Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Peradilan Swasta Seketurunan

Kepala desa menyelesaikan sengketa warisan tanah dengan peradilan swasta persidangnan perdata. (hk)

8 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUNGKIN ini "peradilan swasta" yang pertama terjadi. Kepala Desa Deudeul di Tasikmalaya, Jawa Barat, Ali Praja, membuat "persidangan perdata" di balai desa. Tidak tanggung-tanggung sang "ketua majelis", Ali Praja sendiri, memanggil 12 orang saksi dan mengambil sumpah mereka, sebelum memutuskan tanah sengketa milik salah satu pihak. Keputusan itu ternyata tidak memuaskan pihak yang kalah. Andot Suhanda, 49, yang mewakili lima orang saudaranya, Kamis pekan lalu, menggugat Ali Praja di Pengadllan Negeri Tasikmalaya. Keputusan Ali Praja, kata Andot, tidak jujur. Sebab, beberapa saksi yang diajukannya ditolak "hakim" itu. Kecuali melalui pengadilan, keputusan kepala desa itu juga diteliti pemda Tasikmalaya. Ternyata, Ali Praja memang tidak sekadar melakukan musyawarah desa untuk memecahkan sengketa tanah itu, melainkan suatu persidangan perdata yang layaknya dilakukan dl pengadilan. Dalam persldangan, 9 Mel itu, konon, balai desa diubah seperti ruangan pengadilan. Majelis, yang terdiri dari Ali Praja, juru tulis desa, dan ketua LKMD, duduk berjejer menghadapi meja yang dilapisi kain hijau. Ketua Majelis, Ali Praja, membuka sidang dengan ketukan palu tiga kali. Setelah itu, amil desa, Sodikin, membacakan acara sidang. "Sidang ini dilakukan untuk memeriksa gugatan Andot Suhanda terhadap Maeji atas sengketa tanah warisan," kata Sodikin ketika itu. Setelah itu, satu per satu saksi dari kedua pihak yang beperkara dipanggil ke ruang sidang. Sebelum memberikan kesaksian, mereka disumpah dengan Alquran di atas kepala masing-masing. "Agar mereka memberikan kesaksian yang beriar," ujar Ali Praja kemudian kepada TEMPO. Sengketa yang diperiksa "majelis hakim" itu adalah senketa yan biasa terladi pada orang-orang seketurunan. Dahulu kala, seorang petani bernama Al-Nasim mewariskan tanah kepada anak-anaknya, Al-Nasib, Sarkapi, dan Salnapi masing-masing 275 bata (sekitar 2.000 meter persegi). Tanah milik Al-Nasib kemudian diurus Sarkapi, karena ia meninggal ketika anak-anaknya masih kecil. Kini salah seorang keturunan Al-Nasib, Andot, menuntut tanah itu dari Maeji, keturunan Sarkapi. Menurut seorang saksi, Haji Sahid, 80, juga saksi-saksi Andot lainnya, sawah itu memang dulunya milik Al-Nasib. "Saya tahu benar sawah itu milik Al-Nasib. Hanya, setelah ia meninggal, Sarkapi merebut sawah itu dan kemudian membagi-bagikan kepada anaknya," ujar Haji Sahid. Tapi keterangan-keterangan seperti itu dikesampingkan oleh "Hakim" Ali Praja. "Kesaksian saya itu ditolak dan malah saya dituduhnya memberikan keterangan palsu," ujar Haji Sahid. Ali Praja, yang sekarang sudah berhenti menjadi kepala desa, membenarkan menolak kesaksian semacam itu. "Yang kami pentingkan adalah bukti tertulis," ujar Ali Praja. Bukti yang dimaksud, buku catatan tanah girik atau yang dikenal dengan "Letter C" dan "Letter F" dengan nomor 2950, memang tercantum atas nama Sarkapi. "Berdasarkan bukti itu dan keterangan sebagian saksi, saya memutuskan Maeji yang berhak," kata Ali Praja. Sedangkan kesaksian Haji Sahid dan kawan-kawannya, menurut Ali Praja, tidak bisa diyakininya. "Mereka saksi yang ragu-ragu. Buktinya, mereka tidak tahu apa status tanah itu kini," dalih Ali Praja lagi. Sebab itu, "Daripada mereka mendapat risiko dunia akhirat, lebih baik kesaksiannya ditolak," tambah "hakim" itu. Lebih dari itu, Ali Praja pun merasa berhak menyelesaikan sengketa perdata itu. "Sebab, semua perkara perdata pada dasarnya bisa diselesaikan dengan cara musyawarah," dalih Ali Praja. Prinsip musyawarah di luar peradilan, untuk menyelesaikan sengketa perdata, dibenarkan wakil ketua Pengadilan Negeri Tasikmalaya, Kamaluddin S. Pelawi. "Tapi itu berdasarkan kesepakatan kedua pihak yang bersengketa. Bukan dengan cara-cara seperti di pengadilan, misalnya dengan menyumpah saksi-saksi terlebih dahulu," ujar Kamaluddin. Apalagi, ternyata, sebelum persidangan kedua pihak membayar "uang sidang" masing-masing Rp 50.000. Juru tulis desa, Iing Solihin, yang berperan sebagai "hakim anggota" di persidangan itu? membenarkan menenma uang itu. "Tapi itu bukan uang sidang, melainkan sumbangan kedua pihak yang beperkara," ujar Iing. Menurut Iing, uang itu dibagi sama rata kepada aparat desa yang punya andil menyelesaikan perkara itu. Ali Praja pun mengakui menerima bagian. "Tapi uang itu telah saya kembalikan. Takut tidak bermanfaat," kata Ali Praja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus