Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggugat lagu "no name"

Lagu tillo-tillo dan alatipang yang dianggap lagu rakyat, diklaim ismail hutadjulu sebagai penciptanya. ia menggugat pt lolypop records yang telah memperbanyak lagu tersebut. beberapa pengamat meragukan.

29 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK lagu daerah yang populer dan kemudian dianggap lagu rakyat. Artinya, siapa pun dibenarkan merekam dan memperbanyak lagu itu dan cukup menyebutkan bahwa penciptanya No Name, alias tak diketahui. Persoalan baru rumit bila, setelah lagu itu diperbanyak, tiba-tiba ada yang mengaku bahwa lagu itu ciptaannya. Perkara semacam itu kini dialami oleh produser rekaman PT Lolypop Records, milik Rinto Harahap, dengan produksinya lagu Batak Tillo-tillo dan Alatipang. Setelah lagu itu beredar, seorang pengarang lagu Batak, Ismail Hutadjulu, tiba-tiba mengklaim bahwa lagu itu adalah ciptaannya. Pekan-pekan ini, melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Ismail menggugat PT Lolypop Records agar membayar ganti rugi Rp 60 Juta dan menarik kedua lagu itu dan peredaran. Menurut Ismail, 67 tahun, kedua lagu itu diciptakannya di Balige, Sumatera Utara, sekitar tahun 1942. Ketika itu ia masih aktif di opera Batak "Serasi Mindo" bersama S.D. Sitompul dan Naum Situmorang. Lagu Alatipang, yang judul sebenarnya adalah Alatenang, kata Ismail, semula dimaksudkan untuk penari, sedangkan Tillo-tillo untuk pelawak. "Waktu itu saya tak pernah berpikir lagu-lagu itu bisa menghasilkan uang. Kalau ada teman yang menyanyikan lagu itu, paling mereka cuma memberi tahu secara lisan, lantas mengajak saya minum-minum," kata Ismail, yang mengaku telah mengarang lebih dari 180 lagu daerah Batak. Sekitar 1952, masih menurut Ismail, datang utusan dari Lokananta, yang meminta secara resmi sekitar 18 lagu ciptaan Ismail-termasuk kedua lagu itu. Setelah itu, pada 1978, penyanyi Emilia Contessa dan Marini juga minta izin untuk menyanyikan dan memasarkan kedua lagu itu. Hanya PT Lolypop, kata Ismail, yang nekat merekam dan memperbanyak lagu-lagu itu, sekitar 1984, tanpa izinnya. Ismail mencoba menuntut langsung haknya kcpada Lolypop. Tapi produser lagu itu, katanya, hanya membayarnya Rp 300 ribu. Tuntutannya -- agar Lolypop menghargai karyanya selayaknya -- tak diladeni perusahaan itu. Padahal, katanya, ia sudah menunjukkan kopi syair dan not kedua lagu itu, ketika diciptakan. Selain itu, katanya, ia juga sudah memiliki surat keterangan dari Sumaryo L.E., bekas Ketua Lembaga Musikologi Departemen P & K, yang menyatakan kedua lagu itu memang ciptaannya. "Hampir empat tahun saya mengurus ke Lolypop tanpa hasil. Mereka sama sekali tak menghargai ciptaan saya," tutur Ismail. Tak ada jalan lain, melalui Pengacara B.M. Aruan, Ismail terpaksa menggugat Lolypop. Menariknya, ia tak menggugat perusahaan itu karena melanggar hak cipta, tapi sebagaimana gugatan perdata biasa -- perusahaan itu dianggapnya telah melakukan perbuatan melawan hukum. Berdasarkan itu, ia menuntut Lolypop agar membayar ganti rugi Rp 60 juta dan menarik semua kaset rekaman kedua lagu itu dari pasaran. Pengacara Lolypop, Eddy Kelana WldJaya, menganggap gugatan Ismail itu kabur dan tak berdasar. Sebab, "Sampai kini dia tidak bisa menunjukkan bukti otentik sebagai pencipta kedua lagu itu," kata Eddy Kelana. Selain itu, tambah Eddy, berdasarkan keterangan seniman Gordon Tobing dan penyanyi Olan Sitompul, kedua lagu itu adalah lagu rakyat. Pada piringan hitam 1960-an, cerita salah seorang direktur Lolypop, Amri Harahap, pencipta kedua lagu itu juga ditulis NN (No Name). Amri membenarkan adanya salinan syair dan not kedua lagu itu yang ditunjukkan Ismail. "Tapi bisa saja itu dibuatnya belakangan, jauh setelah kedua lagu itu terkenal," ujar Amri. Menurut Amri, yang adik penyanyi Rinto Harahap itu, pihaknya pernah memberi Ismail uang Rp 500 ribu. Ketika itu Ismail berjanji akan memberikan 20 lagu Batak ciptaannya. Ternyata, Ismail hanya memberikan kaset rekaman berisi tiga buah lagu. "Itu pun tak jadi diperbanyak karena suaranya tidak jelas," ujar Amri. Pencipta lagu daerah Batak, N. Simanungkalit, juga meragukan kedua lagu itu ciptaan Ismail. "Lebih dari 25 tahun kedua lagu itu dikenal masyarakat sebagai lagu No Name. Kalau sekarang ada yang mengakuinya, agak sulit juga membuktikan kebenarannya," kata Simanungkalit, bekas Kepala Dinas Musik Departemen P & K. Menurut Simanungkalit, sekitar 1970, juga ada dua orang Batak yang mengaku sebagai pencipta lagu Butet. Kedua orang itu bahkan punya beberapa saksi, yang memastikan baha merekalah pengarang lagu populer itu. "Tapi kami memutuskan lagu Butet tak ada pengarangnya. Sebab, mereka tak punya bukti otentiknya," ujar Simanungkalit. Tapi, siapa tahu, kini Ismail bisa membuktikan kedua lagu itu miliknya dan bukan lagu rakyat. Sebab, Februari 1987, dia memenangkan perkara ketika menggugat Purnama Record, yang dianggapnya membajak lagu ciptaannya, Pamalis Pandormai dan Siboru Enggan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus