APA yang tidak pernah dibajak di Indonesia? Buku? Kaset? Film? Program komputer? Bisnis tidak halal itu sudah tumbuh sekitar 15 tahun terakhir ini. Kejahatan itu bahkan tidak kendur, kendati Undang-Undang Hak Cipta, 1982, mengancam dengan hukuman kurungan atau denda paling banyak Rp 5 juta. Mungkin karena itu lahirnya undang-undang hak cipta baru, Jumat pekan lalu, dirayakan secara besar-besaran oleh sekitar 50 artis pencipta lagu dan penyanyi bersama Menteri Kehakiman Ismail Saleh dengan acara syukuran yang meriah di Departemen Kehakiman. Di antara artis yang hadir itu tampak nama-nama terkenal seperti Titiek Puspa, Neno Warisman, S. Bagyo, dan Ebiet G. Ade. Memang di dunia mereka, bisnis rekaman, usaha bajak-membajak sangat runyam. Dunia rekaman kaset selama ini bagaikan rimba tak bertuan. Penggandaan lagu yang lagi laris tanpa izin sudah bukan berita baru. "Pembajakan sama saja dengan pelacuran, susah diberantas," tutur Yudhi Kristianto, produser JK Record. Susahnya, si pembajak biasanya sekahgus merangkap pengecer kaset resmi yang tahu benar lagu dan album yang sedang jadi hit. Duta Suara dan Duta Movie, dua pengecer terbesar di Jakarta, misalnya, juga terlibat usaha pembajakan seperti itu. Dua bulan lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman percobaan untuk Duta Movie. Toko di Jalan Sabang, Jakarta Pusat, itu dipersalahkan menggunakan sekitar 40 tape recorder untuk mereproduksi lagu yang dipesan pelanggannya. Tak jelas, sudah berapa lama upaya itu dilakukan. Namun, "Umumnya ganjaran bagi pembajak terlalu ringan," kata Yudhi. Akibat ulah pembajak, JK Record yang pada 1985 bisa memasarkan sekitar 2 juta kaset per bulan kini tinggal separuhnya. Perusahaan lain yang pada tahun 1985 bisa memasarkan 5 juta kaset per bulan, sekarang hanya mampu menjual 3 juta. Penyebabnya, "Pengecer merekam sendiri pesanan lagu yang syairnya diketik. Jumlahnya sekitar satu juta kaset sebulan," tutur direktur perusahaan yang enggan disebut namanya. Ia mensinyalir dari sekitar 800 pengecer di Ja-Teng dan Ja-Tim, separuh terlibat bisnis ketikan itu. Di Jakarta, katanya, hampir 60% dari sekitar 700 pengecer juga main ketik-ketikan. Pembajakan kaset tampaknya memang meriah. Dalam catatan Erwin Harahap, Ketua Asiri (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia), di Jakarta sedang diproses delapan kasus. Yang terbanyak di Semarang, ada 16 kasus dan beberapa kasus di Surabaya. "Di setiap kota besar ditemukan kasus pembajakan," tutur Envin lagi. Modusnya, selain ingin mengeruk keuntungan sebesar mungkin -- karena pembajak tak membayar royalty penyanyi, biaya merekam, biaya promosi. Seorang pembajak kaset kelas kakap yang ditemui TEMPO bisa bercerita bagaimana memanfaatkan segmen pasar kelas bawah itu. Dengan 200 tape recorder, A Gun (kita sebut saja begitu namanya) bersama 12 orang anak buahnya menghasilkan 800 kaset per hari. Modalnya, kaset kosong kualitas rendah seharga Rp 450, cover kaset seharga Rp 25 dan upah buruh Rp 5 per kaset. Ia menjual kasetnya ke penyalur dengan harga Rp 600 sampai Rp 625. Di kaki lima, kaset jenis ini akan laku Rp 750 sampai Rp 800. "Merk kaset dan logonya dihapus, cover-nya dicetak sama seperti aslinya," kata A Gun. Tak susah baginya mencetak cover kaset. "Banyak percetakan yang kurang order melayani pesanan cover itu," katanya tenang. Dan, kaset murah meriah ini bukan main larisnya. Album top Elvie Sukaesih Cubit-cubitan pernah digandakan sampai 24 ribu buah pada 1980. "Wah, kita sampai kerja siang malam melayani permintaan," kata A Gun. Akhirnya, usahanya mangkir ketika polisi menggerebek. "Sejak 1982 itu saya kapok, berhenti. Untungnya cukup untuk makan saja tapi risikonya kelewat besar," katanya. Dari satu kaset, ia bisa meraih untung Rp 50. Cuma, "Habis untuk uang memberi uang rokok petugas hukum." Undang-Undang Hak Cipta yang pekan ini disetujui DPR, kata A Gun, percuma saja, tak akan mampu memberantas pembajak. Sebab, "Harga kaset akan makin tinggi. Ini mendorong orang untuk membuat yang 'aspal' karena makin banyak orang yang tak mampu beli kaset resmi. Di Jakarta saya denar sudah ada yang berani memalsu bandrol kaset," kata lelaki 36 tahun ini. Yang dimaksudnya adalah label pajak yang selalu tertera di setiap kaset. Tak cuma kaset, tali buku juga jadi sasaran empuk. Seorang penerbit yang mampu menjual 50 ribu eksemplar tahun lalu, tahun ini paling banter cuma mampu menjual 10 ribu. Di Jakarta, dari 140 penerblt yang ada, 31 penerbit sudah merasakan pahitnya kena bajak. Tim Penanggulangan Pembajakan Buku yang dibentuk Ikapi di tahun 1984 pernah berhasil meringkus pembajak. Namun, upaya itu seperti sia-sia. Si pelaku cuma diganjar 4 bulan hukuman percobaan. "Hukuman ringan begitu tak membuat mereka jera, 'kan?" kata Azmi Syahbuddin, Ketua Ikapi. Bucuk Suharto, Ketua Umum Persatuan Produser Film Indonesia, juga pusing. Film nasional setelah beredar di Jawa, tak mendapat sambutan baik di luar Jawa. Mengapa? "Masyarakat sudah menonton dari kaset video bajakan," kata Bucuk kesal. Upaya memperbanyak copy film agar beredar serentak di Jawa dan luar Jawa kini sedang dirancang. Tapi biaya Rp 1,4 juta untuk setiap copy agaknya terlalu berat. Apalagi, setiap produser harus punya sekitar 15 copy kalau mau filmya beredar serentak di tujuh kota utama. Berbagai upaya mengganjal pembajak sudah dilakukan. Hasilnya, pembajakan makin meruyak. Mau tak mau, pada UU Hak Cipta baru inilah harapan diletakkan: ada landasan hukum yang kuat untuk menjerat pembajak. Toriq Hadad, Laporan Biro Jakarta & Bandung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini