tapi, saat itu, ia belum yakin itu batu berharga. Untuk memastikannya, Husaini bergegas ke Martapura. Ternyata benar. Batu itu benar-benar intan, atau biasa disebut penduduk setempat "Si Galuh", dengan karat: 61,5. Sepuluh hari kemudian intan itu dibeli oleh Iskandar Nuralim alias Soo Teng seharga Rp 200 juta. "Pantas, malam sebelumnya saya dan istri sama-sama bermimpi rumah kami terendam banjir," kata bapak lima anak itu. Tapi baru beberapa hari Husaini berkipas duit, bekas majikannya, yang namanya kebetulan sama, Husaini -- biasa dipanggil Saini -- langsung mencak-mencak. "Ah, cerita itu karangan semua," kata Saini. Saini yakin, intan itu ditemukan di ladang pendulangan miliknya, ketika Husaini masih bekerja padanya sebagai pendulang intan. Kebetulan Husaini, yang biasanya bekerja dalam tim -- bersama enam orang temannya -- memang baru seminggu berhenti bekerja. "Rupanya, waktu bekerja itu dia mamicik (menemukan intan), tapi disembunyikan," kata Saini. Seminggu sebelum menemukan intan itu, Husaini minta berhenti mendulang karena merasa tak pernah menemukan intan, yang aling kecil sekalipun. "Kan aneh, setelah berhenti mendulang tiba-tiba ia memperoleh intan," kata Saini. Berdasarkan sangkaan itu, Saini melaporkan bekas buruhnya itu ke kantor Polres Banjar. Tapi, setelah diadakan pelacakan polisi menganggap tak ada kasus pidana dalam soal itu. Menurut Kapolres Zainal Arifin, setelah menghubungi kepala desa dan camat, mungkin saja intan itu ditemukan di tempat pendulangan. "Tapi tempat itu bukan milik Saini, bukan milik siapasiapa. Melainkan milik negara," kata Zainal. Namun, para pendulang intan di sana yakin, lokasi itu ada pemiliknya, meskipun tak dinyatakan dengan selembar surat. "Pemilik lokasi itu biasanya melekat pada orang yang telah turun-temurun melakukan pendulangan di suatu lokasi," kata sumber TEMPO yang enggan disebut namanya. Gagal di polisi, Saini menggugat Husaini lewat jalur perdata. Dalam gugatannya, Saini mengatakan bahwa intan itu ditemukan di tanah pendulangannya. Karena itu, sesuai dengan hukum adat yang berlaku turun-temurun, harta itu harus langsung dibagi dua. Separuh untuk yang menemukan intan, sisanya dibagi rata kepada anggota kelompok pendulang dan pemilik tanah. Bahkan, menurut hukum adat, jika ada orang yang menyaksikan penemuan itu, atau yang membenarkan bahwa itu intan, juga memperoleh hak "secoret", sejumlah uang yang ditentukan berdasarkan musyawarah. Hak secoret juga dimiliki kepala desa atau lurah. Rupanya, dalam kasus ini, Husaini tak memberi apa-apa kepada kepala desa. "Karena itulah, saya kira, kades lalu berdiri di belakang Saini, menggugat Husaini," kata Kabag Humas Pemdati II Banjar, Noor Afiat.Bunga S. dan Alimin Hatta (Banjarmasin)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini