HEBOH barang baiakan dalam waktu dekat tampaknya akan segera berakhir. Toko-toko kaset lagu bakal tak seramai sekarang. Kini penggemar musik membeli kaset lagu dengan harga Rp 2.500 sampai Rp 3.000, tapi kelak mungkin lebih. Di Amerika dan Eropa konsumen harus mengeruk kantungnya untuk membayar lagu yang sama dengan harga sekitar Rp 12.000 sampai Rp 18.000. Para video rental pun agaknya bakal menyewakan film-filmnya lebih dari Rp 1.000 per kaset. Harga program komputer, seperti juga kaset lagu dan video, akan mahal. Sementara itu, penerbit buku bajakan akan berpikir dua kali bila ingin melakukan niatnya. Semua kenikmatan itu, dan tentu saja keuntungan yang dikeruk para pembajak barang-barang semacam itu, akan tinggal kenangan. Sebab, Rabu pekan lalu DPR telah mengesahkan undang-undang hak cipta baru, sebagai perbaikan terhadap undang-undang serupa yang dilahirkan 1982. Salah satu perubahan yang paling menarik dari undang-undang itu adalah bergesernya orientasi undang-undang itu dari kepentingan nasional semata-mata ke kepentingan internasional juga "Kita ingin menunjukkan sikap politik kita pada bangsa-bangsa lain bahwa dalam kepentingan nasional kita, tetap ada nilai-nilai universal yang kita akui walau dalam pelaksanaannya harus tetap realistis dan pragmatis," kata Menteri Kehakiman Ismail Saleh dalam sambutannya ketika RUU itu disetujui DPR. Undang-undang itu memang lahir terutama guna memperbaiki wajah Indonesia di mata internasional, yang dua tahun belakangan ini rusak berat. Bermula dari protes keras penyanyi Inggris, Bob Geldof, 1985, ke Kedubes Indonesia di London, akibat rekamannya Live Aid dibajak di Indonesia. Protes penyanyi yang terkenal karena berhasil mengkoordinasikan penyanyi-penyanyi top dunia dalam sebuah konser untuk membantu korban kelaparan di Etiopia itu segera menggelinding. Apalagi setelah itu seorang pengusaha Indonesia, Anthony Darmawan Setiono, tertangkap di Amerika karena memasarkan kaset bajakan. Kendati pembajakan lagu terjadi di seluruh dunia, bahkan yang terbesar di Amerika, tudingan ke Indonesia semakin menjadi-jadi, terutama dari negara-negara berteknologi tinggi, khususnya Amerika Serikat. Indonesia tidak hanya dituduh membajak hak cipta (copy right), tapi juga hak intelektual (intellectual property right), yang meliputi hak paten, merk, dan segala macam hak industri lainnya. Di mata Amerika, khususnya, Indonesia disejajarkan dengan negara surga para pembajak lainnya, seperti Singapura, Kanada, Jepang, Taiwan, Korea, Brasil, dan Panama. Persoalan itu menjadi serius ketika sebuah undang-undang untuk memerangi pembajakan dilahirkan Amerika Serikat. Dalam undang-undang baru itu, pemerintah Amerika diberi waktu dua tahun untuk menyelesaikan persoalan pembajakan itu dengan negara-negara sahabat. Jika itu gagal, "kami akan menggunakan semua senjata yang ada pada kami untuk mempertahankan kepentingan dagang kami," kata seorang pejabat perdagangan negara itU, Clayton Yeutter. Salah satu senjata itu adalah mencabut kelonggaran pajak untuk ekspor negara berkembang, yang dikenal dengan Generalized System of Preferenees (GSP). "Bayangkan akibatnya bagi ekspor nonmigas kita yang berkisar US$ 1 milyar setiap tahun ke negara raksasa itu," kata sebuah sumber TEMPO. Untuk mencegah kemungkinan buruk itu, setelah Presiden Ronald Reagan berkunjung ke Indonesia, beberapa utusan khusus pemerintah AS datang pula ke sini untuk mengimbau Indonesia agar melindungi hak intelektual mereka. Dubes AS di sini, Paul Wolfowitz, pun tidak henti-hentinya meminta pemerintah Indonesia segera memperbaiki undang-undangnya di bidang itu. "Salah satu persoalan penting bagi kami adalah perlindungan hak intelektual yang harus segera terpecahkan sebelum memperburuk hubungan dagang kedua negara," kata Wolfowitz. Mempertahankan hubungan dagang itulah -- juga karena banyaknya keluhan penerbit, produsen kaset, dan produser film di dalam negeri yang produksinya dibajak -- yang rnendorong pemerintah segera memperbaikl undang-undang hak cipta itu. Selain undang-undang itu, kabarnya, RUU hak paten dan alih teknologi di akhir tahun ini juga akan dibahas di DPR. "Jika undang-undang hak cipta ini tidak lahir di akhir September ini, besar kemungkinan GSP kita dicabut mereka," kata sebuah sumber TEMPO. Sebab itu, mungkin undang-undang hak cipta 1987 ini mengubah secara drastis berbagai prinsip yang dikandung undang-undang 1982. Misalnya, dalam hal ruang lingkup hak cipta yang dilindungi. Ruang lingkup undang-undang 1982 hanya terbatas pada WNI, orang asing, dan badan asing yang mengumumkan ciptaannya pertama kali di Indonesia, sedangkan pada undang-undang baru, semua hak cipta orang asing itu terlindungi. Hanya saja, disyaratkan bahwa negara si pencipta mempunyai perjanjian bilateral atau ikut dalam perjanjian multilateral dengan Indonesia. Perubahan itu sangat prinsipiil, karena pada 1982, baik pihak pemerintah maupun DPR sepakat, demi kepentingan nasional, menghalalkan semua usaha memperbanyak atau menerjemahkan karya-karya asing di Indonesia, asal saja mendapat izin dan Menteri Kehakiman. "Pasal-pasal itu sangat menguntungkan pengadaan buku-buku ilmiah dalam bahasa Indonesia, karena kita tidak perlu lagi mengimpor buku-buku tersebut. Harga buku akan terjangkau daya beli mahasiswa. Dengan begitu, kamar mahasiswa kita kelak akan dipenuhi rak-rak buku...," kata juru bicara Fraksi PDI Iwan Soekarwan, ketika menyambut lahirnya undang-undang hak cipta itu lima tahun lalu. Tapi belum sempat rak buku mahasiswa penuh dengan buku-buku bermutu, ketentuan itu sudah berubah. Hanya saja, demi kepentmgan pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kepentingan penelitian, undang-undang itu menetapkan sebuah mekanisme yang disebut compulsory licensing. Untuk sebuah karya, yang selama tiga tahun tidak diumumkan atau diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, pemerintah berhak mewajibkan pemilik hak cipta menerjemahkan karyanya ke bahasa Indonesia dalam waktu yang ditentukan. Jika itu tidak dilaksanakan, pemerintah bisa menunjuk orang lain atau mengambil alih pekerjaan menerjemahkan atau memperbanyak karya tersebut. Tapi di luar ketentuan itu, hampir semua pasal dalam undang-undang baru berisi perlindungan yang lebih baik bagi hak cipta di Indonesia. Setidaknya untuk buku, video, kaset lagu, bahkan program komputer yang baru dikenal di Indonesia -- masuk sebagai ciptaan yang juga harus dilindungi, dan tidak boleh sembarang dibajak. Seorang pemilik program komputer hanya diperkenankan membuat sebuah duplikat, sebagai cadangan, untuk kepentingan sendiri. Untuk mengimbanginya, ciptaan seni batik juga dicantumkan di situ. "Secara nasional, batik adalah kekayaan budaya bangsa, khas Indonesia. Kalau orang asing menghendaki hak ciptanya dilindungi di Indonesia, maka kita juga berhak meminta perlindungan yang sama untuk hasil-hasil karya bangsa kita," kata Ketua Panitia Khusus RUU Hak Cipta, 1987, Haji Djamaluddin Tambunan. Kecuali itu, undang-undang baru itu juga meralat ketentuan tentang masa berlakunya hak cipta yang ditetapkan undang-undang, 1982. Yaitu selama hidup si pencipta dan 25 tahun setelah ia meninggal menjadi seumur hidup ditambah 50 tahun setelah si pencipta meninggal. "Jangka waktu 50 tahun itu berlaku universal, termasuk di konvensi Bern. Jadi, kalau suatu waktu kita masuk lagi ke konvensi Bern, kita tidak perlu lagi mengubah undang-undang yang sekarang," kata Wakil Ketua Pansus, Novyan Kaman. Jangka waktu yang sekarang ini sama dengan jangka waktu undang-undang bikinan Belanda Auteurswet 1912, yang justru dirombak oleh Undang-undang Nomor 6 tahun 1982. Kembalinya jangka waktu ke ketentuan undang-undang zaman Belanda itu, kabarnya, sempat menjadi perdebatan sengit di antara para anggota Pansus di pembahasan undang-undang baru itu. Sebab, jangka waktu 50 tahun itu dianggap sebagian anggota menghilangkan fungsi sosial sebuah hak milik, yang selama ini menjadi prinsip dalam pembentukan berbagai produk perundang-undangan. Apalagi ketentuan tentang wewenang pemerintah, demi kepentingan nasional, dapat mengambil alih hak cipta milik seseorang di undang-undang baru itu dihapuskan pula. Tetapi, rupanya, agar selaras dengan kebiasaan di negara-negara lain prinsip tadi terpaksa dilepaskan. Yang lebih menarik dari semua itu memang soal sanksi pidana bagi pelanggaran hak-hak cipta tersebut. Dengan undang-undang baru ini agaknya para pembajak dan orang-orang yang ikut mendapat keuntungan dari kegiatan itu harus berpikir dua kali sebelum melanjutkan kegiatannya. Bayangkan, di undang-undang lama seorang yang ketahuan membajak hak cipta orang lain hanya diancam dengan hukuman penjara 3 tahun atau denda Rp 5 juta, tapi kini ditingkatkan menjadi 7 tahun ditambah denda Rp 100 juta. "Kita ingin menunjukkan tekad kita bahwa undang-undang yang baru itu akan menjadi penangkal yang ampuh bagi segala macam pembajakan," kata Djamaluddin Tambunan dari Fraksi Karya Pembangunan, yang mengakui bahwa bila dibanding negara-negara tetangga, ancaman hukuman itu termasuk tinggi. Padahal, Menteri Kehakiman Ismail Saleh ketika membawa RUU itu ke DPR hanya mengancer-ancerkan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 25 juta. Gayung rupanya bersambut. DPR mengusulkan ancaman lebih tinggi. Bahkan untuk orang yang hanya memamerkan atau mengedarkan barang bajakan, ancaman hukumannya ditingkatkan dari 9 bulan penjara atau denda Rp 5 juta menjadi penjara 5 tahun dan denda Rp 50 juta. "Dari segi hukum, ini menunjukkan kesamaan tekad antara DPR dan pemerintah untuk terus melakukan pembaruan hukum agar dapat mengikuti perkembangan dan kebutuhan masyarakat," kata Ismail Saleh di depan sidang pleno DPR. Bukan hanya di segi ancaman hukuman, undang-undang baru itu berbeda dengan yang lama, tapi juga dalam hal klasifikasi delik. Undang-undang lama menggolongkan pelanggaran hak cipta ke delik aduan, sedang di undang-undang baru menjadi delik biasa. Artinya, dulu si pembajak hanya bisa dituntut bila pencipta mengadu. Kini, tanpa pengaduan pun, penegak hukum bisa menindak pembajak bila mengetahui kejahatan itu terjadi. Ketentuan pelanggaran hak cipta masuk delik aduan atau delik biasa memang beragam di berbagai negara. Hanya saja, menggolongkan kejahatan itu sebagai delik biasa lebih banyak dianut negara-negara Eropa Barat, termasuk Belanda. Jasa DPR bukan hanya memperberat hukuman. Tapi juga memikirkan tenaga pelaksana yang akan mengusut kasus-kasus pembajakan itu. Sebab, selama ini keluhan utama terhadap Undang-undang 1982 itu adalah lemahnya pelaksanaan. Seperti penerbit dan produser kaset lagu, produser film mengeluh tentang kurang tanggapnya aparat Polri menangani soal pembajakan. Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), Azmi Syahbuddin, misalnya, beberapa waktu lalu memberi contoh. "Pernah sebuah toko buku ketahuan menjual buku bajakan, tapi perkaranya hanya sampai di situ karena pemilik toko mengaku membeli buku itu dari pedagang keliling," katanya. Mungkin, karena itu undang-undang baru tersebut menentukan semacam polisi khusus di luar Polri untuk menangani soal pembajakan. "Kami mengusulkan, kecuali Polri dibentuk penyidik khusus dari pegawai sipil di Departemen Kehakiman, semacam penyidik pajak. Ternyata usul itu diterima dan menjadi undang-undang," kata Novyan Kaman dari Fraksi Karya Pembangunan. Penyidik itu nantinya berwenang dari menerima laporan sampai memeriksa kasus itu, dan menyerahkan perkaranya ke kejaksaan. Lengkap sudah perangkat perundang-undangan penting itu. Adakah dengan demikian para pembajak akan tersapu bersih? "Bukan berarti dengan disahkannya RUU itu lantas tidak ada lagi soal pembajakan," kata Menteri Sebab, Moerdiono, yang juga ketua tim Keppres untuk menyusun hak cipta itu. Menurut Moerdiono, diperlukan waktu yang lama agar undang-undang itu memasyarakat. "Masyarakat perlu diberi penerangan lebih dulu," katanya. Agaknya, arti terpenting undang-undang itu dan yang segera bisa dirasakan adalah hilangnya predikat Indonesia sebagai "surga" bagi pembajak, tanpa adanya undang-undang yang melindungi hak cipta dengan benar. Karni Ilyas, Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini