Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Aroma Politik Intel Melayu

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada yang berbeda dalam sidang Komisi Informasi Pusat, Senin pekan lalu. Anggota Majelis Komisioner, Alamsyah Saragih, menyatakan sidang terbuka untuk umum, tapi pengunjung dilarang mengambil foto. Ketika panitera memeriksa kartu identitas pihak-pihak yang terkait, empat anggota Badan Intelijen Negara (BIN) yang duduk di bangku "termohon" tampak tegang. Alamsyah langsung paham. Setelah ia menjelaskan bahwa potret wajah mereka akan dihitamkan dengan tinta, ketegangan itu pun mencair.

Selama dua babak sidang hingga siang hari itu, Komisi Informasi meminta perwakilan BIN menjelaskan mengapa mereka tak memberikan dokumen yang diminta Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum) dan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra).

Kasum meminta BIN membuka surat penugasan atas Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot Garuda yang divonis 20 tahun penjara dalam kasus pembunuhan pegiat hak asasi Munir Said Talib. Adapun Fitra meminta dokumen perincian anggaran rumah tangga dan proyek di BIN.

Apa pun hasilnya kelak, inilah untuk pertama kalinya lembaga intelijen "digugat" karena tak mau membuka isi dapurnya. Selama ini ketertutupan menjadi salah satu masalah yang membelit lembaga intelijen. "Kami pun berhati-hati," kata Alamsyah.

Masalah lainnya, sejarah mencatat, intelijen Indonesia juga hampir tak pernah steril dari kepentingan pemegang kekuasaan. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), misalnya, intelijen tak hanya ditarik-tarik untuk melayani hasrat politik Presiden Sukarno. Badan Pusat Intelijen pun terlibat dalam perebutan pengaruh politik antara Partai Komunis Indonesia dan kalangan militer.

Lalu, semasa Orde Baru, Presiden Soeharto juga membangun jejaring intelijen sebagai penopang utama kekuasaannya. Sebut saja Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), Operasi Khusus, dan Badan Intelijen Strategis (Bais).

Laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan mencatat jejak hitam intelijen dalam sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia semasa Orde Baru. Misalnya dalam operasi penembakan misterius selama 1983-1985, peristiwa Tanjung Priok (1984), dan penculikan para aktivis prodemokrasi (1997-1998).

Di era reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid mengubah Bakin menjadi Badan Intelijen Negara (BIN). Gus Dur lantas membentuk Badan Intelijen Keamanan di kepolisian. Menurut analisis International Crisis Group, Gus Dur berupaya memperkuat BIN untuk mengurangi pengaruh Bais yang masih dikendalikan tentara. Gus Dur memang dikenal sebagai tokoh yang terus menggaungkan pentingnya supremasi sipil.

Tragedi bom Bali pada Oktober 2002 mengubah perimbangan kekuatan lembaga intelijen. Presiden Megawati Soekarnoputri menjadikan BIN sebagai koordinator bagi semua lembaga intelijen. Pembentukan Detasemen Khusus 88 Antiteror yang kelak mampu meringkus para gembong teroris kelas dunia juga membuat intelijen kepolisian naik pamor.

Namun, di era Megawati pula, wajah intelijen tercoreng kasus pembunuhan Munir. Lewat Pollycarpus, Deputi V BIN Muchdi Purwoprandjono terseret dalam kasus ini. Pernah ditahan, Muchdi akhirnya dibebaskan pengadilan.

Tuntutan akan reformasi intelijen terus bergema hingga masa kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Faktanya, laporan International Crisis Group edisi Juli 2011 masih menyinggung sejumlah persoalan yang membuat intelijen Indonesia berjarak dari ukuran ideal. Persoalan itu terentang dari kekaburan dalam mendefinisikan ancaman dalam dan luar negeri, tumpang-tindih pembagian kerja dan lemahnya koordinasi, sampai tidak jelasnya mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban.

Di tengah situasi seperti itu, Undang-Undang Intelijen disahkan pada 11 Oktober lalu. Tapi, menurut pengamat intelijen dari Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, pengesahan undang-undang itu tidak otomatis mengurai benang kusut di lembaga intelijen. Apalagi undang-undang tersebut hanya mencegah intelijen menggunakan kewenangan khususnya secara sendirian. Misalnya, dalam menginterogasi orang, aparat intelijen harus melibatkan polisi. Selebihnya, tak banyak terobosan. "Hanya memformalkan hal-hal yang selama ini dilakukan intelijen," kata Andi.

Jajang Jamaludin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus