Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Urusan Pembatalan Sertifikat

Sertifikat hak milik atas tanah yang sudah dimiliki Yasmoaji dibatalkan direktorat agraria Ja-Teng. Pasalnya tanah di JL. Jenderal Sudirman, Purbalingga, sedang dalam sengketa dengan Ny. Kwee Sleen Nio. (hk)

8 Juni 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SERTIFIKAT hak milik atas tanah, yang seharusnya hanya bisa dibatalkan menteri dalam negeri, ternyata bisa pula dianulir kantor agraria daerah. Kepala Direktorat Agraria Jawa Tengah, baru-baru ini, membatalkan sertifikat hak milik atas nama Yamoaji di Purbalingga. Dalam suratnya kepada bupati Purbalingga, kepala Direktorat Agraria Jawa Tengah Moeljono menyatakan bahwa sertifikat hak milik atas tanah 1.870 m2 di Jalan Jenderal Sudirman, Purbalingga, itu dibatalkan karena dianggap terdapat kekeliruan. Menurut Moeljono, pemberian hak milik terhadap Yamoaji oleh gubernurJawa Tengah, tertanggal 10 Januari 1985, bertentangan dengan surat edaran menteri dalam negeri. Sebab, tanah yang diberi sertifikat itu ternyata sedang dalam sengketa perdata. Moeljono mengambil keputusan itu setelah mendapat surat dari R. Joedjono, kuasa Nyonya Kwee Sleen Nio melawan Yamoaji, yang meminta sertifikat itu ditinjau kembali. Seperti jatuh dihimpit tangga, begitulah nasib Yamoaji. Tiga bulan setelah sertifikatnya dibatalkan, akhir Mei lalu, ia diusir dari tanah yang ditempatinya sejak 1967. Pengusiran itu dilakukan Pengadilan Negeri Purbalingga dalam rangka melaksanakan keputusan Mahkamah Agung yang memenangkan Nyonya Kwee. Menurut Yamoaji, 55, tanah yang dipertengkarkan itu merupakan tanah warisan yang diterimanya dari neneknya. Tanah itu, diakuinya, bukan milik pribadi neneknya, tapi juga milik sepuluh orang lainnya, termasuk Nyonya Kwee, salah seorang saudara neneknya. Tapi, entah bagaimana caranya, kata Yamoaji, tanpa dia tahu, pada 1973 Nyonya Kwee mendapatkan sertifikat HGB atas tanah itu. Berdasarkan sertifikat tersebut, Nyonya Kwee meminta Yamoaji meninggalkan tanah itu. Karena Yamoaji menolak, Nyonya Kwee menggugat ke pengadilan. Belakangan Mahkamah Agung memutuskan, Nyonya Kwee yang berhak atas tanah itu. Walau Mahkamah Agung telah menetapkan hak atas tanah itu, Yamoaji tetap mengurus sertifikat hak milik. Apalagi HGB yang dipunyai Nyonya Kwee tidak diperpanjang lagi oleh Agraria pada 1980. Panitia tanah Kabupaten Purbalingga, dalam sidangnya September 1984, mengabulkan permohonan Yamoaji. Persetujuan itu Januari 1985 dikukuhkan gubernur. Berdasarkan itu, Kantor Agraria Purbalingga menerbitkan sertifikat hak milik atas nama Yamoaji. Kegembiraan Yamoaji sebagai pemilik tanah ternyata tidak sampai dua bulan. Akhir Maret, ia menerima surat pembatalan sertifikat itu. Dan belakangan ia diusir. "Eksekusi itu hanya pelaksanaan keputusan Mahkamah Agung, jadi tidak ada persoalan tentang status pemilikan tanah," kata kepala Panitera Pengadilan Negeri Purbalingga, Abubakar. Subiyanto, menantu Nyonya Kwee, mengatakan bahwa tanah itu sejak semula adalah milik mertuanya. "Yamoaji itu sebenarnya hanya disuruh menunggui, tapi setelah tanah itu diminta ia tidak mau pergi," kata Subiyanto, yang mengaku istrinya masih bersaudara dengan Yamoaji. Sebab itulah, kata Subiyanto, perkara menjadi urusan pengadilan. Ketika proses hukum sedang berlangsung, kata Joedjono, pengacara Nyonya Kwee, ia mendapat informasi bahwa Yamoaji sudah mendapatkan sertifikat hak milik. "Saya kaget, karena kasus semacam itu tidak pernah terjadi sebelumnya," kata Joedjono, mengungkapkan alasannya mengirim surat permohonan pembatalan sertifikat itu ke Direktorat Agraria. "Ternyata, Direktorat Agraria tidak tahu bahwa tanah itu dalam sengketa. Sebab itu, wajar bila sertifikat itu dibatalkan," katanya. Sebaliknya, pengacara Yamoaji, Mardiprapto, menilai, tindakan kepala Direktorat Agraria itu tidak sah. "Untuk mengetahui apakah prosedur penerbitan sertifikat itu benar atau tidak, harus dibuktikan dulu melalui pengadilan. Tidak hanya oleh secarik surat kepala Direktorat Agraria saja," kata Mardiprapto. Pengacara itu mengatakan telah melaporkan kasus itu ke Ditjen Agraria di Jakarta. Bagaimana seharusnya pembatalan sertifikat atas tanah memang belum ada ketentuan yang jelas dan seragam. Hakim Agung Bismar Siregar, ketika menjadi ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, pernah membatalkan 17 buah sertifikat tanah yang dikeluarkan Kantor Agraria Medan. Bismar tidak saja menyatakan bahwa prosedur penerbitan sertifikat itu tidak benar, tapi juga langsung membatalkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus