Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Akademisi Bivitri Susanti Sebut 4 Gejala Legalisme Otokritik, Apa Saja?

Pengajar STH Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, melihat gejala legalisme otokritik muncul dalam empat hal.

7 Juni 2023 | 06.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ahli Hukum Tata Negara dan Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti saat mengikuti audiensi terkait polemik TWK di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin, 14 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan praktik otokratisme negara hari ini dilakukan melalui cara legal (legalisme otokritik). Menurut dia, praktik tersebut mendorong berbagai pelanggaran negara yang dilakukan melalui koridor hukum.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Cara pandang ini membuat apa pun yang legal seolah-olah benar. Tuntutan Reformasi saja tegakkan supremasi hukum. Kalau hukum nggak adil, apakah mau tetap ditegakkan?" kata Bivitri dalam diskusi publik yang diselenggarakan Yayasan Bantuan Lembaga Hukum Indonesia di Jakarta Selatan, Senin, 5 Juni 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Karena pemerintah cenderung tidak mau diawasi atau dikritik, kata dia, berbagai moda pengawasan dihancurkan dengan cara legal. Akibatnya, pemerintah memiliki keleluasaan untuk membuat berbagai kebijakan yang muncul bukan untuk memecahkan akar masalah, tapi melegalkan praktik otokratisme. “Misalnya kebijakan ekspor pasir laut, minyak sawit, minerba, dan cipta kerja.".

Bivitri melihat gejala legalisme otokritik itu muncul dalam empat hal. Pertama, pembentukan undang-undang bermasalah. Kedua, pelemahan masyarakat sipil. Ketiga, pembunuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keempat, pembajakan Mahkamah Konstitusi (MK).

Menurut dia, masyarakat sipil merupakan iklim yang dibutuhkan negara supaya demokrasi tetap eksis dan tumbuh. Kalau tidak ada kritik dari masyarakat sipil, demokrasi sebenarnya tidak berjalan karena hanya diejawantahkan melalui kerja-kerja institusi.

Dia menyebut KPK bukan hanya penegak hukum, melainkan institusi yang memiliki fungsi pembatasan kekuasaan terhadap pemerintah. Kalau pemantauan kekuasan mulai lumayan efektif, KPK langsung dibunuh. “Itu yang terjadi pada 2019,” ucapnya.

Bivitri mengatakan contoh legalisme otokritik paling efektif dilakukan melalui lembaga yudikatif. Dia melihat fenomena pemecatan hakim di tengah jalan dan perpanjangan masa pimpinan KPK sebagai contohnya. “Kalau bicara otokratik legalisme, yang ilegal akan dilegalkan,” kata Bivitri.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus