Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Antara kambing hitam dan kambing ..

Frans limasnax, pengusaha pt segantrans persada, tersangka penyelundupan elektronika yang diadili secara in absentia kini diadili kembali. frans mengaku dijebak dan akan membeberkan segala kecurangan.

29 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FRANS Limasnax mungkin satu-satunya terdakwa penyelundup yang berjasa mengembangkan hukum acara pidana. Ia membuat sejarah: setelah diadili dan divonis secara in absentia -- tanpa kehadiran terdakwa -- Senin pekan ini ia duduk kembali sebagai terdakwa di Pengadilan Ekonomi Jakarta Utara, untuk perkara yang sama. "Materi dakwaannya sama dengan yang dulu, tapi berita acaranya diganti total. Lha, wong perkaranya diperiksa ulang, kok," kata Kepala Kejaksaan NegeriJakarta Utara, Santoso Wiwoho. Terdakwa Frans Limasnax alias Tan Tek Siong, 36 tahun, memang tergolong tokoh yang banyak membuat kejutan di peradilan kita, dan sempat membuat pusing banyak penegak hukum. Pengusaha PT Segatrans Persada itu, pada akhir 1985, diduga terlibat penyelundupan dengan cara mengelabui SGS di Singapura. Dari 2.120 kantung, yang di kokumen impor disebut bahan kimia, ternyata ketika diperiksa berisi kaset, video, karpet, mesin fotokopi, sehingga merugikan negara Rp 48 juta. Ia, menurut jaksa, berperan aktif dalam penyelundupan itu. Ketika barang-barang tersebut sampai di gudangnya di Jalan Lodan, Jakarta, misalnya, Frans sendiri turun tangan mengatur pembongkarannya. Kejahatannya itu rupanya tercium oleh yang berwajib. Tapi entah bagaimana caranya, ia lolos ketika akan ditangkap. Pihak pengusut hanya menemukan Johan Pumput Gunawan dari PT Tisani Karsa Agung. Menurut Gunawan, perusahaannya hanya dipinjam nama oleh Frans Limasnax untuk mengimpor barang-barang tersebut. Sebab itu, perkara Frans terpaksa disidangkan secara in absentia. "Persidangan in absentia memang upaya terakhir untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum," kata Santoso Wiwoho, yang pekan ini akan memangku jabatan baru sebagai Jaksa Tinggi Pengganti di Sumatera Utara. Jaksa M. Manoi, yang membawa perkara itu ke sidang, mengaku tak bisa menghadirkan terdakwa. "Terdakwa sudah dipanggil secara patut, bahkan sudah diperintahkan agar ditangkap, tapi melarikan diri," ujarnya di sidang. Menurut Manoi, ia sudah memanggil terdakwa baik ke rumahnya di Jalan Rajawali X/10 Jakarta Utara maupun di kantornya di Jalan Mangga Besar 4, Jakarta Barat. Ternyata, terdakwa tak ada di dua alamat tersebut. Di persidangan itu, Jaksa Manoi membuat terobosan hukum. Terdakwa in absentia dalam perkara ekonomi, yang biasanya tak dituntut hukuman badan, kali ini dituntutnya hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 10 juta. Majelis Hakim Pengadilan Ekonomi Jakarta Utara, 3 Juni 1986, sependapat dengan Manoi, dan memvonis Frans 2 tahun penjara beserta denda Rp 5 juta. Frans membalas "terobosan" Manoi dengan "terobosan" pula. Melalui pengacaranya, Busono Sumardjo, Frans menyatakan banding -- sesuatu yang belum pernah dilakukan buron mana pun juga. Apalagi undang-undang pidana ekonomi tegas menyebutkan bahwa perkara tanpa terdakwa tak bisa dibanding atau kasasi. Dan tidak pula bisa diwakili siapa pun, termasuk pengacara. Toh Busono mempunyai alasan kuat untuk mewakili kliennya naik banding. Menurut Busono, secara formal kliennya yang ketika itu berada di Singapura, tak pernah tahu ada sidang in absentia itu. "Keluarganya yang tinggal di Jalan Rajawali Selatan 10 tidak pernah menerima surat panggilan kejaksaan untuk sidang," kata Busono. Kendati alamat itu tak ditemukan jaksa, menurut Busono, pihak kejaksaan seharusnya -- sesuai dengan undang-undang -- memanggil terdakwa melalui surat kabar. Ternyata, majelis hakim banding, yang diketuai Nyonya Mursiah Bustaman, membenarkan alasan Busono. Sebab itu, hakim banding membatalkan vonis hakim bawahan dan mengembalikan perkara itu ke kejaksaan. Menurut Nyonya Mursiah, hakim bawahan telah bertindak ceroboh: main sidang tanpa menghadirkan terdakwa. Rekannya, Sugondo Kartanegara -- kini sudah almarhum -- menyalahkan pihak kejaksaan yang tak memanggil Frans melalui surat kabar. Hakim-hakim tersebut juga membantah perkara semacam itu tak bisa dibanding. "Tak bisa dibanding kalau terdakwa tak divonis hukuman badan dan hanya dilakukan perampasan barang," ujar seorang anggota majelis. Dan sesuai pula dengan hukum acara yang baru, pasal 233 KUHAP, seorang terhukum in absentia diperkenankan pula mengurus banding melalui kuasanya. Putusan banding itu belakangan dikukuhkan Mahkamah Agung. Artinya, pemeriksaan perkara itu harus diulang. Menariknya, sebelum kejaksaan mengajukan perkara itu kembali ke pengadilan secara in absentia, tiba-tiba Juli lalu Frans, yang konon selama ini dengan aman bolak-balik Singapura-Jakarta, tertangkap. Hebatnya lagi, buron itu tak bersembunyi terlalu jauh. Ia dibekuk petugas kejaksaan di rumahnya yang resmi, Jalan Rajawali Selatan 10. Seorang perwira keamanan Kejaksaan Agung, Yon Artiono Arbai, yang ahli menangkap buron, dikabarkan sukses membekuk Frans. Penangkapan itu baru bisa terjadi setelah Yon berhari-hari menunggui rumah buron itu (TEMPO, 30 Juli 1988). Pengacara Frans, S. Wairo, menganggap tertangkapnya Frans karena terdakwa lagi apes saja. Sebab, Frans waktu itu, katanya, memang lagi mempersiapkan diri menghadap kejaksaan. Tapi sebelum niatnya kesampaian, ia lebih dulu tertangkap. Masih menurut Wairo, barang-barang dari Singapura sebenarnya milik Harun Ngadimin alias A Siong, yang dimasukkan ke Indonesia melalui importir Johan Pumput Gunawan. Tapi karena waktu itu Frans sedang berada di Singapura, maka semua dokumen impor dimanipulasi komplotan itu, termasuk tanda tangan Frans. "Frans itu hanya korban permainan," kata Wairo. Frans sendiri mengaku terjebak oleh permainan kawan-kawannya yang penyelundup. "Saya merasa dijebak. Saya benar-benar kecewa," kata Frans. Di persidangannya, katanya, seluruh rangkaian kejahatan itu akan digelarnya. Ia juga, katanya, akan membongkar semua "kecurangan" di persidangan in absentia lalu -- yang tidak dihadirinya itu. Salah satu di antaranya adalah kebohongan seorang saksi yang mengaku sebagai pegawai kantornya. Padahal, sesungguhnya ia tak pernah kenal dengan saksi tersebut. Puncak dari protesnya di sidang nanti, katanya, adalah tentang tindakan Jaksa yang hanya mengajukan dirinya sebagai terdakwa. "Itulah yang saya katakan, saya jadi korban. Kalau tidak, pasti dua orang itu diajukan sebagai terdakwa pula," katanya, tanpa menyebutkan orang yang dimaksud. Bisa diramalkan, persidangannya pekan-pekan mendatang akan penuh dengan kejutan -- mana tahu juga ada terobosan baru. Tapi, tentunya, tak semua ceritanya itu bisa diamin benar. "Sebab, kalau memang ia tak bersalah, buat apa ia bertahun-tahun menjadi buron," kata sebuah sumber TEMPO. Pada zaman ini, memang paling sulit menentukan mana yang "kambing hitam" dan mana yang "kambing putih". Agung Firmansyah, Widi Yarmanto, dan Karni Ilyas

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus