SETELAH Edy Sampak tertangkap kabarnya ia ingin agar kisah
petualangannya difilmkan--seperti kisah Mat Peci, itu bandit
ulung dari Bandung. Itu bukan ambisinya yang pertama.
Edy Sampak dilahirkan di Desa Mande, Banten, 40 tahun lalu.
Ketika itu orang tuanya, Sataka (kini 75 tahun), hanya
memberinya nama Sampaksaja. Sementara ada sumber menyatakan
Sampak pernah duduk sebagai siswa guru SGB. Lalu masuk sekolah
calon tamtama militer. Cerita yang lain menyebutkan, begitu
lulus SD, Sampak masuk tentara (1957) dengan pangkat Prajurit
II.
Yang jelas belakangan nama depannya bertambah dengan Edy.
Pangkatnya Sersan I--yaitu penurunan pangkat dari Sersan Mayor
karena tindakannya melawan disiplin.
Cita-citanya, setelah menjalani berbagai tugas militer--seperti
menumpas gerombolan Paraku di Kalimantan -- ingin menjadi
seorang kepala desa. Dalam pemilihan lurah di Desa Nagrak
(Nopember 1978), Cianjur, Edy Sampak berdiri sebagai calon. Tapi
meskipun sebagai calon tunggal, ternyata sersan bertubuh sedang
(165 cm) dengan kumis tipis ini tetap tak terpilih. Penduduk
desa lebih suka memberikan suaranya untuk sebuah kotak kosong.
Dari 2000 suara ternyata hanya sekitar 700 orang saja yang mau
memilihnya.
Kegagalannya menduduki kursi kepala desa itu sangat
mengecewakannya. Padahal untuk kampanye, menurut cerita
isterinya Nyonya Komariah telah habis biaya sekitar Rp 3 juta
"dari hasil menggadaikan sawah dan perhiasan." Belum lagi uang
"administrasi" yang sekitar Rp 500 ribu.
Ia gagal merebut suara rakyat, begitu cerita Edy Sampak kepada
Hasan Syukur dari TEMPO, karena sikap atasannya. Dia merasa
dianaktirikan oleh Komandan Kodim Cianjur Letkol A. Kachja--yang
dianggapnya "tidak memberikan restu" dan tidak mengamankan
pencalonannya. Hambatan lainnya, katanya pula, karena ia juga
dituduh pernah melakukan perampokan. Isyu begitu, katanya lagi,
dilemparkan oleh seorang camat sehingga penduduk membencinya.
Edy Sampak cukup berada. Ada sawahnya. Isterinya, selain Nyonya
Komariah dan Suheiti, kabarnyaada beberapa lagi. Tapi semuanya
itu tak cukup menghiburnya dari kegagalannya menjadi kepala
desa. Apalagi kegagalannya di Nagrak tetnyata bukan yang
pertama. Di Serang dulu Edy pernah juga berusaha jadi lurah.
Gagal. Malah ia dituduh telah membunuh salah seorang pendukung
saingannya. Tuduhan tak terbukti, karena menurut pemeriksaan,
peluru dari tubuh korban tidak sama dengan yang dimiliki Edy.
Tak Peduli Mati
Namun demikian, dengan berbagai dalih, atasannya ternyata memang
tidak merestuinya menjadi calon Kepala Desa Nagrak. "Kalau
konditenya jelek," kata Mayor Legiono dari penerangan Kodam
Siliwangi, "walaupun ia diajukan oleh banyak penduduk, ia tetap
tidak akan dikabulkan." Kenyataannya memang demikian. Belakangan
ternyata Dandim Cianjur mendukung pencalonan Serma Sutardjat
sebagai kepala desa. Sutardjat diangkat sebagai pejabat Kepala
Desa Nagrak. Hal itu membuat dendam di hati Sampak seperti
disulut. Pokoknya, katanya, bila ada seseorang yang coba-coba
menjadi kepala desa selagi ia masih bercokol di Nagrak "akan
saya hantam . . . tak peduli saya harus mati!"
Sejak itulah Edy Sampak mulai bekerja. Menurut pengakuannya
setelah tertangkap, katanya, dia hanya bekerja bersama Odjeng
saja. "Saya rela dihukum apapun juga," katanya, "tidak akan
melibatkan siapapun dalam persoalan ini. Ini persoalan saya
sendiri -- karena dendam." Tapi menurut sumber di Kodim Cianjur,
Edy mengumpulkan beberapa orang kawan untuk mendukung
rencananya.
Edy pernah minta 5 buah granat dan 200 butir peluru dari salah
seorang pegawai gudang persenjataan. Ditolak. Tapi dia berhasil
menggelapkan jatah peluru yang seharusnya untuk Koramil
Karangtengah. Sedangkan senapan Karl Gustaf dicurinya, 6 Agustus
lalu, dari Koramil juga.
Sedianya pembunuhan terhadap Serma Sutardjat dan sekalian
merampok uang gaji pegawai Kodim direncanakan sebulan sebelum
peristiwa belakangan ini. Tapi gagal karena kawankawannya tak
bisa kumpul. Barulah, 17 Agustus lalu, Edy berhasil menghimpun
teman-temannya.
Sasaran yang sebenarnya memang Sutardjat. "Saya membunuh karena
iri," katanya. Tapi karena gugup, katanya, dengan mata terpejam
Edy menghantam semua penumpang bis mini tanpa pandang bulu.
Setelah membakar kendaraan berikut penumpangnya, Edy bersama
Odjeng kabur, mengembara sekitar perkebunan teh di lereng Gunung
Gede. Di sana mereka bertahan selama dua hari. Hanya tomat dan
buah-buahan lain yang mereka gunakan untuk mengganjal perut.
Odjeng, 23 Agustus, disuruhnya turun gunung membeli makanan.
Cerita lain menyebutkan Odjeng disuruhnya turun untuk mengantar
uang kepada seseorang. Tapi ia tak pernah kembali --karena
tertangkap pengejarnya. Edy akhirnya turun sendiri ke Desa
Cirumput. Kepada seorang penduduk, Bu Icah, dimintanya sekedar
makanan. Tapi belum lagi Bu Icah memberinya makanan, mendadak
muncul tentara. Edy kabur lagi.
Di Desa Karangnunggal, sebelum terjebak tentara, Edy telah
memaksa pegawai kehutanan, Muhtar, mencopot dan menjual
sepatunya dengan harga Rp 2.500. Setelah jadi dan pantatnya
tertembak, katanya kepada sumber TEMPO, jejaknya sebenarnya
hampir tercium oleh seekor anjing pelacak. Jaraknya dengan
hidung anjing hanya tinggal sekitar 4 meter saja. Tapi, rupanya,
anjing pelacak lebih tertarik kepada bungkusan plastik dan
sejumlah uang yang ditinggalkan Edy.
Dan setelah tertangkap, "saya kini menyesal . . . tapi semuanya
telah terjadi," kata Edy Sampak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini