Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Amanat Terakhir Sita

Pengadilan memenangkan gugatan sepasang anak terhadap Rumah Sakit Pondok Indah. Keteledoran rumah sakit dan dokter dituding sebagai penyebab ibu mereka meninggal.

10 September 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PITRA Azmirla kini bisa bernapas lega. Amanat ibunya, Sita Dewati Darmoko, sebelum meninggal, sudah ia kerjakan. ”Pesan Ibu, itu untuk kebaikan orang lain, agar kejadiannya tidak terulang,” ujar ibu satu orang anak ini. Kamis dua pekan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatan perdata yang diajukan Pitra dan adiknya, Damitra Almira, terhadap Rumah Sakit Pondok Indah dan enam orang dokter yang menangani operasi tumor ovarium ibu mereka.

Majelis hakim pimpinan Sulthoni menyatakan para tergugat terbukti melakukan perbuatan melawan hukum. Para tergugat diperintahkan untuk secara tanggung renteng membayar ganti rugi Rp 2 miliar kepada Pitra dan Damitra. Hakim memberikan waktu dua pekan agar tergugat membayar ganti rugi itu.

Kasus ini berawal pada 12 Februari 2005, ketika Sita menjalani operasi pengangkatan tumor ovarium di rumah sakit mewah itu. Saat operasi, dilakukan uji sampel jaringan tumor atau pathology anatomy ke laboratorium. ”Untuk mengetahui apakah tumor itu ganas atau tidak,” kata Pitra. Hasilnya, menurut dokter, tumor yang diderita janda almarhum Darmoko Slamet, bekas Direktur Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen Pertambangan dan Energi, itu tak ganas. Maka tindakan medis yang diambil sesuai dengan prosedur untuk pasien penderita tumor jinak.

Namun dokter ahli kandungan yang menanganinya, Prof Dr Ichramsyah A. Rachman, mencurigai hasil itu. Soalnya, sebelumnya, Sita sempat menjalani uji laboratorium cancer antigen 125. Hasilnya, kandungannya lebih dari 500 miligram. ”Normalnya nol sampai 35 miligram,” kata Pitra. Karena kecurigaan itu, dilakukan operasi untuk mengangkat ovarium Sita. Setelah itu, tim dokter kembali menguji sisa jaringan tumor di laboratorium. Uji pathology anatomy kedua ini dilakukan dengan metode le bih akurat. Tapi hasil uji tanggal 16 Fe bruari 2005 ini tak pernah sampai ke tangan Sita atau keluarganya.

Beberapa hari setelah operasi, Sita boleh pulang tanpa tahu apa hasil uji kedua itu. ”Hasil itu baru disampaikan satu tahun kemudian, setelah Sita mengeluh lagi ada benjolan di perut,” ujar Suryo Wicaksono, salah satu anggota tim kuasa hukum Pitra. Saat Sita kembali pada Februari 2006, dokter baru menunjukkan hasil laboratorium tertanggal 16 Februari 2005 itu. Ternyata tumor yang diderita Sita masuk kategori kanker ganas stadium empat.

Sita dan kedua putrinya terkejut. Mereka merasa kehilangan waktu untuk berobat. ”Kalau tahu tumor ganas, pasca-operasi harus dilakukan tindakan medis spesifik, misalnya kemoterapi,” kata Pitra. Lantaran cuma hasil uji pertama yang diketahui, Sita selama ini hanya menjalani penyembuhan untuk tumor jinak. ”Bayangkan, jangankan satu tahun, dalam hitungan minggu saja kanker sudah menjalar ke mana-mana.”

Karena pemberian informasi yang telat itulah Sita mengajukan somasi ke Rumah Sakit Pondok Indah. Musyawarah dilakukan, tapi tak ada hasilnya. Pihak rumah sakit sempat menawarkan uang pengganti hingga Rp 1 miliar. ”Tapi tawaran tidak direalisasi,” kata Pitra. Sementara itu, Sita pindah berobat ke Rumah Sakit Medistra. Di sini, ia menjalani kemoterapi, radiasi, dan minum obat-obatan. Uji laboratorium dilakukan lagi, bahkan hingga ke Singapura.

Semuanya terlambat. Sel kanker sudah menjalar hingga ke batang otak Sita. Setelah tujuh kali menjalani kemoterapi, pada Mei 2006, perempuan 63 tahun ini meninggal. Sita berpesan agar anak-anaknya terus menuntut ketidakadilan yang ia alami dari Rumah Sakit Pondok Indah. Lantaran musyawarah tetap buntu, pada November 2006, Pitra membawa kasus ini ke pengadilan. Ada tujuh pihak yang mereka gugat, yaitu PT Guna Mediktama, pemilik Rumah Sakit Pondok Indah, dan enam dokter yang menangani Sita, antara lain Hermansur Kartowisastro, Ichramsyah Rachman, I Made Nazar, Emil Taufik, dan Mirza Zoebir.

Setelah sekitar 15 kali bersidang sejak Desember 2006, akhirnya hakim Sulthoni pun mengetuk palu: menyatakan para tergugat terbukti bersalah. Alasan hakim, hasil lab sesungguhnya yang menyatakan Sita menderita tumor ganas tidak disampaikan kepada pasien. ”Kewajiban hukum utama seorang dokter adalah memberikan informasi yang cukup kepada pasien, diminta atau tidak,” kata Sulthoni.

Menurut hakim, kecerobohan itu berakibat fatal. Para tergugat dinyatakan melakukan perbuatan yang bertentang an dengan prinsip ketelitian dan kehati-hatian. ”Akibat kesalahan itu, timbul kerugian di pihak pasien atau penggugat,” kata Sulthoni. Tapi majelis hakim tidak mengabulkan tuntutan ganti rugi materiil dan imateriil sebesar Rp 20 mi liar yang diminta Pitra. Hakim ”hanya” memerintahkan tergugat membayar ganti rugi Rp 2 miliar.

Putusan ini ditanggapi berbeda antara Rumah Sakit Pondok Indah dan dokter spesialis kandungan, Ichramsyah. Pihak rumah sakit menilai dokter kandungan yang harus bertanggung jawab, sementara Ichramsyah menyatakan pembayaran ganti rugi itu tugas rumah sakit. Dalam sidang, kedua tergugat ini memang menjadi pihak yang ”berseberang an” karena, setelah kasus itu, Ichramsyah tak lagi berpraktek di sana.

Pengacara Rumah Sakit Pondok Indah, Zaky Tandjung, menilai pertimbangan hukum majelis keliru. ”Hakim gagal menganalisis hubungan hukum dokter selaku pemberi jasa medis dengan pasien,” ujarnya. Dalam bertindak, kata dia, dokter bersifat otonom. ”Saat memberikan jasa medis, dokter tak pernah melibatkan atau meminta persetujuan rumah sakit.” Karena itu, menurut dia, tidak berdasar jika Rumah Sakit Pondok Indah harus menanggung beban atas tindakan yang dilakukan dokter. Hasil uji pada 16 Februari itu, kata Zaky, juga telah dikirim ke dokter kandungan yang menangani Sita. ”Pengiriman hasil lab itu ada catatannya,” ujarnya.

Kuasa hukum Ichramsyah, Said Damanik, menegaskan kliennya tak melakukan kelalaian. Menurut dia, pemberkasan pasien dilakukan petugas rekam medis. ”Petugas Rumah Sakit Pondok Indah yang lalai.” Ichramsyah sendiri tak mau berkomentar atas putusan pengadilan ini. ”Saya sedang seminar di Bangkok,” katanya melalui pesan pendek yang ia kirim ke Tempo.

Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Fahmi Idris menyatakan pihaknya menghormati putusan pengadilan yang menghukum para dokter itu. Hanya, menurut Fahmi, kasus seperti ini mestinya dibawa ke Ikatan Dokter dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. ”Sanksi bagi para dokter yang melakukan pelanggaran memang tidak bersifat pidana atau perdata, tapi penegakan disiplin,” katanya. Fahmi khawatir, jika profesi dokter dituntut pidana atau perdata yang nilainya miliaran rupiah, akibatnya buruk bagi dokter. ”Mereka takut berpraktek atau hanya mengerjakan kasus yang mudah,” kata Fahmi.

Kuasa hukum Pitra, Firman Wijaya, tak setuju dengan pendapat Fahmi. Menurut Firman, putusan ini justru akan memberikan pelajaran bagi masyarakat. Dokter pun, kata dia, bisa digugat jika melakukan kelalaian. ”Ini penting untuk perbaikan standar profesi pela yanan medis,” ujar Firman.

Dimas Adityo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus