Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil kongres kedua Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sama sekali tidak mengejutkan. Jauh-jauh hari pemerhati partai ini memperkirakan bahwa kongres partai tersebut tidak akan melahirkan perubahan politik berarti di tingkat elite partai, kecuali pada lapisan kedua. Megawati sudah dipastikan akan terpilih kembali. Bahkan, dalam prosesnya, Megawati ternyata menjadi calon tunggal dan dipilih secara aklamasi oleh peserta kongres. Di forum resmi, tidak ada persaingan. Proses politik berlangsung mulus.
Proses dan hasil kongres tersebut sangat mencerminkan kesadaran politik kader PDI Perjuangan pada umumnya. Walaupun Megawati tidak mampu memimpin PDIP untuk mempertahankan perolehan suara partai dalam pemilihan umum anggota legislatif tahun lalu, dan kalaupun ia kalah dalam persaingan untuk kembali menjadi presiden, para kader tersebut pada umumnya tidak melihat kekalahan beruntun itu sebagai tanggung jawab Megawati. Ia tetap dipandang sebagai ketua PDI Perjuangan yang berhasil; diyakini sebagai presiden Indonesia yang sukses. Pendeknya, hampir semua kader itu tidak ingin Megawati diganti. Megawati terlalu karismatik untuk dipersalahkan dan untuk diganti.
Begitulah sikap politik para kader PDI Perjuangan di basis-basis utamanya seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTT, dan Sumatera Utara beberapa minggu menjelang kongres tersebut berlangsung. Dengan demikian, keputusan kongres tersebut sangat mencerminkan aspirasi kader pada umumnya. Para utusan yang punya suara di kongres itu betul-betul menyuarakan para kader PDI Perjuangan di bawah. Dilihat dari sisi ini, kongres di Bali tersebut sangat demokratis. Tidak ada penyimpangan politik antara wakil dan yang diwakili.
Memang ada sedikit penyimpangan di tingkat elite partai dengan munculnya apa yang dikenal sebagai kelompok pembaharu. Tapi kelompok ini terlalu kecil dibandingkan dengan elite PDI Perjuangan yang lain sehingga tidak punya pengaruh terhadap kader yang punya suara di kongres tersebut. Di tingkat kader PDI Perjuangan lebih bawah, pengaruh tersebut jauh lebih tidak berarti lagi. Kita tidak mendengar suara protes dari kader PDI Perjuangan di bawah dengan terpilihnya kembali Megawati tersebut.
Apa arti penyimpangan segelintir elite tersebut? Apa arti proses demokrasi yang telah ditempuh tersebut buat partai dan buat kader sendiri? Tujuan akhir dan paling realistis dari partai politik dan orang yang terlibat di dalamnya adalah menguasai pos-pos strategis yang ada di negeri ini, baik di eksekutif maupun legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Bukan untuk menguasai pos-pos yang ada di dalam PDI Perjuangan itu sendiri. Bukan untuk menjadi "presiden" partai, melainkan presiden republik ini.
Karena itu, harus ada kesinambungan antara menjadi ketua umum partai dan semakin terbukanya peluang bagi partai untuk menguasai pos-pos strategis negara ini. Harus ada kesinambungan antara aspirasi politik kader partai dan aspirasi politik masyarakat Indonesia yang lebih luas. Bila tidak, sukses kongres tersebut tidak akan punya arti apa-apa, baik bagi partai maupun bagi kader. PDI Perjuangan menjadi tidak nyambung dengan masyarakat lebih luas.
Dalam demokrasi, pos-pos politik strategis itu dapat dicapai lewat tawar-menawar antara politisi atau partai dan masyarakat, antara elite partai dan kader di bawah. Dalam kasus kongres PDI Perjuangan, tawar-menawar antara elite partai arus utama dan para kader partai di bawah tidak banyak terjadi. Para kader partai tidak banyak menuntut syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk seorang calon ketua umum, misalnya. Kalaupun syarat itu ada, lebih bersifat simbolis, yakni komitmen ideologis yang telah dipersonifikasikan pada diri Megawati, yakni cita-cita politik Bung Karno seperti pembelaan terhadap wong cilik dan persatuan bangsa. Dalam kenyataannya, itu bukan tuntutan melainkan ungkapan kesetiaan terhadap Megawati. Di situ tidak terjadi tawar-menawar politik antara Megawati dan kader partai umumnya yang hadir di ruang kongres itu. Yang terjadi adalah pengakuan kembali akan kebesaran putri Bung Karno.
Kongres PDI Perjuangan di Bali bagaikan sebuah teater, bukan sebuah forum bagi berlangsungnya tawar-menawar politik antara kader dan elite partai arus utama. Dalam pertunjukan, yang menonjol adalah pemain utama yang dibantu oleh sejumlah pemain pembantu, dan selebihnya adalah penonton. Tidak ada pertunjukan tanpa penonton, tapi sifat dasar penonton adalah tidak berpartisipasi. Penonton tidak bisa menginterupsi lakon yang sedang berlangsung, tidak bisa meminta agar pemain utama diganti, tidak bisa meminta agar judul lakonnya diganti. Seorang penonton dapat duduk berjam-jam karena pertunjukan yang ditontonnya menarik, atau melengos pulang bila pertunjukannya membosankan.
Di dalam PDI Perjuangan, tawar-menawar politik itu tidak terjadi, tapi di masyarakat lebih luas ia merupakan kenyataan yang hidup. Tawar-menawar antara rakyat dan partai, dan antara rakyat dan politisi, telah terjadi sejak demokrasi kita mulai tahun 1999. Golkar, yang telah puluhan tahun berkuasa, tidak mampu memenuhi penawaran politik dari rakyat, misalnya menciptakan pemerintahan lebih baik. Masyarakat tidak percaya janji-janji Golkar akan diwujudkan. Keyakinan ini yang membuat Golkar kalah dalam pemilu tersebut. Rakyat lebih percaya pada PDI Perjuangan. Di bawah Megawati, ia telah lolos dari represi Soeharto. PDI Perjuangan kemudian giliran memimpin pemerintahan.
Setelah lima tahun di pemerintahan, ternyata PDI Perjuangan pun tak sebaik yang diharapkan rakyat umumnya dalam menjalankan pemerintahan. Dalam pemilihan umum 2004 yang lalu akhirnya ia gagal mempertahankan suara yang diperolehnya dalam pemilu tahun 1999. Hampir separuh dari pemilih tersebut melakukan eksodus ke partai-partai lain. Sebagai kepala pemerintahan, Megawati tak mampu meyakinkan masyarakat bahwa ia akan memimpin sebuah pemerintahan yang lebih baik lima tahun ke depan. Ia akhirnya ditinggalkan mayoritas rakyat. Ini wujud dari tawar-menawar politik demokratis. Indonesia bukan lagi sebuah theatre state, tempat kepala negara sebagai pemain utamanya dan rakyat sebagai penonton yang tak bisa mengganggu pemain utama.
Ceritera PDI Perjuangan dalam lima tahun terakhir adalah ceritera kegagalan politik. Dalam demokrasi yang normal, kegagalan tersebut seharusnya berakhir dengan sanksi politik terhadap orang yang secara struktural paling bertanggung jawab terhadap kegagalan itu. Seharusnya partai tidak lagi memilih Megawati sebagai ketua umum untuk membuka peluang lebih besar bagi perbaikan partai ke depan, terutama untuk memperbaiki perolehan suara dalam pemilu legislatif maupun dalam pemilihan umum presiden 2009 nanti. Tapi tujuan politik yang realistis ini dalam kesadaran politik kader PDI Perjuangan tampaknya telah dikalahkan oleh kekuatan simbolis bahwa Megawati adalah personifikasi dari nilai-nilai dasar perjuangan partai, yakni nilai-nilai yang ditanamkan oleh Bung Karno.
Pandangan politik para kader PDI Perjuangan ini menyimpang dari kecenderungan umum pemilih Indonesia. Penyimpangan yang dilakukan segelintir elite PDI Perjuangan, seperti Sophan Sophiaan dan Sukowaluyo, dari kecenderungan umum kader PDI Perjuangan itu dapat dipahami dari konteks bagaimana membuat PDI Perjuangan tidak menyimpang dari kecenderungan umum masyarakat Indonesia. Bila ini tercapai, peluang bagi PDI Perjuangan untuk kembali berkuasa menjadi lebih terbuka.
Logika ini tidak ditangkap dan disikapi secara positif oleh kader PDI Perjuangan pada umumnya. Sikap dan keputusan politik mereka sangat mungkin akan membuat PDI Perjuangan menjadi partai stagnan, atau malah semakin lemah. Penilaian ini mungkin terlalu dini atau terlalu prematur. Tapi ada indikasi-indikasi dasar yang menunjukkan kecenderungan ke arah itu.
Indikasi dasar yang menunjukkan kecenderungan tersebut adalah stabil atau melemahnya identifikasi diri warga, bukan jumlah pemilih, di masyarakat umumnya dengan PDI Perjuangan. Ini biasa digunakan untuk memperkirakan tingkat stabilitas dukungan terhadap partai politik. Menurut survei LSI, di akhir tahun 2003, secara nasional, warga yang mengidentikkan dirinya dengan PDI Perjuangan sebesar 12 persen. Pada tahun 2004, ketika kampanye partai dan pemilihan umum legislatif berlangsung, jumlah yang mengidentikkan diri dengan PDI Perjuangan, menurut lembaga survei yang sama, pernah meningkat menjadi 16 persen. Tapi, pada Februari 2005, jumlah itu kembali menurun menjadi 8 persen. Ini merupakan titik penurunan paling rendah dalam tiga tahun terakhir tentang sentimen publik terhadap PDI Perjuangan.
Penurunan sentimen ini sejalan dengan penurunan kemungkinan untuk memilih PDI Perjuangan kalau pemilihan umum diadakan awal tahun ini (Februari 2005). Dalam pemilihan umum tahun lalu, PDI Perjuangan mendapat suara sekitar 18,5 persen. Kalau diadakan pemilihan umum Februari 2005, yang menyatakan akan memilih PDI Perjuangan menurun menjadi 13,5 persen. Jauh kalah di bawah Partai Demokrat (28,2 persen). Ini merupakan peringatan dini bagi PDI Perjuangan.
Akankah kepengurusan baru PDI Perjuangan mampu mencegah kecenderungan merosotnya sentimen positif publik terhadap partai besar ini? Kalau dilihat dari personelnya, hampir tidak ada orang baru di kepengurusan yang baru tersebut. Kecuali adanya pertukaran posisi dari orang-orang lama yang berperan sebagai pembantu pemain utama tersebut, sementara pemain utamanya sama. Akankah orang-orang yang sama menghasilkan kinerja lebih baik dalam lima tahun ke depan? Akankah PDI Perjuangan kembali menjadi nomor satu? Akankah ketua umumnya terpilih menjadi presiden 2009 nanti?
Kalau PDI Perjuangan masih tetap seperti teater, ia sulit menjadi lebih baik. Ia susah menjadi partai yang menarik hati pemilih Indonesia yang telah berubah, yang melihat partai bukan sebagai teater melainkan sebagai partai: mendengarkan dan memperjuangkan apa yang mereka inginkan, dan elite partai diganjar dengan jabatan politik dari hasil kerja tersebut. Akankah perubahan itu terjadi? Pengurus PDI Perjuangan yang baru harus menjawabnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo