Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Membendung Syahwat Intel Melayu

Setelah tertunda sembilan tahun, Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara disahkan DPR. Semangatnya menganggap warga negara sendiri sebagai musuh dan ancaman.

17 Oktober 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alkisah, sesosok mumi menyimpan rahasia yang membahayakan negara. Setelah pelbagai cara untuk mengorek keterangan tak juga mendatangkan hasil, akhirnya sang mumi didatangkan ke Jakarta. Ajaib sekali, setelah diinterogasi, dari mulut mayat berumur ribuan tahun itu meluncur sejumlah pengakuan, persis seperti kecurigaan para intel.

"Saking takutnya, mumi pun bisa ngomong," kata Tubagus Hasanuddin, Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR, pekan lalu. Politikus PDI Perjuangan ini menyitir anekdot yang cukup populer di masa Orde Baru itu untuk membandingkan intelijen dulu dan sekarang. "Dulu tak ada aturan, intelijen bisa sesuka hati beroperasi," katanya.

Kini, untuk pertama kalinya, Indonesia punya Undang-Undang Intelijen Negara. Dalam rapat paripurna Selasa pekan lalu, DPR mengesahkan rancangannya. Dari sembilan fraksi, hanya tiga (Partai Keadilan Sejahtera, Partai Hanura, dan PDI Perjuangan) yang memberi catatan ringan atas beleid itu. Lainnya setuju.

Menurut Hasanuddin, rancangan yang baru disahkan itu sudah jauh lebih lunak ketimbang rancangan yang diajukan pemerintah. "Soal penangkapan dan penggeledahan bagi yang terduga mengancam negara sudah tak ada," kata mayor jenderal yang lama menjadi intelijen di Markas Besar TNI Angkatan Darat itu.

Pada 2002, menghadapi ledakan bom di mana-mana, pemerintah Presiden Megawati Soekarnoputri mengajukan Rancangan Undang-Undang Intelijen. Kepala BIN waktu itu, A.M. Hendropriyono beralasan: aksi terorisme tak terendus karena tak ada aturan yang memayungi kerja intelijen. Para intel, kata Hendro, bisa mencium gelagat terorisme tapi tak bisa melacak dan menyelidiki lebih jauh. Ujungnya, Hendro meminta kewenangan buat menyadap, memeriksa, menangkap, dan menahan orang-orang yang diduga bakal melancarkan aksi teror.

Usul ini pun diprotes banyak orang. Koalisi Masyarakat Sipil meminta DPR menolak rancangan itu. Empat kewenangan yang diminta BIN dinilai bakal mengembalikan Indonesia ke zaman represif Orde Baru: tak ada kontrol bagi aparat, dan pada akhirnya hilanglah kebebasan warga negara.

Setiap kali DPR akan mulai memasuki masa sidang sehabis reses, protes terus dilancarkan. Apalagi waktu itu ada satu paket undang-undang tentang pertahanan dan informasi yang akan dibahas bersamaan: Undang-Undang Rahasia Negara dan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik. BIN bahkan meminta penggodokannya dilakukan berbarengan.

Mendapat tentangan keras, DPR melunak dan memilih membahas RUU Keterbukaan Informasi Publik lebih dulu. RUU Intelijen dibiarkan tak tersentuh, sampai akhirnya, pada sekitar akhir 2010, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro mengumpulkan sejumlah pemimpin DPR di sebuah restoran di Jakarta.

Sumber Tempo yang hadir dalam jamuan makan malam tersebut ingat ketika itu Purnomo meminta ada penyelesaian atas mentoknya RUU Intelijen. Pemerintah seolah-olah menyerah karena tak kunjung bisa mendorong DPR agar membahasnya. Pertemuan pun bubar dengan sejumlah kesepakatan: RUU Intelijen segera dibahas tapi drafnya diajukan DPR sebagai rancangan inisiatif parlemen.

Komisi Pertahanan ngebut menyusunnya. "Kami membuatnya benar-benar dari nol," kata Hasanuddin. Sejumlah pengamat intelijen, ahli pertahanan, serta ahli hukum dan bahasa diundang untuk merumuskan pasal-pasalnya. Sedangkan Komisi Pertahanan yang turne ke badan intelijen daerah, seraya menyimpulkan bahwa lemahnya operasi intelijen bukan karena tiadanya kewenangan menangkap dan menahan terduga perongrong negara. Konklusi mereka: tak ada koordinasi antar-intel di tiap lembaga pemerintah.

Komisi ini juga mendapati lemahnya kemampuan intel menganalisis informasi. Karena itu, beleid ini mengatur juga soal perekrutan dan pendidikan para intel. "Menangkap itu syahwat masa lalu saja," katanya. Karena itu, DPR menolak empat kewenangan yang diminta BIN. Koalisi Masyarakat Sipil menilai ada penyamaran definisi dari kewenangan intel yang membahayakan kebebasan sipil. Misalnya, pemeriksaan intensif. Menurut Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, kata intensif bisa bermakna pemeriksaan mendalam kepada orang yang baru diduga akan berbuat jahat, yang bisa melampaui kewenangan polisi.

Istilah pemeriksaan intensif kemudian berubah menjadi pendalaman informasi. Setelah ditolak lagi, DPR dan pemerintah sepakat memakai frase penggalian informasi. Poengky khawatir kewenangan yang diatur dalam pasal 31 ini disalahgunakan. Misalnya, untuk ngebon (istilah di kepolisian merujuk pada meminjam orang yang diperiksa). Di masa lalu intelijen bisa dengan mudah ngebon para terduga kejahatan yang sedang diperiksa polisi. "Dalam perspektif hak asasi, ini melanggar," kata Poengky. Meski begitu, ia menilai pasal-pasal yang sudah disahkan dalam undang-undang ini jauh lebih lunak ketimbang yang diajukan pemerintah sebelumnya.

Walau belum diatur soal transparansi anggaran intelijen, Poengky menyambut baik masuknya pengawasan parlemen terhadap kerja intelijen. Dalam undang-undang ini diatur pembentukan tim pengawas yang anggotanya perwakilan fraksi plus pimpinan komisi DPR yang membawahkan urusan pertahanan dan intelijen.

Tim DPR ini bisa memanggil agen intelijen kapan saja untuk mengetahui apa yang sedang dikerjakan para intel itu. Tapi ini pun mengandung cacat karena bisa saja digunakan untuk menangkal masuknya pengintaian ke partai politik. "Nanti semua orang bisa disadap, kecuali anggota DPR," kata Poengky.

Hasanuddin mengakui intervensi bisa terjadi. "Karena itu, anggota tim pengawas harus betul-betul orang baik," katanya. Sisi positifnya, kata dia, tim pengawas bisa mengontrol anggaran setiap kegiatan. "Dulu kita tidak tahu berapa anggaran tiap kegiatan intelijen, tapi nanti kami bisa meminta detail siapa yang disadap, untuk apa, berapa anggarannya, apa hasilnya," katanya.

Alamsyah Saragih, anggota Komisi Informasi Pusat, juga cemas undang-undang ini menghambat kebebasan pers dan akses masyarakat mendapat informasi. Pasal 44 mengatur soal sanksi pidana bagi pembocor informasi rahasia dengan bui sepuluh tahun dan denda Rp 500 juta. "Wartawan paling mungkin terjerat pasal ini," katanya. Itu karena tak jelasnya informasi berkategori rahasia negara dan siapa yang berhak mendefinisikannya. Menurut Hasanuddin, hakim yang akan menilai sebuah informasi bersifat rahasia atau umum. Dan soal ini akan diatur dalam Undang-Undang Rahasia Negara yang masih dirumuskan.

Karena masih banyaknya peluang represi, Koalisi Masyarakat Advokasi RUU Intelijen berencana mengajukan permintaan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. "Kami setuju ada undang-undang ini, tapi beberapa pasal yang berbahaya harus dicabut," kata Poengky.

Kepala BIN Jenderal Sutanto mempersilakan Koalisi mengajukan permintaan uji materi. "Karena pengalaman masa lalu, saya paham banyak yang khawatir dengan undang-undang ini," kata Sutanto, "tapi saya yakin Mahkamah pasti akan menolak." Hasanuddin menganggap gugatan itu untuk menekan kesalahan kerja intelijen. Juga supaya tak ada lagi anekdot mumi bisa ngomong.

Bagja Hidayat, Febriyan


Tetap Saja Mengancam
MESKI dinilai sudah lebih lunak dibanding saat pembahasan, Undang-Undang Intelijen Negara tetap dipandang memuat sejumlah pasal yang definisinya terlalu plastis, hukuman yang tak seimbang, dan menerapkan mekanisme anggaran yang tertutup.

Pasal 15 ayat 1
Setiap orang yang dirugikan akibat dari pelaksanaan fungsi intelijen dapat mengajukan permohonan rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi.

  • Catatan: Tak ada mekanisme komplain jika upaya intelijen bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia.

    Pasal 25 ayat 2
    Rahasia intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan dapat:

    1. membahayakan pertahanan dan keamanan negara
    2. mengungkapkan kekayaan alam Indonesia yang masuk kategori dilindungi kerahasiaannya
    3. merugikan ketahanan ekonomi nasional
    4. merugikan kepentingan politik luar negeri dan hubungan luar negeri
    5. mengungkapkan memorandum atau surat yang menurut sifatnya perlu dirahasiakan
    6. membahayakan sistem intelijen negara
    7. membahayakan akses, agen, dan sumber daya yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi intelijen
    8. membahayakan keselamatan personel intelijen negara; atau
    9. mengungkapkan rencana dan pelaksanaan yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi intelijen.
  • Catatan: Pengertian tidak spesifik dan terlalu luas.

    Pasal 25 ayat 5
    Rahasia intelijen dapat dibuka sebelum masa retensinya berakhir untuk kepentingan pengadilan dan bersifat tertutup.

  • Catatan: Bertentangan dengan prinsip akuntabilitas karena tak ada pilihan lain untuk dibuka jika ada unsur kepentingan publik lebih luas.

    Pasal 32 ayat 2
    Penyadapan terhadap sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 dilaksanakan dengan ketentuan:

    1. untuk penyelenggaraan fungsi intelijen
    2. atas perintah Kepala Badan Intelijen Negara, dan
    3. jangka waktu penyadapan enam bulan dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan.

    Pasal 32 ayat 3
    Penyadapan terhadap sasaran yang telah punya bukti permulaan cukup dilakukan dengan penetapan ketua pengadilan negeri.

  • Catatan: Dinilai bagus, hanya ketentuan ini bisa tumpang-tindih dengan kewenangan polisi.

    Pasal 36
    Kepala Badan Intelijen Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 diangkat dan diberhentikan Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

  • Catatan: Membuka peluang masuknya kepentingan politik dan memboroskan anggaran karena calon yang diajukan hanya satu.

    Pasal 43 ayat 2
    Pengawasan eksternal penyelenggaraan intelijen negara dilakukan komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang khusus menangani bidang intelijen.

  • Catatan: Bagus, tapi membuka peluang intervensi politik.

    Pasal 44
    Setiap orang yang dengan sengaja mencuri, membuka, dan/atau membocorkan rahasia intelijen sebagaimana dimaksud pasal 26 dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.

  • Catatan: Mengancam kebebasan pers.

    Pasal 45
    Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya rahasia intelijen sebagaimana dimaksud pasal 26 dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 300.000.000.

  • Catatan: Hukuman untuk pejabat publik penerima laporan intelijen ini lebih kecil ketimbang hukuman untuk orang sipil di Pasal 44.

    Pasal 46
    Setiap personel intelijen negara yang membocorkan upaya, pekerjaan, kegiatan, sasaran, informasi, fasilitas khusus, alat peralatan dan perlengkapan khusus, dukungan, dan/atau personel intelijen negara yang berkaitan dengan penyelenggaraan fungsi dan aktivitas intelijen sebagaimana dimaksud pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000.

  • Catatan: Hukumannya sama dengan orang sipil. Padahal agen seharusnya lebih berat karena membuka peluang jual-beli informasi intelijen dengan imbalan jauh lebih besar ketimbang hukuman.

    Akhirnya Gol Juga

    2002
    25 Januari Pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Intelijen. Intelijen diberi hak memeriksa, menangkap, menggeledah, dan menahan seseorang yang diduga akan melakukan kejahatan kepada negara.

    2003

    25 September
    Masyarakat sipil menolak pembahasan RUU Intelijen hingga Pemilu 2004 usai dan meluaskan konsultasi publik.

    2005
    Kelompok masyarakat sipil mengajukan draf pembanding RUU Intelijen dan mendesak beleid ini menjadi usul inisiatif DPR. RUU Intelijen akan dibahas dalam Prolegnas 2006.

    2006

    September
    RUU Intelijen sudah di tangan Presiden dan segera diserahkan ke DPR untuk dibahas.

    2006-2007
    Pembahasan RUU Intelijen selalu mentok karena ditolak masyarakat sipil.

    2010

    23 Desember
    DPR menyusun RUU Intelijen sebagai usul inisiatif. Pemerintah tetap mengusulkan BIN diberi kewenangan menyadap dan menangkap.

    2011

    Januari-September
    Tarik-ulur dalam pembahasan RUU Intelijen. Beberapa pengertian berubah, seperti pemeriksaan intensif menjadi pendalaman informasi, dan terakhir penggalian informasi.

    11 Oktober
    DPR mengesahkan RUU Intelijen Negara.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus