Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengirimkan surat edaran kepada para kepala daerah tentang pemberian tunjangan hari raya pada akhir Mei lalu sungguh sembrono dan patut disesalkan. Jika kepala daerah mengikuti anjuran dalam surat edaran Tjahjo untuk mengubah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, mereka bisa ramai-ramai dijebloskan ke penjara karena melanggar Undang-Undang Keuangan Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribut-ribut ini berawal dari kebijakan Presiden Joko Widodo yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2018 tentang THR buat pegawai negeri sipil. Masalahnya, pemberian THR tahun ini tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Tidak hanya terdiri atas gaji pokok, tahun ini pemerintah menambah komponen THR dengan tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, dan tunjangan kinerja. Jumlahnya kini hampir setara dengan pendapatan satu bulan yang dibawa pulang (take home pay).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan komponen THR itu membengkakkan anggaran sampai Rp 35,76 triliun atau meningkat 68,92 persen dari pembayaran 2017. Menteri Keuangan Sri Mulyani menepis kekhawatiran kekurangan anggaran dengan menyatakan THR sebagai nomenklatur baru gaji yang seharusnya telah dialokasikan dalam APBD dengan sokongan dana alokasi umum dari pemerintah pusat. Namun sejumlah kepala daerah tetap menjerit karena anggaran daerahnya megap-megap. Di sinilah Tjahjo Kumolo turun tangan dengan menerbitkan surat edaran.
Surat Tjahjo tersebut bermasalah karena isinya, antara lain, meminta pemerintah daerah yang belum menyediakan atau tidak memiliki cukup anggaran untuk pembayaran THR segera menggeser anggaran. Tak hanya itu, Menteri Tjahjo juga menegaskan penyediaan anggaran itu boleh dilakukan dengan cara mengubah penjabaran APBD 2018 tanpa menunggu keputusan DPRD. Instruksi semacam ini membuat kepala daerah seperti dihadapkan pada buah simalakama. Jika itu diikuti, mereka bisa dituduh melakukan penyalahgunaan wewenang dan diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika itu diabaikan, mereka bisa disemprot Kementerian Dalam Negeri.
Tjahjo mengklaim suratnya tak bermasalah karena penyediaan THR termasuk hal yang mendesak. Pasal 28 Undang-Undang Keuangan Negara memang menyebutkan pergeseran anggaran mendahului perubahan APBD di parlemen lokal dapat dilakukan dalam keadaan darurat. Di sini Tjahjo keliru: penyediaan THR sama sekali bukan sesuatu yang darurat. Tidak seperti bencana alam yang dapat terjadi tiba-tiba, penyediaan THR sudah bisa diprediksi tiap tahun.
Satu-satunya hal darurat yang terjadi dalam pemberian THR tahun ini adalah perubahan kebijakan pemerintah tentang besaran dan komponen THR. Ada dugaan, kebijakan baru ini didorong motif politik yang terkait dengan pemilihan presiden tahun depan. Jika itu benar, Presiden Jokowi harus dikritik karena membiarkan anggaran negara digunakan untuk keperluan politik di luar kepentingan publik yang lebih besar.
Seharusnya pemerintah tidak memaksakan pemberian THR yang tidak dianggarkan di daerah. Selain bermasalah secara hukum, keputusan ini bisa memaksa kepala daerah menunda sejumlah program pembangunan yang penting untuk masyarakat luas. Ini tak terhindarkan karena ruang fiskal pada anggaran belasan provinsi dan puluhan kabupaten/kota di Indonesia sudah amat rendah. Penambahan belanja secara mendadak semacam ini pasti membuat banyak rencana daerah porak-poranda.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo