Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar menilai langkah SF melaporkan narasumber Project Multatuli adalah bentuk kriminalisasi. SF melaporkan ibu korban yang menjadi sumber dalam tulisan "Tiga anak saya diperkosa, saya lapor polisi, polisi menghentikan penyelidikan. Tulisan ini tayang di kanal Project Multatuli.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Laporan tersebut merupakan ancaman kriminalisasi pada narasumber sebuah berita. Jika kriminalisasi narasumber terus-menerus terjadi, maka hal ini akan menimbulkan chilling effect," ujar Ketua AJI Makassar, Nurdin Amir, melalui keterangan tertulis pada Ahad, 17 Oktober 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Nurdin, efek kriminalisasi tersebut berdampak terhadap hak masyarakat mendapatkan informasi. Sebab, narasumber menjadi takut berbicara di media dan kemudian informasi publik menjadi terabaikan.
“Pelaporan narasumber Project Multatuli tidak tepat dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers," ucap Nurdin. Ia melihat, ketika narasumber dipidana, artinya membunuh pers itu sendiri.
"Pelaporan ini adalah serangan terhadap kebebasan pers dan demokrasi,” kata Nurdin melanjutkan. Ia melihat, jika narasumber Project Multatuli berlanjut di ranah kepolisian dan tidak dijadikan sebagai sengketa pers, maka akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.
AJI Makassar dan LBH Makassar menyayangkan langkah Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan yang menerima laporan SF. Polisi tidak semestinya menerima laporan sengketa pemberitaan yang menjadi ranah Dewan Pers.
"Kasus ini tidak bisa dibiarkan, karena akan berdampak kepada narasumber lain untuk hati-hati atau membatasi bicara kepada media. Jika narasumber tidak mau diwawancara akan mengancam kerja-kerja jurnalisme,” kata Nurdin.
Sementara itu, Advokat Publik YLBHI-LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa menilai pelaporan narasumber ke polisi itu salah alamat karena yang dilaporkan adalah produk jurnalistik yang dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Azis mengimabau, jika keberatan terhadap produk jurnalistik, maka harus menempuh langkah-langkah melalui permintaan hak jawab atau hak koreksi, atau penyelesaian lewat mekanisme di Dewan Pers.
“Pelaporan narasumber dan penyelesaian sengketa pers harus ke Dewan Pers, bukan ke pidana,” kata Azis Dumpa. Selain itu, ia meminta pihak kepolisian agar mengarahkan SF selaku pelapor untuk mengarahkan kasus yang dilaporkan ke polisi, untuk diselesaikan melalui Dewan Pers terlebih dahulu. Sebab, dalam undang-undang pers, kata Azis, narasumber justru harus dilindungi.