Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Amunisi Baru Membidik Korporasi

Mahkamah Agung menerbitkan aturan untuk menjerat korporasi dalam perkara pidana. Bisa menyasar pemilik perusahaan yang disamarkan.

9 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KADO akhir tahun untuk Komisi Pemberantasan Korupsi itu datang dari Mahkamah Agung. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali meneken peraturan tentang cara penanganan pidana oleh korporasi pada Selasa dua pekan lalu.

Bagi KPK, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 itu ibarat amunisi baru untuk menjerat perusahaan yang terlibat kasus korupsi. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang mengatakan KPK bakal langsung menerapkan peraturan tersebut dalam kasus yang sedang mereka tangani. "Kasusnya yang mana itu rahasia," kata Saut, Selasa pekan lalu.

Kasus korupsi teranyar yang menyeret korporasi adalah suap pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Handang Soekarno. Penyidik KPK menangkap Handang yang diduga menerima suap Rp 1,9 miliar dari bos PT EK Prima Ekspor Indonesia, Rajesh Rajamohan Nair. Uang suap itu untuk menghapus surat tagihan pajak perusahaan sebesar Rp 78 miliar. Handang dan Rajesh ditahan sejak 22 November lalu.

Menurut Saut, selama ini KPK kesulitan menyidik korporasi yang terlibat korupsi karena hukum acaranya belum jelas. Padahal, dalam 12 tahun terakhir, KPK menangani 146 kasus dengan tersangka pengurus perusahaan-bukan perusahaannya. Pengurus perusahaan yang menjadi terpidana juga lebih banyak dari aparatur negara. "Makanya kami sudah lama menunggu peraturan ini," ujar Saut.

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Ridwan Mansyur, mengatakan peraturan yang digodok selama hampir delapan bulan ini disahkan untuk mengisi kekosongan hukum acara tentang pidana korporasi. Hal baru dalam peraturan tersebut antara lain cara memanggil dan memeriksa korporasi sebagai saksi kasus pidana serta siapa yang mewakilinya. Peraturan ini juga mengatur cara menagih denda jika mereka terbukti bersalah. "Dengan peraturan ini, penegak hukum punya pegangan yang kuat," kata Ridwan.

Sewaktu draf peraturan ini masih dibahas, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung Artidjo Alkostar mengatakan kosongnya standar baku beracara di pengadilan merupakan kendala utama pengusutan pidana korporasi. Sejumlah undang-undang, seperti Undang-Undang Antikorupsi, memang telah mencantumkan tanggung jawab perusahaan dalam kasus pidana. Masalahnya, menurut Artidjo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tak mengatur khusus cara penyidikan dan penuntutan atas korporasi.

Artidjo mencontohkan hukum acara belum mengatur bagaimana menyusun surat dakwaan dengan subyek hukum korporasi. Dalam format baku surat dakwaan selalu ada kolom agama dan jenis kelamin yang wajib diisi. Padahal korporasi tak beragama atau berjenis kelamin. Karena khawatir dakwaannya dianggap cacat, menurut Artidjo, banyak penuntut yang ragu meneruskan kasus korporasi ke pengadilan.

Rencana penerbitan peraturan ini pertama kali dibahas dalam rapat bersama Mahkamah Agung dan KPK di kantor lembaga antirasuah itu pada 21 Maret lalu. Waktu itu tim KPK mengungkapkan sejumlah kendala hukum dalam melawan korupsi oleh korporasi. Kalaupun ada korporasi yang dijerat, itu berkat keberanian jaksa dan hakim untuk melakukan terobosan.

Berdasarkan catatan KPK, hanya satu perkara korupsi korporasi yang diputus bersalah sampai tingkat Mahkamah Agung, yakni kasus korupsi uang retribusi Pasar Sentra Antasari, Banjarmasin. PT Giri Jaladhi Wana mendapat konsesi dari pemerintah daerah untuk meremajakan Pasar Sentra Antasari. Sebagai kompensasi, perusahaan mendapat jatah sebagian uang retribusi.

Rupanya, uang retribusi pasar itu tak pernah masuk ke kas daerah. Kejaksaan Negeri Banjarmasin menghitung kerugian negara untuk periode 2004-2007 sekitar Rp 7,6 miliar. Pengadilan Negeri Banjarmasin memenangkan kejaksaan. Mereka menghukum Giri Jaladhi membayar denda Rp 3,1 miliar. Mahkamah Agung kemudian menguatkan putusan tersebut pada 2013.

Untuk mengisi kekosongan hukum, rapat di kantor KPK hari itu menyepakati bahwa kedua lembaga akan bekerja sama menyiapkan aturan yang bisa menjerat korporasi. Peserta rapat juga mendaulat Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif dan hakim agung Suryajaya sebagai koordinator persiapan.

Sepuluh hari kemudian, giliran Mahkamah Agung yang mengundang KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI. Dalam rapat itu, Kejaksaan langsung mendukung gagasan tersebut. Peserta rapat lainnya juga sepakat menunjuk KPK sebagai koordinator perumusan rancangan peraturan tersebut.

Tim perumus gabungan kembali bertemu di Hotel Morrissey, Bandung, pada 9 Mei 2016. Kali ini ada beberapa poin yang menjadi fokus pembahasan waktu itu. Pertama, ketentuan umum yang mendefinisikan korporasi sebagai kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik yang berbadan hukum maupun tidak. Dengan definisi longgar ini, menurut seorang penegak hukum yang menghadiri rapat pembahasan, koperasi, yayasan, dan partai politik masuk kategori korporasi.

Poin berikutnya soal siapa yang disebut sebagai pengurus korporasi. Menurut peserta rapat lainnya, poin ini penting karena menjabarkan siapa yang akan mewakili korporasi dalam pemeriksaan di tahap penyidikan dan penuntutan. "Perdebatan bagian ini termasuk yang paling lama," ujar anggota tim perumus ini.

Dalam rumusan awal, pengurus korporasi hanya mencakup mereka yang namanya tertera di akta atau dokumen resmi. Namun beberapa anggota tim perumus meminta tafsir pengurus diperluas ke mereka yang menerima keuntungan dan mengendalikan korporasi, meski namanya tak ada dalam dokumen. Perdebatannya: bagaimana membuktikan status kepengurusan orang yang tak tertulis dalam dokumen. Semua anggota tim perumus akhirnya sepakat bahwa orang yang namanya tak ada dalam dokumen bisa dijerat jika mereka benar-benar terlibat dalam tindak pidana.

Peraturan ini juga menjabarkan tiga syarat sebuah korporasi bisa dipidana. Pertama, korporasi mendapat keuntungan dari sebuah tindak pidana. Kedua, korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Terakhir, korporasi tidak mencegah sebuah tindak pidana, termasuk mengabaikan aturan yang berlaku. Pidana pokok untuk korporasi yang terbukti bersalah berupa denda. Adapun hukuman kurungan baru dikenakan kepada pengurus korporasi, bila denda tak dibayarkan setelah perpanjangan waktu hingga dua bulan.

Tim perancang aturan rupanya berusaha mengunci akal-akalan korporasi ketika terbelit masalah hukum. Misalnya, korporasi yang melebur dengan badan lain, memisahkan diri, atau membubarkan diri. Untuk mengantisipasi hal itu, peraturan ini memungkinkan penegak hukum menyita aset korporasi sejak awal penyidikan. Bahkan, khusus aset yang nilainya rawan merosot, pengadilan bisa melelangnya sebelum mengetuk putusan. Jika korporasi kelak tak terbukti bersalah, uang hasil lelang akan dikembalikan.

Pembahasan peraturan ini tak hanya melibatkan perwakilan lembaga penegak hukum. Pada medio Agustus lalu, tim perumus mengundang sejumlah organisasi non-pemerintah-salah satunya Jaringan Koalisi Anti-Mafia Hukum-dalam pertemuan di Hotel Harris, Tebet, Jakarta Selatan. Jaringan ini getol mendesak KPK mengusut dugaan keterlibatan perusahaan dalam kejahatan di bidang kehutanan. Awal Desember lalu, misalnya, mereka melaporkan 20 perusahaan yang diduga melanggar izin di Pelelawan dan Siak, Riau, ke KPK. Peneliti hukum Jaringan Koalisi, Azizah Amalia, mengatakan kala itu mereka menyarankan penanganan kejahatan oleh korporasi diatur dalam aturan yang lebih kuat dari Peraturan Mahkamah Agung.

Tim penyusun draf Peraturan Mahkamah Agung menyelesaikan tugas mereka pada Oktober lalu. Mereka menyerahkan draf peraturan ke Mahkamah Agung untuk disahkan. Menurut Ridwan Mansyur, draf tersebut sempat 13 kali bolak-balik dari Mahkamah Agung ke tim penyusun. "Untuk perbaikan redaksi dan penjelasan," ucap Ridwan.

Setelah naskah final diteken Ketua Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia mengundangkan peraturan ini pada 29 Desember lalu. Juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, mengatakan kepolisian, kejaksaan, dan KPK bisa menerapkan peraturan tersebut dalam kasus yang sedang bergulir. "Tinggal kebera­nian penegak hukumnya," ujar Suhadi. SYAILENDRA PERSADA | FRANSISCO ROSARIANS | HUSSEIN ABRI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus