Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Alasan MK Tolak Permohonan Alexander Marwata Soal Pimpinan KPK Bertemu Tersangka

MK menyatakan seharusnya KPK dijalankan oleh para pimpinan yang memiliki integritas, loyalitas, dan nilai pengabdian tinggi.

3 Januari 2025 | 14.26 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata bersama (tengah) memberikan keterangan terpilihnya lima Pimpinan KPK periode 2024-2029 di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 22 November 2024. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi atau MK memutuskan menolak permohonan mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Alexander Marwata perihal uji materi Pasal 36 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK yang mengatur ketentuan larangan pimpinan KPK berhubungan dengan pihak tersangka korupsi.

“Menolak permohonan pemohon I untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 158/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis, 2 Januari 2025, seperti dikutip dari Antara.

Pasal yang dipersoalkan oleh Alex Marwata seutuhnya berbunyi, “Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK dengan alasan apa pun.”

Pada perkara ini, Alex Marwata meminta MK menghapus pasal tersebut atau menggantinya menjadi, “Mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau yang mewakilinya dengan maksud untuk meringankannya.”

Dalam pertimbangan putusan, MK menyatakan keberadaan Pasal 36 huruf a UU KPK justru dapat menjadi instrumen jaminan untuk mengawal sifat kekhususan dan muruah lembaga KPK.

Menurut MK, mengingat karakteristik KPK yang dapat dikategorikan sebagai lembaga yang bersifat luar biasa atau extraordinary function, seharusnya lembaga tersebut dijalankan oleh para pimpinan yang memiliki integritas, loyalitas, dan nilai pengabdian tinggi.

“Bahkan seharusnya lebih tinggi kadarnya dari rata-rata dibanding unsur penegak hukum lainnya,” kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan putusan itu.

Karena itu, menurut Mahkamah, norma Pasal 36 huruf a UU KPK merupakan norma yang penting dan fundamental untuk menjadi rujukan bagi para pimpinan KPK dan dapat menjadi instrumen sistem peringatan dini bagi seluruh pimpinan KPK.

MK juga turut menegaskan titik awal potensi terjadinya suatu perkara dugaan tindak pidana korupsi adalah saat adanya laporan atau pengaduan masyarakat yang telah dilaporkan kepada pimpinan KPK.

Artinya, ketika sebuah pengaduan masyarakat sudah masuk dan telah diteruskan kepada pimpinan, sejak itu pula menjadi titik awal pimpinan KPK untuk tidak boleh berhubungan secara langsung ataupun tidak dengan pihak yang berpotensi menjadi tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara yang dilaporkan masyarakat.

Mahkamah menyimpulkan pokok permohonan Alex tidak beralasan menurut hukum. Karena itu, MK menolak permohonan mantan Wakil Ketua KPK itu untuk seluruhnya.

Dalam perkara ini, Alex Marwata merupakan pemohon I, sementara Auditor Muda KPK Lies Kartika Sari sebagai pemohon II, dan Pelaksana Unit Sekretariat Pimpinan KPK Maria Fransiska sebagai pemohon III. Namun MK menyatakan pemohon II dan III tidak memiliki kedudukan hukum.

Alexander Marwata Ungkap Alasan Ajukan Uji Materi 2 Pasal UU KPK

Sebelumnya, Alexander Marwata mengajukan permohonan uji materi (judicial review) terhadap dua pasal Undang-Undang KPK ke MK. “Permohonan JR (judicial review) Pasal 36 untuk pimpinan dan Pasal 37 untuk pegawai KPK,” katanya saat dikonfirmasi pada Kamis, 7 November 2024.

Permohonan itu telah dimasukkan pada Senin, 4 November 2024. Alex mengajukan permohonan uji materi Pasal 36 huruf a dan Pasal 37 UU KPK. Pasal 37 yang ikut dimohonkan oleh Alex berbunyi, “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 berlaku juga untuk Tim Penasihat dan pegawai yang bertugas pada Komisi Pemberantasan Korupsi.

Menurut Alex, pasal tersebut bagi dia sebagai pimpinan serta pegawai KPK yang terlibat bisa dijadikan alat untuk mengkriminalisasi. “Rumusan pasal itu tidak jelas, sekalipun dalam penjelasan UU KPK dinyatakan cukup jelas. Di mana ketidakjelasannya atau setidaknya menimbulkan penafsiran yang berbeda dengan perumus undang-undang,” katanya.

Dewas KPK Nilai Perkara Alexander Marwata Tak Perlu Sidang Etik

Sementara itu, Dewan Pengawas KPK menghentikan pengusutan perkara dugaan pelanggaran etik Alexander Marwata. Dugaan pelanggaran etik ini karena Alex bertemu dengan mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto yang sedang berperkara dengan KPK.

Juru bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyampaikan kesimpulan Dewas tersebut adalah tindak lanjut dari laporan soal Alexander. 

“Berdasarkan fakta dan bukti yang diperoleh dari hasil klarifikasi, Dewan Pengawas berkesimpulan bahwa perbuatan terlapor Alexander Marwata dinyatakan tidak cukup alasan untuk dilanjutkan ke sidang etik,” kata Tessa melalui keterangan tertulis pada Selasa, 17 Desember 2024.

Alasannya, kata Tessa, pertemuan antara Alexander dan Eko terjadi dalam rangka pelaksanaan tugas pimpinan KPK. Tessa menyebutkan tugas tersebut adalah menerima pengaduan dugaan tindak pidana korupsi dari Eko Darmanto.

Tessa juga menuturkan Dewas KPK berargumen Alexander juga didampingi oleh pegawai KPK dari Direktorat Penerimaan Layanan Pengaduan (PLPM). “Serta hasilnya disampaikan kepada pimpinan yang lain,” ucap Tessa.

Alexander Marwata dilaporkan ke Dewas KPK pada September 2024. Laporan itu mempersoalkan pertemuan Alexander dengan tersangka korupsi Eko Darmanto, eks Kepala Bea Cukai Yogyakarta.

Laporan itu dibuat oleh Forum Mahasiswa Peduli Hukum. Alexander disebut melanggar Pasal 4 ayat (2) huruf a dan b Peraturan Dewas KPK Nomor 3 Tahun 2021. 

“Seharusnya tidak perlu adanya hubungan komunikasi baik langsung maupun tidak langsung antara Alexander Marwata dan Eko Darmanto,” kata Ketua Forum Mahasiswa Peduli Hukum Raja Oloan Rambe dalam keterangannya pada Jumat, 27 September 2024. 

Pertemuan Alexander dengan Eko itu terjadi di Gedung Merah Putih KPK pada 9 Maret 2023. Kala itu, KPK sedang menyelidiki Eko yang viral karena pamer harta (flexing) di media sosial dan dicopot dari jabatannya pada 3 Maret 2023.

Eko Darmanto sudah divonis enam tahun penjara dan denda Rp 500 juta pada 27 Agustus 2024. Dia dianggap bersalah melakukan tindak pidana korupsi berupa gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Dani Aswara, Sultan Abdurrahman, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Lima Pedoman Rekayasa Konstitusional dari MK untuk Revisi UU Pemilu

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus