SEBAGAI sipir penjara, prestasi Imam Basuki bin Tjitromiyono sangat menonjol. Ia tercatat sebelas kali berhasil menangkap narapidana (napi) yang mencoba lari dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Lelaki berkumis itu pula yang biasanya diandalkan atasannya agar mengatasi segala macam keributan antarnapi. Untuk tugas semacam itu, ia memang dikenal tak segan-segan mempertaruhkan nyawanya. Tapi, dua pekan lalu, sipir itu bersama rekannya, Bambang Kustomoserta, dipersalahkan menyebabkan matinya seorang napi, Leman, 20 tahun. Karena itu, Pengadilan Tinggi Jakarta menghukum mereka dan LP Cipinang untuk membayar ganti rugi Rp 4,25 juta kepada keluarga korban. Vonis pengadilan perdata itu adalah hukuman kedua yang diterima Imam Basuki, 40 tahun, dan Bambang Kustomo, 34 tahun dalam kasus tersebut. Sebelumnya, Agustus 1987, Pengadilan Negeri Jakarta Timur telah lebih dulu memvonis mereka dalam sidang pidana. Di pengadilan itu Basuki dihukum 6 bulan penjara dalam masa percobaan 1 tahun 6 bulan, dan Bambang 3 bulan penjara dengan masa percobaan 6 bulan. Kasus itu bermula dari soal yang sangat sepele. Pada 31 Januari 1986, para napi mendapat hiburan menonton pertandingan sepak bola antarkaryawan LP. Para napi rupanya lupa akan status mereka dan ikut mencemooh pemain yang mereka anggap bermain jelek. Salah satu pemain yang paling banyak terkena ejekan adalah Basuki kebetulan bertubuh gemuk. "Mereka melontarkan kata-kata yang tak senonoh," cerita Basuki. Begitu pertandingan usai, Basuki mendatangi kamar napi yang mengolok-oloknya. Ada 17 napi yang diperiksanya, termasuk Leman, untuk mencari tahu siapa yang mengejeknya. Menurut Basuki, Leman tak menjawab sepatah pun ketika diinterogasi. Kendati pertanyaan itu sudah diulang sampai tiga kali, napi itu tutup mulut. "Kesabaran saya hilang. Ketujuh belas orang itu saya tempeleng, masing-masing dua kali," katanya. Rekan Basuki, Bambang Kustomo, juga ikut kesal melihat tingkah Leman. Bambang melepas kopelrimnya dan menghajar Leman hingga korban terkapar. Setelah itu, Leman mereka angkut ke poliklinik LP Cipinang. Beberapa hari kemudian keadaan Leman semakin memburuk. Napi itu dibawa ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati dan diopname secara intensif. Toh kondisi Leman semakin gawat. Pada 15 Februari, keluarga Leman dikabari. "Anak Ibu sakit keras. Sekarang berada di Rumah Sakit Polri Kramat Jati," kata petugas LP Cipinang kepada ibu Leman, Sutinah. Sutinah kaget. Sebab, selama ini anak sulungnya itu sehat-sehat saja. Bahkan ketika terakhir kali dibesuknya di LP, pemuda itu menyatakan bertobat dan minta dikirimi kerupuk. Sore itu, ibu tersebut menjenguk ke rumah sakit. Tapi anaknya sudah sekarat. "Leman sudah tak bisa ngomong apa-apa, kakinya dingin," cerita Sutinah. Malam itu juga, di hadapan ibunya, Leman, yang jebolan sekolah menengah itu, meninggal dunia. Menurut dokter rumah sakit, anak itu meninggal bukan karena penyakit menular. Ayah Leman, Idris, tak percaya Leman meninggal karena sakit. Sebab, ketika mayat itu dimandikan, di bagian kiri kepala korban terdapat lubang bekas pukulan. "Lubang di kepalanya itu disumbat kapas," kata Sutinah. Apalagi setelah mayat dikuburkan Idris didatangi dua tamu dari LP Cipinang, menyatakan belasungkawa dan memberikan uang duka Rp 25 ribu -- dengan imbalan Idris harus menandatangani sebuah surat yang tak ia ketahui isinya. Keluarga Idris mulai mengusut kematian Leman. Adik korban, Nani, menemui Subroto, teman sekamar Leman di LP Cipinang. Menurut Subroto, Leman tak salah apa-apa dalam peristiwa itu. Ketika karyawan LP bertanding sepak bola, katanya, Leman lagi asyik membaca koran di selnya. Toh ia termasuk yang dicurigai Basuki. Karena tak tahu apa-apa, konon, Leman tak menjawab sepatah pun pertanyaan sipir itu. Akibatnya, Basuki naik pitam dan menendang muka serta dada Leman dengan sepatu boot, dan kemudian memukul kepala korban dengan sebatang kayu. Leman pun terkapar. Darah, katanya, mengucur dari hidung dan mulut temannya itu. Berdasarkan informasi itu, Sutinah melapor ke LBH Jakarta dan Polres Jakarta Utara. "Saya cuma minta kedua petugas LP itu diadili seadil-adilnya. Jangan biarkan mereka main hakim sendiri semaunya," kata Sutinah. Dewi keadilan ternyata berpihak kepada "orang kecil" itu. Pengadilan Negeri Jakarta Timur memvonis kedua sipir tadi, kendati hanya dengan hukuman percobaan. Dan kini Pengadilan Tinggi Jakarta menghukum pula LP Cipinang dan kedua sipirnya membayar ganti rugi kepada keluarga korban, secara tanggung renteng, Rp 4,25 juta -- Rp 250 ribu sebagai biaya penguburan dan Rp 4 juta pengganti kerugian moril keluarga korban. "Anggaran belanja LP Cipinang 'kan tidak banyak. Kalau yang melakukan kesalahan semacam itu perusahaan swasta, jumlah ganti ruginya bisa lebih besar," kata hakim banding, Nyonya E.D. Tobing Nababan. Basuki, yang telah mengabdi di lembaga pemasyarakatan selama 14 tahun, menyesalkan peristiwa itu. "Saya cuma menempelengnya," katanya. Tapi akibat itu, ia kini mendapat ganjaran beruntun. Setelah divonis pengadilan pidana, ia diskors selama 1 tahun 6 bulan dan dimutasikan dari staf keamanan ke bagian bengkel kerja LP. "Saya sudah dijatuhi hukuman bertubi-tubi. Kini saya, yang tak mampu, dihukum ganti rugi. Hukuman itu berat sekali," kata ayah dua anak yang berat badannya kini melorot dari 85 menjadi 62 kilogram. Sebab itu, ia menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung. W.Y. dan Muchsin Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini