Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Disetop setelah 10 tahun

Penyidikan terhadap gun honandar dan rizal yasin wijaya, direktur cv angin timur, dalam kasus korupsi pajak di sul-sel, dihentikan. kasus tersebut diusut sejak 10 tahun lalu oleh baharuddin lopa.

19 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH makan waktu tak kurang dari 10 tahun, akhirnya sebuah perkara korupsi di Sulawesi Selatan penyidikannya dihentikan. Kejaksaan Tinggi setempat melakukan tindakan itu baru-baru ini atas dua tersangka korupsi pajak CV Angin Timur. "Tidak terdapat cukup bukti-bukti," kata Hamrat Hamid, Kajati Sul-Sel. Maka, luputlah penyidikan terhadap Gun Honandar dan Rizal Yasin Wijaya. Padahal, pengusutan atas diri kedua orang direktur CV Angin Timur itu telah makan waktu hampir 10 tahun. Keduanya kena jaring Baharuddin Lopa, ketika menjadi kajati di sana lewat gebrakan November 1982. Kasus korupsi pajak senilai 8 milyar itu memang rada alot. Dua jaksa tinggi sebelum Lopa gagal mengusutnya. Sudah lima tahun perkara tersebut menari di Kejati Sul-Sel. Begitu Lopa bertugas di sana, ia memerintahkan Jaksa Tinggi Radipi Sastrawidjaja melanjutkan penyidikan. Ternyata, tersendat juga. Lopa mencium ketidakberesan. Diterima laporan, anak buahnya itu terima suap Rp 7,5 juta dari si tertuduh. Lopa, yang tak kenal kompromi dalam soal korupsi, memperkarakan Radipi ke pengadilan. Radipi diganjar hukuman 2 bulan percobaan. Tapi di tingkat banding -- juga kasasi vonis diperbaiki, ia dibebaskan. Sebelumnya, hukuman berat sudah diterima Radipi: skorsing dari jabatannya selaku Kasi Penuntutan. Penyidikan diteruskan Jaksa Amir Achmad. Awal Januari 1985, diperoleh cukup bukti untuk mengajukan Gun Honandar dan Rizal Yasin Wijaya ke pengadilan. Selaku pengelola Angin Timur, keduanya dituduh melakukan korupsi dan manipulasi pajak perseroan. Diantaranya keuntungan tahun 1972 sampai 1977 -- sebesar Rp 170 juta -- dan overprice (permainan kelebihan harga) hasil ekspor buah pala tak dibukukan. Hieng Tungadi, Kepala Pembukuan, juga kena usut. Namun, usaha Lopa terhambat lagi. Kedua tertuduh tak kunjung muncul. Bahkan -beberapa kali mereka lolos dari penangkapan. Keduanya terus diburu. Sampai Lopa ditarik ke Jakarta, dan digantikan Hamrat Hamid. Konon, kasus Angin Timur pun ditarik ke Kejaksaan Agung. Setelah itu perkara Angin Timur tak pernah kedengaran lagi. Tahu-tahu awal Juli lalu, keluar SP-3 (surat perintah penghentian penyidikan). Reaksi Bahruddin Lopa, 52 tahun, ketika mendengar berita penghentian tersebut? Terkejut. "Penyidikan kami dulu telah menunjukkan adanya tindak pidana itu," ujar Lopa, yang kini menjadi Staf Ahli Menteri Kehakiman. Memang, diakuinya, Gun dan Yasin selalu menghindari pengusutan. Tapi, bukan berarti kedua orang itu kebal hukum. "Bagi saya," kata Lopa, "tak ada kamus orang kuat atau kebal hukum." Lopa merasa pengusutan kasus Angin Timur sudah maksimal. Seharusnya, sambung Lopa, kasus itu diteruskan ke pengadilan. Akan halnya Gun Honandar dan Rizal Yasin, tentu lega menyambutnya, kendati, menurut Yasin, kini Angin Timur sudah tutup. "Mana bisa kita tenang ngurus perusahaan?" ujar Yasin, 44 tahun, Direktur Dinas Luar perusahaan ekspor-impor itu. "Banyak orang menganggap saya dan Om Gun buronan," sambungnya. Selain dikejar-kejar, juga pisah dengan keluarga. Kegiatan usaha Angin Timur kian seret. Tekanan tak tertahan lagi. Tahun lalu, 40 orang pegawainya diPHK-kan. Semua itu, masih penuturan Yasin, akibat ulah Budiman Hongadi. Memang Budiman, 54 tahun, adik Gun, yang melaporkan kasus itu. "Dia sudah keluar dari Angin Timur. Setelah bangkrut karena foya-foya, dia minta masuk kembali," kata Gun Honandar, 61, Dirut CV Angin Timur. Di masa perusahaan dipimpin Budiman, keadaan amat payah, merugi terus. "Banyak utang, nyaris bangkrut," ujar Yasin. Sebaliknya, Budiman tetap bersikukuh menuduh Gun dan Yasin melakukan penggelapan keuangan perusahaan. "Saya berani dihukum mati kalau tak ada tindak pidana overprice," kata Budiman, yang pernah memimpin perusahaan tersebut. Bersama Gun dan Yasin, serta tiga orang lainnya, Budiman mendirikan perusahaan yang berkantor pusat di Ujungpandang itu, tahun 1971 Pada perkembangannya, terjadi pertikaian antara pihak Gun dan Budiman. Mulai dari pendepakan, pembagian keuntungan, sampai soal penggelapan akta dan uang perusahaan. Perselisihan diperpanjang ke pengadilan. Salah satu laporan pidana dari Budiman, ya, yang diusut Kejati Sul-Sel itu. Happy Sulistyadi, Laporan Syahrir Makkurade (Ujungpandang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus