Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gubernur Suwarna sempat ka-get. Setelah diperiksa selama 14 jam sampai larut malam, Senin pekan lalu dia mendapat kepasti-an yang tidak menyenangkan. ”Pak Suwarna kami tahan,” kata O.H. Napitupulu, seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi kepadanya.
Suasana di ruang pemeriksaan KPK di Jalan Veteran, Jakarta Pusat, jadi sepi sejenak. Mungkin karena sudah letih, l-elaki 62 tahun itu akhirnya menjawab pasrah. ”Terserah saja,” ujarnya.
Malam itu juga, surat perintah pena-hanan diteken oleh Wakil Ketua KPK Bidang Penindakan Tumpak Hatorang-an Panggabean. Ini memang soal waktu saja. Sebab, Komisi sudah menetapkan status tersangka kepada Suwarna dua bulan sebelumnya.
Di depan Komisi Hukum Dewan Per-wakilan Rakyat, Ketua KPK Taufiequ-rah-man Ruki menyatakan penahanan Suwarna dilakukan setelah mendapatkan bukti kuat. ”Ada 50 saksi dan bukti- di lapangan yang kita dapat,” katanya. Ko-misi telah melakukan pemotretan sa-telit di lokasi kebun sawit yang ternyata menimbulkan kerusakan hutan parah.
Menurut Tumpak Panggabean, ter-sangka bertanggung jawab atas proyek kebun sawit sejuta hektare yang me-rugi-kan negara. Proyek itu selain me-langgar aturan pembatasan pemberian lahan, ju-ga menjadi ajang pembalakan kayu.
Suwarna juga diketahui memberikan- ke-ringanan pada sejumlah perusaha-an- pemegang izin perkebunan. Misal-nya dispensasi pembayaran provisi sumber da-ya hutan (PSDH) atas izin pemanfaat-an kayu (IPK). Proyek juga diberikan tanpa adanya kewajiban pengusaha mem-bu-ka bank garansi di Bank Pembangunan Daerah Kaltim. ”Negara di-rugikan sekitar Rp 400 miliar,” kata Tumpak. Kerugi-an itu berasal dari nilai ekonomi 2,5 juta meter kubik kayu yang hilang.
Proyek lahan sawit sejuta hektare dilansir Suwarna ketika ia baru terpilih se-bagai Gubernur Kalimantan Timur pa-da 1998. Namanya saja proyek, tapi sejatinya itu keputusan sepihak Suwarna. Tak ada keputusan daerah dan ang-gar-an untuk itu. ”Ini adalah ide atau cita-cita saya selaku kepala daerah untuk mengangkat masyarakat Kalimantan Timur yang terpuruk karena krisis ekonomi saat itu,” kata Suwarna kepada penyidik. Ia menghitung, seandainya satu hektare kebun sawit menyerap tiga tenaga kerja, maka akan tersedia tiga juta lapangan kerja baru.
Mula-mula Suwarna mewujudkan ide-nya itu di eks areal Hak Pengusahaan Hu-tan Yayasan Maju Kerja (Yamaker) mi-lik ABRI. Hutan ini berlokasi di daerah Penajam Utara, Berau, Kaltim, antara Sungai Sebuku dan Semangga-ris di perbatasan Kaltim-Sabah. Ketika izin HPH Yamaker habis pada 1999, la-han tersebut diberikan oleh Suwarna kepada sejumlah perusahaan milik Surya Dumai Group, perusahaan kayu yang bermasalah. Izin diberikan mencakup lahan seluas 440 ribu hektare.
Sejak 1999 hingga 2002, se-jumlah perusahaan milik Surya Dumai diberi rekomendasi melakukan penebangan. Malah dengan alasan agar realisasi kebun sawit makin cepat, ia memberikan bonus khusus. Perusahaan itu tidak perlu memberikan jaminan uang di bank. ”Saat itu kan krisis ekonomi, mana ada perusahaan pegang uang,” kata Suwarna di depan penyidik.
Bak pepatah dikasih hati minta jantung, belasan pe-ru-sa-haan itu ingkar jan-ji.- Se-telah membabat hutan, mer-eka tak mau membuka kebun. Kayu h-asil tebang-an diselun-dupkan ke Tawau, Sa-bah, M-alaysia.
Karena banyaknya suara sumbang, Gubernur Suwarna mencoba tegas. Pada 2003, memasuki masa jabatan kedua,- ia mengirim rekomendasi ke Bu-pati N-u-nukan untuk mencabut izin perke-bunan sejumlah perusahaan Surya Du-mai. Pa-da 2004, berbagai organi-sasi masyarakat Kalimantan Timur juga me-nemukan bahwa pembangunan kebun sawit oleh Surya Dumai ternyata fiktif.
Menurut tersangka, tanggung jawab- kesalahan tidak bisa ditimpakan kepa-danya. ”Saya tidak memberikan izin, melainkan hanya rekomendasi,” kata bekas Asisten Intelijen Kodam Tanjung Pura itu. Rekomendasi itu merupakan syarat penerbitan Izin Usaha Perkebun-an yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan. ”Namanya rekomendasi, digunakan boleh, nggak juga nggak apa-apa,” ujarnya.
Suwana mengaku telah mematuhi prosedur dalam perkara pembukaan lahan. Sebelas perusahaan yang diberi rekomendasi mendapat luas lahan 10–20 ribu hektare. Totalnya pun hanya sekitar 107 ribu hektare. Rekomendasi itu juga tidak diberikan dengan nama tunggal Surya Dumai, melainkan atas nama 11 perusahaan pemohon. ”Saya ndak tau kalau waktu itu mereka ada ikatan de-ngan PT Surya Dumai,” kata tersangka.
Keterangan Suwarna ini senada de-ngan kesaksian Martias, Presiden Direk-tur Surya Dumai, Mei lalu. Dia mengaku hanya memperoleh sekitar 21 ribu hektare hutan bagi anak-anak perusahaannya. Menurut dia, proyek kelapa sawit di Kalimantan Timur tak ada hubungan-nya dengan Surya Dumai. ”Orang-orang di Kaltim saja yang menyebut seba-gai kelompok Surya Dumai,” katanya.
Kepada penyidik, Suwarna juga me-nga-takan bahwa pelaksana dan peng-awas proyek sejuta hektare adalah Departemen Kehutanan dan Dinas Per-keb-unan. ”Rekomendasi jadi defi-nitif kan jika su-dah mendapat izin pri-nsip De-partemen- Kehutanan,” katanya. De-ngan kata lain, dia menyalahkan departemen yang mem-berikan izin.
Sementara itu, bekas Menteri Kehutanan Nur Mahmudi Ismail membantah telah memberikan izin tersebut. Dia menyatakan, selama menjabat menteri diri-nya tak pernah memberikan izin penye-rahan lahan untuk perkebunan kelapa sawit. ”Jadi, itu tanggung jawab gubernur,” kata Nur Mahmudi yang kini jadi Wali Kota Depok.
Sebelum diambil alih KPK, kasus kebun sawit sejuta hektare itu pernah ditangani oleh Kejaksaan Agung. Pada 2003, bekas Kepala Kantor Wilayah De-partemen Kehutanan Kalimantan Ti-mur, Robian, juga telah dijadikan tersangka. Soalnya, ”Gubernur Su-warna memberikan rekomendasi atas masuk-an tersangka,” kata Kemas Yahya Rahman, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung kala itu. Kasus ini ke-mu-dian dihentikan dengan alasan tak ditemu-kan unsur kerugian negara. Soal-nya, belakangan ditemukan bahwa duit provisi dan setoran Dana Reboisasi sudah disetor ke bank.
Setelah sempat terkatung-katung, kasus ini akhirnya ditangani oleh KPK. Komisi mengaku berhasil menemukan bukti kuat. Suwarna pun dijerat dengan sangkaan korupsi berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi karena telah menimbulkan kerugian ne-gara. Ancaman maksimal h-ukum-an-nya adalah penjara seumur h-idup.
Kuasa hukum Suwarna menyatakan, penerapan pasal korupsi dalam kasus Suwarna tidak tepat. ”Kalau Ko-misi me-nuduh telah terjadi pembalakan, se-harusnya yang digunakan adalah U-ndang-Undang Lingkungan,” kata S-u-geng Teguh Santoso, pengacara sang g-ubernur.
Arif A. Kuswardono, Riky Ferdianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo