ORGANISASI tertutup para advokat, Peradin, pekan lalu merayakan hari ulang tahun ke-21 - sekaligus merupakan HUT yang terakhir. Isyarat bahwa tahun depan Peradin tidak akan ada lagi terlontar dari mulut ketua DPC Peradin Jakarta, Yan Apul, ketik memberi sambutan selaku tuan rumah dalam perayaan itu. Kemungkinan itu dibenarkan sekjen DPP Peradin Maruli Simorangkir. Rupanya, tawar-menawar antara kelompok Peradin dan non-Peradin untuk membentuk wadah tunggal, yang sudah berjalan enam bulan, berakhir. Konon, Oktober atau November mendatang ancer-ancer waktu penyelenggaraan musyawarah nasional advokat, yang akan melahirkan wadah itu. Hanya saja, HUT terakhir Peradin yang dirayakan selama tiga hari di Ball Room, Hotel Sahid Jaya, itu ternyata tidak sesemarak yang diharapkan. Upacara pembukaan Rabu pekan lalu, hanya dihadiri sekitar 60 orang - kurang dari separuh kursi yang disediakan. Para pejabat tinggi penegak hukum, seperti ketua Mahkamah Agung, Menteri Kehakiman, dan Jaksa Agung, yang juga diundang, ternyata absen tanpa mengirimkan wakil. Padahal, pada acara di hotel mewah itu, Peradin menyelenggarakan diskusi dengan tema menarik: tentang RUU keormasan, referendum, dan funsi advokat. "Yan hadir memang di luar dugaan kami," ujar seorang panitia. Sudah sedemikian burukkah wibawa Peradin? Entahlah. Tapi, sekurang-kurangnya, konsep Peradin untuk tidak memasukkan para pengacara praktek, termasuk pokrol, dalam wadah tunggal lebih disetujui para petinggi hukum - pemrakarsa persatuan ketimbang usul organisasi di luar Peradin yang menghendaki sebaliknya. Adalah Ali Said yang memprakarsai perlunya wadah tunggal untuk para advokat. Februai lalu, Ali Said, yang waktu itu menteri kehakiman, mengundang 21 tokoh advokat dari berbagai organisasi untuk sarasehan di rumahnya di Jalan Gatot Subroto. Pada acara itu ke-21 undangan, di antaranya Harjono Tjitrosoebono Peradin, R.O. Tambunan (Pusbadhi), Boedi Soetrisno (HPHI, Mulya Lubis (LBH), Amin Arjoso, Nurbani Jusuf, Malikus Suparta, mengeluarkan ikrar bersama: semua pihak sepakat membentuk wadah tunggal. Tim perumus dibentuk dan diketuai Harjono Tjitrosoebono dan Malikus Suparta. Tim itu dilengkapi dua sekretaris dan enam anggota yang diambil dari semua unsur. Komplet sudah. Tapi ternyata, sampai enam bulan, wadah itu tidak kunjung lahir. Bahkan sampai "bidan"-nya, Ali Said, pindah jabatan ke Mahkamah Agung. Usaha tim perumus memang tidak mulus. Perbedaan pendapat antara Peradin dan non-Peradin seperti tidak teratasi. Peradin, misalnya, menginginkan wadah tunggal itu dibentuk melalui musyawarah nasional. Sementara itu, pihak lain menghendaki terbentuknya wadah dulu, baru musyawarah dilangsungkan. Persoalan kedua yang muncul adalah siapa saja yang berhak menjadi anggota wadah tunggal itu. Peradin berprlnsip bahwa anggota hanyalah mereka yang sudah sarjana hukum dan diangkat menteri kehakiman. "Organisasi harus terdiri dari orang-orang yang profesional. Untuk itu, tentu harus dipenuhi syarat-syarat, di antaranya, punya keahlian, dididik untuk bidang itu, dan punya etik," ujar sekjen DPP Peradin Maruli Simorangkir. Yang lain berpendapat, "Apa pokrol itu akan diatur sebagai hewan? Itu penghinaan," cetus ketua Pusbadhi, R.O. Tambunan. Menurut bekas anggota DPR ini, wadah tunggal yang dimaksud Peradin itu nantinya tidak akan sejajar dengan-kepentingan rakyat kecil. "Sebab, 90% advokat itu komersial dan berada di kota-kota besar. Sedangkan pengacara-praktek di desa-desa bisa dibayar rakyat dengan telur ayam atau bahkan tidak dibayar sama sekali," ujar Tambunan. Akhirnya, menurut Hakim Simamora dari LPPH Golkar, yang mencoba menjadi penengah, persoalan menadi macet. Di hadapan kedua pihak, Hakim menyimpulkan bahwa kemacetan itu sebenarnya akibat kekhawatiran kedua pihak dalam berebut suara peserta munas nanti. Pihak non-Peradin menghendaki supaya pokrol masuk, dan mempunyai hak suara, agar mereka bisa menguasai suara munas. Sebaliknya, Peradin menuntut peserta munas hanya para advokat, karena dari 800 advokat yang ada, 600 anggota Peradin. Ketegangan kedua pihak itu berbuntut dengan terbentuknya Majelis Penasihat Hukum Indonesia (Mahpindo), pada 25 Juni lalu, yang diketuai R.O. Tambunan. Para anggota Mahpindo, menurut Tambunan, terdiri dari sekitar 10.000 penasihat hukum, pengacara praktek atau pokrol, pengurus LBH-LBH, dan konsultan hukum. "Peradin itu 'kan hanya bekerja di belakang meja. Sebab itu, kami perlu memobilisasikan tenaga-tenaga yang siap diterjunkan ke masyarakat terbawah sekalipun," ujar Tambunan. Memuncaknya ketegangan antara tim perumus wadah tunggal itu, rupanya, mengundang Ali Said untuk turun tangan kembali. Kedua pihak yang bertentangan dipanggil. Ali Said, konon, lebih se pendapat dengan Harjono dan Malikus Suparta. Mahpindo, kata sebuah sumber, kurang berkenan bagi Ali Said, karena tidak menampung orang-orang Peradin. Akhirnya, Selasa pekan lalu, gencatan senata antara kedua kubu tercapan Sehari sebelum acara HUT Peradin itu, kedua pihak sepakat menyelenggarakan munas, tanpa memberikan hak suara kepada pokrol. Mereka hanya boleh hadir sebagai pendengar. "Saya terkejut bukan main, karena semua itu di luar dugaan," kata ketua DPP Peradin, Harjono. R.O. Tambunan, tokoh di luar Peradin, mengaku mengalah. "Tapi dengan catatan: jangan melibatkan pokrol dan pengacara praktek. Maksud Tambunan, pokrol tidak perlu dibawa-bawa, kalau hanya akan menjadi pendengar saja. Sikap serupa juga dilontarkan Amin Arjoso. "Kami mengalah sekadar toleransi saja, untuk mencapai yang luhur," kata Amin. Ia masih menyayangkan, wadah tunggal itu nantinya hanya akan menjadi "kotak advokat".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini