Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Agar Hakim Tidak Berdua Kepala

Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) menyampaikan gagasan ke Komisi III DPR agar hakim di bawah satu atap yakni Mahkamah Agung. Juga mempersoalkan status & kebebasan hakim. Ketua MA Ali Said kecewa. (hk)

8 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IKATAN Hakim Indonesia (Ikahi),yang suaranya jarang kedengaran, bisa pula mengagetkan. Di depan Komisi III DPR, dua pekan lalu, mereka menuntut sebenarnya keinginan lama berbagai pihak agar hakim tidak lagi berada di bawah dua instansi: perutnya di Departemen Kehakiman dan kepalanya di Mahkamah Agung. Persoalan administrasi, organisasi, dan finansial yang selama ini diurus Departemen Kehakiman, menurut Ikahi, sebaiknya di tangani Sekretariat Negara. "Seperti juga lembaga nondepartemental lainnya," ujar ketua umum Ikahi, Soedjadi. Pernyataan Ikahi itu tidak saja mengagetkan pihak di luar jajaran kehakiman, tapi juga mengecewakan Ketua Mahkamah Agung Ali Said. Katanya, selama menjadi pejabat tertinggi di lingkungan peradilan itu, Ali Said tidak pernah menerima sumbangan pikiran atau konsep Ikahi untuk menyempurnakan sistem peradilan selama ini. Karena itu, ia merasa aneh bila tiba-tiba organisasi yang mencantumkan dirinya sebagai pelindung itu melontarkan gagasan di DPR. "Adalah suatu keanehan bila Ikahi kembali menyenandungkan lagu lama, yaitu perubahan undang-undang pokok kekuasaan kehakiman," kata Ali Said, seperti dikutip SinarHarapan. Ali Said, yang mengaku baru tahu bahwa organisasi hakim itu masih ada, berniat memanil semua penurusnya Rabu pekan ini. Aneh atau tidak, Ikahi benar-benar telah mengeluarkan pendapatnya di lembaga perwakilan rakyat. Soedjadi - yang ditemani rekan-rekannya sesama hakim agung, Soerjono dan Iman Anis, serta hakim tinggi dari Jakarta, Soegondo Kartanegara seperti mengeluarkan semua unek-unek para hakim yang selama ini tersimpan. Selain menuntut pengurusan hakim oleh satu tangan, Ikahi juga mempersoalkan status, karier, dan kebebasan para hakim. Mengenai status hakim, Ikahi meminta agar para hakim yang diangkat Presiden tidak lagi berstatus pegawai negeri, tapi seorang pelabat negara seperti halnya anggotaanggota DPR. Tentang jenjang karier, Ikahi mengharapkan ada peraturan yang menata soal itu kembali, agar tidak ada kemungkinan orang-orang yang tidak pernah menjadi hakim tiba-tiba diangkat menjadi hakim agung. "Memeriksa perkara saja belum pernah, tapi bisa menjadi hakim agung," kata Soedjadi. Belasan hakim agung yang ada di Mahkamah Agung sekarang ini memang bukan hakim-hakim karier. Tapi yang lebih penting dari semua itu adalah kebebasan hakim. Menurut Ikahi, pengawasan para hakim di daerah sekarang ini menjadi simpang-siur akibat dibentuknya kanwil-kanwil (kantor wilayah) departemen kehakiman di samping pengadilan tinggi yang sudah ada sebelumnya. Selain itu, Ikahi mensinyalir, ada pihak-pihak lain yang mencoba mengusut hakim bila hakim membebaskan atau menghukum berat seorang terdakwa. Tidak tegas yang dimaksud, tapi jelas Irjen Departemen Kehakiman yan dituju. Gayung pun bersambut. Albert Hasibuan, anggota Komisi III DPR, misalnya, mengimbau agar suara para hakim itu didengarkan dan ditanggapi secara positif oleh semua pihak. Seandainya pengangkatan, mutasi, dan masalah administrasl para hakim tetap berada di bawah Departemen Kehakiman, menurut Albert, sebaiknya pengawasan hanya ada pada Mahkamah Agung. Seorang anggota DPR yang ikut dalam rapat kerja dengan Ikahi itu menyatakan setuju dengan gagasan organisasi para hakim itu. "Memang, sebaiknya hakim itu satu atap saja. Sebab, dengan dua induk seperti sekarang ini, persoalan menjadi simpang-siur. Misalnya dalam hal mutasi, seorang hakim yang bagus menurut versi Mahkamah Agung ternyata untuk kenaikan pangkatnya harus bisa bermain di Departemen Kehakiman," kata anggota DPR yang tidak berani disebut namanya itu. Keluhan semacam itu sebenarnya pernah dilontarkan Hakim Agung Asikin Kusumah Atmadja 13 tahun lalu. Menurut Asikin, bila Mahkamah Agung menilai seorang hakim A layak untuk jabatan yang lebih tinggi, usulan terpaksa diajukan lebih dulu ke Departemen Kehakiman. Putusan Departemen kemudian belum tentu A yang diangkat - bisa saja si B. "Padahal, yang tahu seorang hakim itu jujur atau tidak, rajin atau malas. adalah Mahkamah Agung, bukan Departemen," kata Asikin, kini ketua muda Mahkamah Agung bidang perdata (TEMPO, 13 Mei 1972). Setelah itu, tidak seorang hakim pun berani bersuara demikian. Baru, ketika Mudjono (almarhum) menjabat menteri kehakiman, gagasan itu kembali dilontarkan. Selain badan peradilan, Mudjono bahkan ingin melepaskan instansi imigrasi dan pemasyarakatan dari Departemen Kehakiman, sehingga departemen itu hanya menjadi semacam Departemen Hukum dan Perundang-Undangan. Tapi, setelah Mudjono diangkat menjadi ketua Mahkamah Agung, ia tidak ingin lagi gagasan itu disebut-sebut. Sebab itu, wajar bila Ali Said menganggap keinginan Ikahi itu bagai hendak memutar jarum jam kembali. Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Militer Piola Isa bahkan mengatakan, gagasan seperti Ikahi itu sudah ada sejak masa Orde Lama. Suatu ketika, cerita Piola Isa, Bung Karno pernah menawarkan kepada Ketua Mahkamah Agung Prof. Wirjono Prodjodikoro, almarhum, agar badan peradilan diurus oleh satu instansi saja. Tapi, konon, Wirjono menolak. Persoalannya, seperti kata seorang hakim senior, sebenarnyalah bahwa kebebasan memang belum pantas diberikan kepada para hakim. Sebab, kata hakim itu, memang banyak putusan hakim-hakim yang sebenarnya diambil tidak berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa. "Padahal, sudah ada dua instansi yang mengawasi, toh masih demikian. Bagaimana kalau hanya satu tangan? Pokoknya, pihak eksekutif itu tidak akan mencampuri urusan peradilan kalau tidak ada tanda-tanda penyelewengan oleh hakim dalam mengambil suatu putusan," ujar hakim yang tidak bersedia disebut namanya itu. Jelas? Karni Ilyas Laporan Agus Basri dan Eko Yoeswanto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus