Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Ambisi seorang Sersan

Sersan edy sampak, 40, merampok uang gaji pegawai kodim cianjur karena dendam pada pembawa uangnya serma sutardjat. gagal beberapa kali menjadi lurah, pernah diturunkan pangkatnya karena melawan disiplin.(krim)

8 September 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH Edy Sampak tertangkap kabarnya ia ingin agar kisah petualangannya difilmkan--seperti kisah Mat Peci, itu bandit ulung dari Bandung. Itu bukan ambisinya yang pertama. Edy Sampak dilahirkan di Desa Mande, Banten, 40 tahun lalu. Ketika itu orang tuanya, Sataka (kini 75 tahun), hanya memberinya nama Sampaksaja. Sementara ada sumber menyatakan Sampak pernah duduk sebagai siswa guru SGB. Lalu masuk sekolah calon tamtama militer. Cerita yang lain menyebutkan, begitu lulus SD, Sampak masuk tentara (1957) dengan pangkat Prajurit II. Yang jelas belakangan nama depannya bertambah dengan Edy. Pangkatnya Sersan I--yaitu penurunan pangkat dari Sersan Mayor karena tindakannya melawan disiplin. Cita-citanya, setelah menjalani berbagai tugas militer--seperti menumpas gerombolan Paraku di Kalimantan -- ingin menjadi seorang kepala desa. Dalam pemilihan lurah di Desa Nagrak (Nopember 1978), Cianjur, Edy Sampak berdiri sebagai calon. Tapi meskipun sebagai calon tunggal, ternyata sersan bertubuh sedang (165 cm) dengan kumis tipis ini tetap tak terpilih. Penduduk desa lebih suka memberikan suaranya untuk sebuah kotak kosong. Dari 2000 suara ternyata hanya sekitar 700 orang saja yang mau memilihnya. Kegagalannya menduduki kursi kepala desa itu sangat mengecewakannya. Padahal untuk kampanye, menurut cerita isterinya Nyonya Komariah telah habis biaya sekitar Rp 3 juta "dari hasil menggadaikan sawah dan perhiasan." Belum lagi uang "administrasi" yang sekitar Rp 500 ribu. Ia gagal merebut suara rakyat, begitu cerita Edy Sampak kepada Hasan Syukur dari TEMPO, karena sikap atasannya. Dia merasa dianaktirikan oleh Komandan Kodim Cianjur Letkol A. Kachja--yang dianggapnya "tidak memberikan restu" dan tidak mengamankan pencalonannya. Hambatan lainnya, katanya pula, karena ia juga dituduh pernah melakukan perampokan. Isyu begitu, katanya lagi, dilemparkan oleh seorang camat sehingga penduduk membencinya. Edy Sampak cukup berada. Ada sawahnya. Isterinya, selain Nyonya Komariah dan Suheiti, kabarnyaada beberapa lagi. Tapi semuanya itu tak cukup menghiburnya dari kegagalannya menjadi kepala desa. Apalagi kegagalannya di Nagrak tetnyata bukan yang pertama. Di Serang dulu Edy pernah juga berusaha jadi lurah. Gagal. Malah ia dituduh telah membunuh salah seorang pendukung saingannya. Tuduhan tak terbukti, karena menurut pemeriksaan, peluru dari tubuh korban tidak sama dengan yang dimiliki Edy. Tak Peduli Mati Namun demikian, dengan berbagai dalih, atasannya ternyata memang tidak merestuinya menjadi calon Kepala Desa Nagrak. "Kalau konditenya jelek," kata Mayor Legiono dari penerangan Kodam Siliwangi, "walaupun ia diajukan oleh banyak penduduk, ia tetap tidak akan dikabulkan." Kenyataannya memang demikian. Belakangan ternyata Dandim Cianjur mendukung pencalonan Serma Sutardjat sebagai kepala desa. Sutardjat diangkat sebagai pejabat Kepala Desa Nagrak. Hal itu membuat dendam di hati Sampak seperti disulut. Pokoknya, katanya, bila ada seseorang yang coba-coba menjadi kepala desa selagi ia masih bercokol di Nagrak "akan saya hantam . . . tak peduli saya harus mati!" Sejak itulah Edy Sampak mulai bekerja. Menurut pengakuannya setelah tertangkap, katanya, dia hanya bekerja bersama Odjeng saja. "Saya rela dihukum apapun juga," katanya, "tidak akan melibatkan siapapun dalam persoalan ini. Ini persoalan saya sendiri -- karena dendam." Tapi menurut sumber di Kodim Cianjur, Edy mengumpulkan beberapa orang kawan untuk mendukung rencananya. Edy pernah minta 5 buah granat dan 200 butir peluru dari salah seorang pegawai gudang persenjataan. Ditolak. Tapi dia berhasil menggelapkan jatah peluru yang seharusnya untuk Koramil Karangtengah. Sedangkan senapan Karl Gustaf dicurinya, 6 Agustus lalu, dari Koramil juga. Sedianya pembunuhan terhadap Serma Sutardjat dan sekalian merampok uang gaji pegawai Kodim direncanakan sebulan sebelum peristiwa belakangan ini. Tapi gagal karena kawankawannya tak bisa kumpul. Barulah, 17 Agustus lalu, Edy berhasil menghimpun teman-temannya. Sasaran yang sebenarnya memang Sutardjat. "Saya membunuh karena iri," katanya. Tapi karena gugup, katanya, dengan mata terpejam Edy menghantam semua penumpang bis mini tanpa pandang bulu. Setelah membakar kendaraan berikut penumpangnya, Edy bersama Odjeng kabur, mengembara sekitar perkebunan teh di lereng Gunung Gede. Di sana mereka bertahan selama dua hari. Hanya tomat dan buah-buahan lain yang mereka gunakan untuk mengganjal perut. Odjeng, 23 Agustus, disuruhnya turun gunung membeli makanan. Cerita lain menyebutkan Odjeng disuruhnya turun untuk mengantar uang kepada seseorang. Tapi ia tak pernah kembali --karena tertangkap pengejarnya. Edy akhirnya turun sendiri ke Desa Cirumput. Kepada seorang penduduk, Bu Icah, dimintanya sekedar makanan. Tapi belum lagi Bu Icah memberinya makanan, mendadak muncul tentara. Edy kabur lagi. Di Desa Karangnunggal, sebelum terjebak tentara, Edy telah memaksa pegawai kehutanan, Muhtar, mencopot dan menjual sepatunya dengan harga Rp 2.500. Setelah jadi dan pantatnya tertembak, katanya kepada sumber TEMPO, jejaknya sebenarnya hampir tercium oleh seekor anjing pelacak. Jaraknya dengan hidung anjing hanya tinggal sekitar 4 meter saja. Tapi, rupanya, anjing pelacak lebih tertarik kepada bungkusan plastik dan sejumlah uang yang ditinggalkan Edy. Dan setelah tertangkap, "saya kini menyesal . . . tapi semuanya telah terjadi," kata Edy Sampak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus