Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Audit Investigasi hingga Kriminalisasi

Audit Badan Pemeriksa Keuangan terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi dinilai melanggar aturan karena meminta berkas perkara. Auditor BPK juga mengkriminalisasi penyidik komisi antikorupsi.

29 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Audit Investigasi hingga Kriminalisasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAPAT di lantai delapan gedung merah-putih Komisi Pemberantasan Korupsi berjalan alot pada Senin pekan lalu. Siang itu, Sekretaris Jenderal KPK Bimo Gunung Abdul Kadir tengah menerima kunjungan tim auditor Badan Pemeriksa Keuangan yang diketuai Adi Kurniadi.

Setelah berbasa-basi sejenak, tim auditor BPK menyampaikan maksud kedatangan mereka ke sana dalam rangka meminta dokumen penyelidikan kasus di KPK. Permintaan itu langsung ditolak sahibulbait. "Kalau sifatnya rahasia, apalagi masih dalam proses, tidak bisa kami sampaikan," kata Sekretaris Jenderal KPK Bimo Gunung Abdul Kadir menjelaskan alasan penolakan pada Selasa pekan lalu.

Tim BPK tak menggubris penolakan itu. Mereka terus berupaya meminta dokumen penyelidikan kasus. Setelah debat panjang, mereka akhirnya sepakat pada tawaran KPK yang hanya bisa menyampaikan nama kasus beserta waktu penerbitan surat penyelidikan. Setelah tim KPK memaparkan soal itu, tim auditor ini pamit kembali ke kantornya. "Sampai saat ini mereka menerima, tapi tetap berupaya meminta," ujar Bimo.

Pertemuan satu jam itu tindak lanjut permintaan Panitia Angket KPK kepada BPK untuk mengaudit investigasi kinerja komisi antikorupsi tahun 2010-2017 pada 22 September lalu. Sejak dibentuk akhir Mei lalu, Panitia Angket terus menguliti kewenangan KPK. Mereka semakin gencar mencari kesalahan KPK setelah Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto ditetapkan KPK sebagai tersangka proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP). Belakangan, putusan praperadilan membatalkan penetapan tersangka Setya.

Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Internasional BPK R. Yudi Ramdan Budiman mengatakan tim sudah bekerja sejak 5 Oktober lalu selama 50 hari ke depan. Menurut dia, audit sudah menjadi bagian Rencana Kerja Pemeriksaan. "Dan dalam perjalanannya ada permintaan dari DPR," kata Yudi. Yang dimaksud DPR oleh Yudi adalah Panitia Angket KPK.

Ketua BPK Moermahadi Soerja Djanegara lantas membentuk tim dengan penanggung jawab I Nyoman Wara dan Adi Kurniadi selaku ketua. Anggota tim sebanyak 30 orang. Menurut Yudi, mereka menggunakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang memberikan kewenangan pemeriksaan pelaksanaan pencegahan, penindakan, koordinasi, supervisi, dan monitoring terhadap pelaksanaan tindak pidana korupsi.

Ketentuan yang dimaksud Yudi adalah pasal 6 ayat 3 yang menyebutkan pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Aturan itu tidak menjelaskan lebih jauh tentang ketentuan tersebut, termasuk dalam penjelasannya.

Saat pertemuan perdana dengan KPK, rapat juga berlangsung alot karena BPK meminta semua data perkara. Tapi sikap KPK sejak awal menolak permintaan ini karena penyerahan dokumen perkara penyelidikan dan penyidikan termasuk yang dilarang oleh Pasal 112 Undang-Undang Kitab Hukum Pidana serta Kode Etik Pegawai dan Pimpinan KPK. "Kami sesama KPK pun tidak bisa tahu tentang berkas perkara, kecuali memang tugasnya," ujar Ketua KPK Agus Rahardjo.

Permintaan audit oleh para legislator ini awalnya hanya terhadap barang sitaan dan rampasan dari berbagai perkara yang ditangani lembaga antirasuah itu. Ketua Panitia Angket KPK Agun Gunandjar Sudarsa mengatakan permintaan itu karena temuan tim yang biasa disebut panitia khusus di lima kantor rumah Penyimpangan Barang Sitaan dan Rampasan Negara wilayah hukum Jakarta dan Tangerang. Dari hasil inspeksi itu, pansus tidak mendapatkan data barang sitaan serta rampasan berupa uang, rumah, tanah, dan bangunan.

Belakangan, tuntutannya berkembang menjadi permintaan audit secara keseluruhan. "Yang ada permohonan audit kinerja atas outcome dari penggunaan APBN," ujar politikus Golkar itu. Tapi Agun tak menjelaskan secara pasti alasan permintaan audit yang hanya pada periode 2010-2017, bukan sejak awal KPK berdiri. "Waktunya terbatas."

Meski permintaan audit baru dilayangkan dan tanpa klarifikasi ke KPK, Panitia Angket sudah membacakan laporan kerja sementara dalam rapat paripurna DPR pada akhir September lalu. Panitia mengklaim menemukan sejumlah dugaan pelanggaran yang dilakukan KPK dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menangani kasus korupsi. Laporan yang dibacakan Agun itu dibagi menjadi empat kategori, yakni aspek kelembagaan, kewenangan, anggaran, dan tata kelola sumber daya manusia.

Panitia Angket mulai melibatkan BPK ketika menyoroti aspek anggaran KPK. Agun menyebutkan laporan BPK atas KPK tahun 2006-2016 ada 47 rekomendasi yang belum sesuai dan 11 rekomendasi yang belum ditindaklanjuti. Khusus pada anggaran KPK tahun 2015, menurut Agun, BPK menemukan ada kelebihan gaji pegawai KPK sebesar Rp 748,460 juta, realisasi belanja perjalanan dinas biasa KPK tidak sesuai dengan ketentuan minimal sebesar Rp 1,29 miliar, dan kelebihan pembayaran gedung KPK sebesar Rp 655,300 juta.

Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengatakan temuan-temuan yang sudah disampaikan di Sidang Paripurna DPR itu tak ada yang baru. Menurut dia, lembaganya sudah menjelaskan hal itu dengan BPK. Tapi Panitia Angket justru menjadikan temuan itu sebagai celah untuk meminta BPK mengaudit kinerja KPK.

Deputi Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Apung Widadi mengatakan, karena audit itu pesanan dari Panitia Angket KPK, motifnya diduga sebagai bagian dari pelemahan komisi antikorupsi. Bukan hanya itu, kata dia, audit tersebut terkesan sebagai serangan balik BPK karena auditornya banyak yang ditangkap KPK lantaran suap. "Potensi serangan balik itu kuat," ucapnya.

Dalam lima bulan terakhir, KPK telah menciduk tiga auditor BPK yang menerima suap dari pejabat pemerintah. Satu di antaranya auditor utama berstatus eselon I, Rochmadi Saptogiri, yang tengah menjalani sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

Dugaan serangan balik ini juga dilakukan melalui cara pidana dengan melaporkan penyidik KPK yang melakukan penangkapan auditor BPK. Pada 6 Oktober lalu, Auditor Utama Keuangan Negara VI BPK Arief Fadillah melaporkan dua penyidik KPK, Arend Arthur Durna dan Edy Kurniawan, ke Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya. Arend dan Edy adalah penyidik kasus dugaan pencucian uang yang menjerat mantan auditor BPK, Rochmadi Saptogiri. Arief pernah dipanggil KPK untuk menjadi saksi Rochmadi.

Dua pekan setelah laporan atau tepatnya pada 23 Oktober, Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya menerbitkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) tindak pidana dugaan tindak pidana penyalahgunaan wewenang dan perbuatan tidak menyenangkan sebagaimana dimaksud Pasal 421 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Pasal 335 KUHP terhadap Arend dan Edy. "Iya, benar SPDP itu," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Prabowo Argo Yuwono.

Arend dan Edy adalah mantan pegawai BPK yang kini bekerja di KPK. Saat penggeledahan kasus Rochmadi itu, Edy dan Arend sebagai mantan pegawai BPK masih punya akses dan tahu tata letak dokumen di sana. Hal inilah yang dianggap sebagai penyalahgunaan kewenangan. Yudi Budiman tak menanggapi saat dimintai konfirmasi ihwal pelaporan dua penyidik KPK itu.

Linda Trianita, Rusman Paraqbueq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus