Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Aksi anggota Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia atau BEM SI menggelar unjuk rasa 'Indonesia Gelap' berlanjut besok, Kamis, 2 Februari 2025. Aksi demo lanjutan ini dilakukan untuk mendesak tanggung jawab pemerintah terhadap situasi negara yang diklaim semakin memburuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah digelar pada Senin, 17 Oktober 2025, berpusat di kawasan Patung Kuda, Jalan Merdeka Barat, Jakarta, dan di sejumlah daerah, aksi 'Indonesia Gelap' ini akan dilanjutkan besok dengan aksi besar-besaran di seluruh negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenapa dipilih pada 20 Februari?
Menurut Koordinator BEM SI Pusat, Herianto, aksi besar-besaran itu digelar pada 20 Februari 2025 karena bertepatan dengan pelantikan kepala daerah terpilih dalam Pilkada 2024 oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta.
"Ini aksi lanjutan karena pemerintah masih abai terhadap aspirasi mahasiswa,” katanya.
Rencana itu diputuskan dalam konsolidasi Aliansi BEM SI dengan aliansi BEM di perguruan tinggi lain.
Menurut dia, 20 Februari menjadi momen yang tepat untuk memperingatkan pemerintah akan situasi negara yang mereka klaim semakin memburuk.
“Jadi bebannya bukan pemerintah pusat saja. Pemerintah daerah juga harus berpikir posisi di sana,” kata Herianto kepada Tempo, Selasa, 18 Februari 2025.
Pemilihan tajuk Indonesia Gelap dan penggunaan simbol Garuda berlatar hitam adalah representasi visual dari kondisi bangsa yang dianggap suram dan jauh dari cita-cita keadilan sosial.
Aliansi mahasiswa dan koalisi masyarakat sipil memandang bahwa kinerja pemerintahan perlu dikritik. Sebab, setelah 100 hari masa pemerintahan, kebijakan yang dibuat dianggap justru semakin menyengsarakan masyarakat Indonesia.
Aksi ini mengangkat 13 tuntutan, di antaranya pembatalan pemangkasan anggara; menolak RUU Minerba; mendesak evaluasi total program makan bergizi gratis; hapuskan dwifungsi ABRI; reformasi Polri; cabut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025; realisasikan anggaran tunjangan kinerja dosen; cabut proyek strategis nasional (PSN) yang dianggap menjadi alat perampasan tanah rakyat; dan efisiensi kabinet Merah Putih.
Mensesneg: Beri Prabowo Waktu
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi meminta kepada masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada pemerintahan Presiden Prabowo, yang baru menjabat selama 100 hari.
"Bahwa itu belum bisa menyenangkan semua pihak, mungkin ada pihak-pihak yang masih belum bisa menerima. Bagi kami pemerintah itu biasa," kata Prasetyo di Jakarta seperti dikutip Antara, Selasa.
Dia pun menganggap bahwa adanya aksi yang digelar pada Senin di Jakarta tersebut merupakan kebebasan berekspresi. Namun, dia pun mengingatkan bahwa jangan sampai ada isu yang di belok-belokkan dari fakta sebenarnya.
"Mana? Nggak ada Indonesia gelap gitu. Kita akan menyongsong Indonesia bangkit. Kita sebagai bangsa harus optimis," ujar dia.
Terkait kebijakan efisiensi anggaran yang dipermasalahkan, dia pun meminta para mahasiswa untuk lebih jeli dalam menyoroti hal itu. Sebab, kata dia, pemerintah melalui Menteri Keuangan pun sudah menjelaskan secara rinci unsur-unsur yang terkena efisiensi.
Dia menegaskan bahwa kebijakan efisiensi tersebut tidak berdampak pada sektor pendidikan. Menurut dia, program Kartu Indonesia Pintar (KIP) hingga beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP), dipastikan terus berjalan.
"Jadi menyampaikan pendapat tidak ada masalah, kami pemerintah akan terus menerima masukan. Karena bagi kami masukan-masukan itu adalah koreksi juga kepada kami," tuturnya.
Menurut dia, efisiensi yang diterapkan berfungsi memangkas anggaran-anggaran yang kurang produktif, seperti seminar hingga acara-acara seremonial. Menurut dia, rakyat membutuhkan aksi nyata dari pemerintah dalam menerapkan kebijakan anggaran.
"Jadi jangan digeser ke efisiensi ini seolah-olah akan mengganggu kinerja, seolah-olah memberatkan masyarakat. Tidak begitu semangatnya itu," katanya.
Sekjen Gerindra: Masyarakat Kaget
Sekjen Partai Gerindra yang juga Ketua MPR RI Ahmad Muzani mengatakan ia bisa memaklumi adanya aksi 'Indonesia Gelap' sebab pemerintahan Prabowo baru awal berjalan sehingga kebijakan yang dikeluarkan kerap kali membuat masyarakat kaget.
"Yang dilakukan oleh Pak Prabowo sekarang ini baru tahap awal sehingga menimbulkan kekagetan, dan seringkali reaksinya berlebihan dan kontraproduktif, tetapi sebagai sebuah reaksi, saya kira itu boleh saja," kata Muzani seperti dikutip Antara.
Menurut dia, reaksi kekagetan itu juga muncul di internal birokrasi pemerintahan atas kebijakan baru di era pemerintahan Presiden Prabowo.
Misalnya, kata dia, terkait efisiensi anggaran kementerian/lembaga yang diamanatkan melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
"Karena kan, sekian lama birokrasi bergerak dengan pengetatan yang relatif longgar, kemudian sekarang ada penghematan anggaran sehingga itu menimbulkan kekagetan-kekagetan itu," ucapnya.
Akibat kekagetan itu, lanjut dia, seringkali menimbulkan sikap-sikap kontraproduktif di tengah masyarakat yang salah kaprah dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
"Kekagetan itulah yang seringkali menimbulkan sikap-sikap kontraproduktif, bahkan salah dipahami atas apa yang dimaksudkan oleh pemerintah dalam hal ini oleh Presiden Prabowo. Itu yang terjadi sehingga seringkali ini disalahpahamkan," tuturnya.
Padahal, menurut dia, kebijakan itu dimaksudkan untuk kebaikan jangka panjang. Meski demikian, dia menegaskan bahwa pemerintah akan mendengarkan aspirasi yang disampaikan oleh publik.
Namun sejumlah lembaga yang terkena pemangkasan anggaran besar-besaran banyak yang mengeluh. Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai mengungkapkan bahwa pemangkasan anggaran sebesar 54 persen membuat gaji pegawai KY hanya cukup hingga Oktober 2025. Jika tidak ada tambahan anggaran, operasional lembaga ini terancam lumpuh.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemangkasan anggaran di tiga lembaga perlindungan LPSK, Komnas HAM dan Komnas Perempuan, sebagai bukti nihilnya komitmen pemajuan HAM dan perbaikan sistem hukum dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Proses disrupsi fungsi dan kinerja lembaga demokrasi menggunakan pelemahan dan pengurangan anggaran merupakan cerminan sebuah negara Anti HAM,” kata Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya, dalam keterangan resmi, pada Rabu, 12 Februari 2025.
Hammam Izzudin, Linda Lestari, Novali Panji Nugroho, Oyuk Ivani S dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan ini.