Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Asli Oke, Palsu pun Jadi

Peraturan pemerintah tentang kedudukan protokoler anggota Dewan di daerah dipalsukan. Pelakunya masih belum jelas benar.

19 Desember 2005 | 00.00 WIB

Asli Oke, Palsu pun Jadi
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah sempat dilanda kebingungan. Di kantor mereka, Oktober lalu, beredar dua versi Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2005 tentang Perubahan PP No. 24 Tahun 2004 perihal Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD.

Peraturan yang bernomor sama itu ternyata beda isi. Pada PP No. 37/2005 yang termuat di Lembaran Negara Nomor 79/2005, fasilitas yang diterima anggota Dewan meliputi mobil, tunjangan perumahan, ada juga uang sewa dan uang paket sidang. Namun, dalam peraturan yang dimuat di Lembaran Negara Nomor 94/2005, hal itu dilarang. ”Mana yang betul? Ini bikin bingung orang saja,” kata Wakil Ketua Dewan, Abdul Kadir Karding, mengeluh kepada Tempo. Untungnya, kini mereka sudah tahu mana aturan yang benar alias asli.

Adalah protes Masyarakat Anti-Korupsi Surakarta (MAKS), pada pertengahan Oktober, yang membuat Dewan yang berkantor di Semarang itu tersadar. ”Saya minta pembahasan ditunda karena ada dua versi peraturan. Salah satunya katanya palsu,” kata Boyamin, Sekretaris Jenderal MAKS, kepada Tempo pekan lalu. Barang palsu itu adalah PP No. 37/2005 versi Lembaran Negara Nomor 79 Tahun 2005. Peraturan yang asli adalah PP No. 37/2005 versi Lembaran Negara Nomor 94 Tahun 2005.

Menurut Boyamin, kedua peraturan itu mengecoh. Formatnya dan redaksinya seragam. Keduanya pun dilengkapi logo bintang dilingkari padi dan kapas, logo kepresidenan. Tanggal penerbitan dan pengundangan sama. Bedanya hanya pada sejumlah ayat yang ”diselundupkan” di antara uraian 25 pasal dalam aturan tersebut.

Departemen Dalam Negeri di Jakarta juga mengaku sontak dibuat repot karena PP palsu tersebut. ”Banyak yang mengecek ke sini. Dan kami tunjukkan versi yang betul,” kata Kepala Pusat Penerangan Departemen Dalam Negeri, A. Tarwanto. Sebab, hal itu berbarengan dengan pembahasan tentang fasilitas anggota Dewan untuk tahun anggaran 2006 di beberapa Dewan di daerah.

Tak cukup lisan, Dirjen Bina Administrasi dan Keuangan Daerah Daeng M. Nazier pun akhirnya mengirimkan surat penjelasan, tertanggal 26 Oktober 2005. Ditujukan kepada para gubernur dan bupati, Ketua DPRD provinsi dan kabupaten se-Indonesia. Dalam salah satu poin surat tentang penyampaian dan sosialisasi PP No. 37/2005 tersebut, ditegaskan bahwa PP No. 37/2005 tanggal 12 Oktober 2005, yang diundangkan pada 15 September 2005 berdasarkan Lembaran Negara RI No. 79, Tambahan Lembaran Negara RI No. 4540, adalah palsu.

DPRD Jawa Tengah memang termasuk pihak yang bereaksi cepat. Sekretaris Dewan langsung mengecek ke Departemen Dalam Negeri ketika kabar PP No. 37/2005 palsu itu diterima. Rancangan peraturan daerah (raperda) tentang kedudukan keuangan pimpinan dan anggota Dewan akhirnya bisa mereka selesaikan dengan mengacu pada PP yang resmi.

Selain DPRD Jawa Tengah, beberapa daerah yang tengah menggodok raperda tentang fasilitas anggota Dewan untuk tahun anggaran 2006 juga terpaksa menghentikan prosesnya. Di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, misalnya, pemberian nomor raperda terpaksa ditunda hanya untuk memastikan dasar hukumnya betul. Di Tulungagung, Jawa Timur, Bupati Hary Tjahyono memilih menunda pembuatan peraturan bupati sebagai syarat pencairan dana perumahan. Padahal Dewan sudah ketok palu.

Menteri Mohamad Ma’ruf sudah menugasi Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri mencari pelaku pemalsuan. ”Cari tahu oknum pelakunya, kalau perlu kita laporkan ke polisi,” katanya, awal Desember lalu. Sayangnya, hingga pekan lalu—itu artinya hampir sebulan—tak kunjung terungkap siapa dalangnya. ”Masih diselidiki,” kata Tarwanto. Tim irjen kini sedang berkeliling ke sejumlah daerah untuk mencari tahu. ”Umumnya mereka mengaku menerima berupa faksimile dari Depdagri,” ujarnya.

Departemen yang berkantor di kawasan Merdeka Utara itu sebenarnya bukan satu-satunya penyusun peraturan tersebut. PP No. 37 dibuat oleh tim interdepartemen, yang terdiri dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Hukum dan HAM, Departemen Keuangan, dan Sekretariat Kabinet. Pada proses perancangan, para penyusun ini juga berkonsultasi dengan Asosiasi DPRD se-Indonesia. Ketua DPR Agung Laksono bahkan menyebut Departemen Hukum dan HAM serta Sekretariat Kabinet sebagai pihak yang bertanggung jawab. ”Bagaimana mungkin ada dua PP yang sama, apalagi sampai dimuat di lembaran negara,” katanya.

Menurut Boyamin, mengutip sejumlah legislator daerah, pelakunya kemungkinan oknum Depdagri. Awalnya, kasus ini muncul di Jawa Barat. Sejumlah oknum Depdagri mendatangi pimpinan DPRD di sebuah kabupaten. ”Mereka menagih pembayaran atas jasanya memperjuangkan aspirasi DPRD,” katanya. Aspirasi itu antara lain menyangkut dana sewa rumah dan kendaraan dinas.

Dalam PP No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD, yang direvisi dengan PP Nomor 37/2005, uang sewa rumah tidak berbentuk tunai. ”Karena BPK menolak,” tutur Boyamin. Badan Pemeriksa Keuangan meminta agar duit sewa rumah digunakan benar-benar untuk menyewa rumah. ”Dana diterima pemilik rumah dengan perjanjian jelas, bukan digondol anggota Dewan yang lalu digunakan untuk kepentingan lain,” katanya. Menurut mantan aktivis LBH itu, para anggota DPRD di berbagai daerah meminta agar sewa rumah bisa diterima tunai.

Dirjen Daeng M. Nazier juga mengakui kesulitan itu. Sebab, banyak laporan, Sekretaris Dewan kewalahan mencari kontrakan rumah untuk anggota parlemen lokal itu. Mereka merasa lebih praktis menyerahkannya langsung ke anggota, yang lantas membuat kuitansi sendiri. ”Mereka takut kena tuntutan hukum juga, karena pasti fatal waktu diaudit,” katanya.

Permintaan itu akhirnya memang diakomodasi dalam PP No. 37/2005 dan dinamakan tunjangan perumahan. Besarnya bergantung pada kemampuan keuangan dan kondisi daerah. Namun, Nazier memperingatkan, jangan diartikan aturan baru itu memberi peluang menambah kesejahteraan anggota Dewan. ”Ini cuma memperjelas saja,” ia menambahkan.

Depdagri sendiri mengimbau DPRD supaya berpegang pada peraturan yang asli. ”Jangan ngotot. Risikonya akan berhadapan dengan hukum,” Tarwanto mengingatkan. Para anggota Dewan harus berhati-hati supaya tak bernasib seperti anggota DPRD periode 1999-2004, yang banyak tinggal di hotel prodeo karena korupsi. Apalagi, PP No. 24/2004 sudah menegaskan setiap sen duit keluar dari anggaran daerah harus ada dasar hukumnya.

Anggota Dewan periode lalu memang lebih ”merdeka”. Waktu itu sempat terbit PP Nomor 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD, yang bermaksud mengatur keuangan DPRD. Namun, karena dalih itu, aturan yang dibuat Presiden Abdurrahman Wahid itu umurnya jadi pendek. Mahkamah Konstitusi dalam judicial review, 9 September 2002, menyatakannya melanggar Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, di mana DPRD diberi hak mengatur anggarannya sendiri.

Arif A. Kuswardono, Imron Rosyid


Si Palsu Lebih Yahud

ASLI, versi Lembaran Negara Nomor 94/2005

  • Dalam pasal 1, tidak dikenal uang paket.
  • Fasilitas kendaraan dinas hanya untuk pimpinan DPRD (pasal 1 butir 16).
  • Premi asuransi untuk pimpinan dan anggota DPRD paling tinggi sama dengan premi asuransi kepala daerah bersangkutan (pasal 16 ayat 1).
  • Cek kesehatan (general check-up) sekali setahun (pasal 16 ayat 3).
  • Tunjangan perumahan dianggarkan di pos DPRD (pasal 25 ayat 2a).
  • Pos belanja pegawai untuk kebutuhan belanja gaji dan tunjangan pegawai Sekretariat DPRD sesuai dengan golongan jabatan (pasal 25 ayat 3).
  • Pos belanja barang dan jasa untuk kebutuhan belanja barang dan jasa habis pakai (pasal 25 ayat 3 butir b).
  • Mulai berlaku sejak tanggal diundangkan, 12 Oktober 2005.

PALSU, versi Lembaran Negara 79/2005*

  • Anggota DPRD berhak menerima uang paket, yakni uang bulanan pimpinan dan anggota DPRD untuk ongkos rapat di luar DPRD. Terdiri dari komponen uang transpor dan uang makan (pasal 1 butir 13).
  • Fasilitas kendaraan dinas diberikan kepada semua anggota DPRD (pasal 1 butir 16).
  • Premi asuransi disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah (pasal 16 ayat 1).
  • Cek kesehatan dua kali setahun (pasal 16 ayat 3).
  • Tunjangan perumahan dianggarkan dalam pos Sekretariat DPRD (pasal 20 ayat 2).
  • Pos belanja pegawai, selain untuk kebutuhan gaji dan tunjangan pegawai Sekretariat DPRD sesuai dengan golongan jabatan, juga untuk tunjangan perumahan DPRD dan honorarium/upah DPRD (pasal 25 ayat 3 butir 1).
  • Pos belanja barang dan jasa, selain untuk kebutuhan belanja barang dan jasa habis pakai, juga untuk sewa rumah DPRD (pasal 25 ayat 3 butir b).
  • Mulai berlakunya peraturan tidak disebut.

*Nomor lembaran negara ini ternyata aslinya milik PP No. 33 Tahun 2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus