AKHIR bulan puasa lalu, di Kantor Pusat Sejarah dan Kebudayaan,
Sulawesi Selatan, drs. Basri Padulungi, 35 tahun, tertarik pada
buku jenis-jenis Perahu Bugis Makassar yang sedang dijadikan
bahan penyusunan skripsi oleh temannya, Mahrum Badaruddin.
Berawal dari situlah kemudian terbongkar: buku tersebut ternyata
merupakan plagiat dari skripsi Basri yang ditulis enam tahun
lalu, Perahu Pinisi Sebagai Salah Satu Unsur Kebudayaan sugis
Makassar.
"Setiap ada yang berbau perahu, saya memang selalu tertarik,"
kata Basri kepada TEMPO di Ujungpandang. Inilah, 1968, ketika
mengajukan judul skripsi, dosennya banyak yang heran. "Mengapa
dia mengambil skripsi tentang perahu, padahal dia jurusan
sejarah," kata drs. Rauf Rahim, teman seangkatan Basri di IKIP
Ujungpandang menirukan para dosennya waktu itu.
Untuk mengetahui seluk-beluk perahu pinisi memang tak mudah.
Konon, pembuatan perahu pinisi dengan mantera-mantera yang
sampai kini hanya orang tua-tua Ara saja yang tahu. Dan memang
dirahasiakan.
Kalau Basri berhasil mengorek bagaimana sebetulnya pembuatan
perahu pinlsi, itu karena ayahnya bekas Kepala Distrik Ara.
"Biar tinggal di Ara dua tahun atau lima tahun sekalipun, tak
mungkin diberitahu seluk belum perahu pinisi, kalau bukan orang
Ara terpandang," kata Basri.
Dia pun terikat janji, ketika para tetua Ara menyetujui Basri
menulis tentang pembuatan perahu pinisi, untuk tidak mengutip
mantera-manteranya. Mantera-mantera itu agaknya memang untuk
menjaga kesejahteraan pembuatan perahu. Ada mantera untuk
membuat perahu mogok, tak mau meluncur diair, kalau terjadi
cekcok antara pembeli dan pembuat. Juga ada mantera yang bisa
menenggelamkan perahu yang tengah berlayar.
Buku yang merupakan jiplakan skripsi itu tebal 93 halaman, dan
"hampir seluruhnya diambil dari skripsi saya," kata Basri. Dan
dengan lancar Basri menunjukkan kepersisan isi maupun
redaksional buku itu dengan skripsinya.
Ara, Tirto Dan Alimuddin
Gambar-gambar perahu dalam buku pun ternyata keliru. "Selintas
perahu pinisi memang hampir sama dengan perahu Bugis lainnya.
Tapi ada ciri-ciri khas: ada ambing, ada teba, ada patti-patti
(geladak buritan semu)." Tapi kekeliruan itu mungkin masih bisa
dimaklumi:
Yang sulit dimengerti adalah beberapa catatan kaki yang ternyata
omong kosong belaka. Menurut catatan kaki buku itu, penulis buku
tersebut melakukan beberapa wawancara dengan para ketua Ara,
antara lain: Appe (130 tahun), Achmad Tirto (54 tahun) dan
Alimuddin (60 tahun).
Yang janggal, tanggal wawancara dilakukan adalah tahun 1976.
"Padahal mereka sudah meninggal semua. Appe tahun 1969 dan
Achmad Tirto pada awal 1975. Tentang nama Alimuddin, skripsi
saya memang tak ada. Tapi nama itu biasanya tak ada pada orang
Ara seusia 60 tahunan," kata Basri.
Buku yang diterbitkan oleh Proyek Pengembangan Media Kebudayaan
Direktorat Kebudayaan Dep P&K Sul-Sel itu disusun oleh Ridwan
Borahima, Muhammad Arfah dan Muhammad Salim. Ridwan, dosen luar
bias IKIP Ujungpandang, yang juga pegawai Pusat Sejarah dan
Kebudayaan, Sul-Sel, alumni IKIP Malang.
Dari IKIP Ujungpandang itulah dia meminjam skripsi Basri. Untuk
keperluan apa, menurut Rauf Rahim, waktu itu tak disebutkannya.
"Saya memang lupa mencantumkan skripsi itu sebagai sumber
kutipan," kata Ridwan. "Setelah diingatkan baru saya tahu. Dan
buku itu belum beredar. Baru ada satu untuk dikoreksi."
Menurutnya, koreksian termasuk antara lain tanggal-tanggal
wawancara. Tapi keburu Basri protes.
Jadi dari mana Badaruddin mendapatkan buku itu kalau belum
beredar? Tahun terbit buku itu 1977, dan Badaruddin membaca buku
itu akhir Juli tahun ini.
"Pcrsoalannya kini sudah ditangani Kepala Kanwil P&K Sul-Sel,"
kata drs Nur Rasuli, Kepala Kantor Pusat Sejarah dan Kebudayaan
Sul-Sel. Menurutnya, buku tersebut bersama dua buku yang
lain--tentang rumah adat dan pakaian tradisional Sul-Sel
--diterbitkan untuk pengunjung Museum Ujungpandang. Dicetaknya
pun terbatas: ketiga judul tersebut menurut Rusli hanya makan
biaya Rp 1 juta lebih sedikit. Sebelumnya Rasuli telah meminta
yang bersangkutan untuk menyelesaikannya secara intern. Tim yang
dibentuk untuk meneliti kebenaran tuduhan Basri pun telah
selesai bekerja.
Tapi kepada TEMPO Basri tetap berkeras. "Bagaimana mau
didamaikan kalau itu hak pribadi saya dan sudah ditangan
polisi?" kata Basri. Rektor IKIP Ujungpandang, drs Karim tak
merasa harus ikut campur. "Mau diselesaikan secara damai atau
hukum, terserah yang berhak. Skripsi menjadi hak pribadi,
perguruan tingginya tak mencampuri," liatanya. Dan Rasuli pun
agaknya telah nundur dari usaha mendamaikan: "Kalau tidak mau,
ya terserah."
Rasuli sudah mengirim surat kepada Ditjen Kebudayaan Dep. P & K
di Jakarta, untuk tidak mengedarkan buku Jenis jenis Perahu
Bugis Makassar. Dan Ridwan Borahima telah dimutasikan, kembali
hanya mengajar di sebuah SMA. Meski begitu toh Basri masih
berang: "Nanti kalau pidananya telah selesai, saa teruskan
gugatan perdatanya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini