Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bakarlah Supaya Mengaku

Demi mendapat pengakuan, sejumlah polisi menyiksa seseorang yang tak melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Tak hanya digebuki, badannya juga dibakar. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menilai tak masuk kriteria mendapat perlindungan darurat.

15 Desember 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA sekawan itu memesan sebotol bir. Sore itu, 21 November 2012, di Kafe Perdana, yang terletak di jalur lingkar Kota Kudus menuju Jepara, mereka menenggak minuman beralkohol tersebut dalam suasana tegang—tidak santai seperti biasanya. Kelima orang itu, yakni Kuswanto, Susanto, Suprat, Soleh, dan Mukiyi, biasa kongko di tempat tersebut. "To, kamu kabur saja dulu," ujar salah satu di antara mereka membujuk Kuswanto.

Kuswanto menggelengkan kepala. Pria 29 tahun yang biasa dipanggil "Bos Anto" itu sepekan ini memang menerima telepon dan pesan pendek dari teman-temannya. Mereka meminta Kuswanto kabur karena polisi akan menangkapnya. Menurut rekan-rekannya, polisi mencurigai bahwa Kuswanto bagian dari kelompok perampok gudang es krim PT Cahaya Agung Cemerlang. Pada Kamis malam, 15 November 2012, gudang yang terletak di Jalan Lingkar Kudus itu memang disatroni kawanan perampok.

Belum lagi bir dalam botol itu kosong, sejumlah polisi tak berseragam muncul dan menuju ke arah Kuswanto dan kawan-kawannya. "Oh, Pak Joko," kata Kuswanto. Sebagai informan polisi, Kuswanto mengenal dia. Tapi, kali ini, si polisi jauh dari ramah. "Ayo, melu (ikut) aku," ucapnya. Ia langsung mencengkeram bahu Kuswanto dan menyeretnya ke mobil Daihatsu Xenia yang terparkir di depan kafe. Empat temannya dimasukkan ke dua mobil terpisah. "Saya hitung jumlah mereka 13," tutur Kuswanto kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Di dalam mobil, Kuswanto duduk di samping polisi yang juga dikenalnya, Tigor. Adapun Joko duduk di samping sopir, Agus Gareng, yang juga anggota Kepolisian Resor Kudus. Begitu mobil jalan, tiba-tiba Tigor mengayunkan tangannya. Dia memukuli wajah dan tubuh Kuswanto dengan gagang pistol. "Saya disuruh mengaku sebagai perampok di gudang es krim. Saya jawab saya tidak melakukannya," kata Kuswanto. Agus Gareng, yang melihat Kuswanto tak juga mengaku, memerintahkan Tigor menutup mata pria itu dengan lakban dan memborgol tangannya. "Setelah itu, saya dipukuli lagi."

Sejam kemudian, mobil berhenti di sebuah tempat. Tanpa alas kaki, Kuswanto turun. Ia menginjak rumput. "Feeling saya saat itu, tempat tersebut sawah atau lapangan," ujarnya. Di sini, para polisi makin beringas. Mereka bergantian menghajar Kuswanto. Ia juga mendengar Joko kemudian pergi untuk mencari Bandeng, yang dicurigai ikut merampok gudang es. Sekitar satu jam kemudian, Joko kembali. Rupanya, tak ada bukti bahwa Bandeng pelakunya.

Dalam kondisi tubuh dan wajah luka-luka, Kuswanto sempat bertanya kepada keempat temannya, yang juga digebuki tapi matanya tak ditutup, di mana mereka berada. Setengah berbisik, seorang temannya berkata, "Ini lapangan Universitas Muria, Kudus, tempat ujian SIM." Menjelang tengah malam, Kuswanto mendengar mobil datang. Ia hafal suara pria yang turun dari mobil itu: Brigadir Kepala Lulus Raharjo, juga anggota Polres Kudus. Polisi itu mendatangi Kuswanto. Lulus memukul muka dan mendorong tubuhnya hingga terjengkang. Dia lalu menginjak perut Kuswanto. "Mending kamu mengaku saja. Kamu nanti kuloloskan. Aku kasih duit untuk pergi sementara dari Kudus," ujar Kuswanto menirukan ucapan Lulus. "Mending saya dibunuh saja," Kuswanto menjawab.

Mendengar jawaban seperti itu, Lulus naik pitam. "Kamu menantang?" ucapnya. Menurut Kuswanto, saat itulah Lulus menyiramnya dengan bensin. Polisi itu masih meminta Kuswanto mengakui perbuatannya, tapi ia tetap menolak.

Saat itu, kata Kuswanto, ia mendengar suara korek api dinyalakan. Sekelebat, api kemudian menyambar dan membakar tubuhnya. Kesakitan, dengan mata tertutup lakban dan tangan terborgol, ia berguling-guling. Dia lalu mencari genangan air di lapangan itu. "Saya akhirnya menemukan genangan air dan api di badan saya padam. Para polisi tertawa-tawa," ujar Kuswanto. Kobaran api itu mengakibatkan luka bakar di leher dan dadanya.

Rupanya, itu bukan akhir penyiksaan. Kuswanto kemudian dibawa ke Polres Kudus. Di luar gedung, ia lagi-lagi dipukuli—kali ini dengan slang air. Sejumlah polisi yang melihat adegan itu berteriak memerintahkannya mendongak. Rupanya, di sana ada CCTV. Ia kemudian dibawa ke sebuah ruangan di dekat kamar mandi. Di sini, kata Kuswanto, lagi-lagi Lulus menyiramnya dengan cairan yang ia tak kenal. Cairan itu memperparah luka bakar di leher dan dadanya. Menjelang subuh, keempat temannya disuruh pulang, tapi tidak untuk Kuswanto. Kepadanya, seorang polisi menyatakan luka di lehernya harus disembuhkan dulu, baru ia boleh pulang.

Sekitar pukul 03.00, akibat luka bakar, Kuswanto kritis. Petugas jaga melarikan bapak dua anak ini ke dokter Polres Kudus. Karena makin parah, dia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Kudus. Di sana, ia dirawat mulai 29 November sampai 7 Desember 2012. Selama Kuswanto di RS Kudus, sejumlah polisi menjaganya dengan ketat. Lulus juga kerap datang menengoknya. "Dia kadang yang menggendong saya ke kamar kecil," kata Kuswanto. Karena kondisi luka Kuswanto tak sembuh-sembuh, ibunya, Kustinah, meminta sang anak dipindahkan ke Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus. "Saya yang minta ganti karena perawatannya kurang maksimal," ujar Kustinah, 48 tahun, kepada Tempo.

Beberapa lama dirawat dan tak kunjung sembuh, Kuswanto, beserta Kustinah, ditemui dua polisi. "Kamu mau melapor ke mana saja silakan. Jika saya dipecat, penerus saya masih ada," ujar salah satu di antara mereka. Belakangan, Nur Wahyu, polisi yang memimpin penangkapan Kuswanto, ganti menemui Kustinah. Ia membawa uang Rp 30 juta yang diikat karet gelang. Dia menyebutkan uang itu untuk biaya pengobatan Kuswanto sampai sembuh. "Ia melarang kami melaporkan masalah ini ke mana-mana," ucap Kuswanto.

Luka bakar di leher Kuswanto kini meninggalkan bekas yang mengerikan. Dari luka itu masih kerap mengalir darah. Luka itu juga membuat ia tak bisa menggerakkan lehernya dengan bebas. Adanya luka itu membuat Kuswanto otomatis tak bisa bekerja. Uang pemberian Nur Wahyu telah habis untuk berobat, termasuk pengobatan tradisional. Kini satu-satunya obat yang ia telan adalah "obat Cina" untuk mencegah perdarahan di lehernya. Per butir harga obat itu Rp 100 ribu.

Polisi Kudus rupanya punya versi sendiri perihal luka di leher Kuswanto. Menurut Kepala Bagian Humas Polres Kudus Ajun Komisaris Sumbar Priyono, luka itu bukan disengaja oleh Lulus. Saat interogasi, ia memegang rokok dan botol air mineral. Ia juga memberi Kuswanto air. Saat Lulus menyulut korek api untuk merokok, tanpa diduga api itu menyambar Kuswanto. Menurut Sumbar, belakangan baru diketahui bahwa air yang diberikan Lulus kepada Kuswanto bukanlah air putih biasa, melainkan minuman yang mengandung alkohol tinggi.

Versi lain muncul dari Markas Besar Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Juru bicara Polda Jawa Tengah, Komisaris Besar Liliek Darmanto, menyatakan terjadi keteledoran saat pemeriksaan Kuswanto. Menurut dia, karena Kuswanto mengaku mengenal Lulus, untuk memudahkan pemeriksaan, penyidik memanggil Lulus. Saat itulah Kuswanto meminta arak yang dia bawa dituangkan dari botol ke mulutnya. "Saat itu, dia tersedak," tutur Liliek. Karena kondisi gelap, Lulus menyalakan korek untuk mengetahui apa yang terjadi. Lalu, wuss, api menyambar tumpahan alkohol—demikian menurut pihak Polda Jawa Tengah—yang membasahi tubuh Kuswanto.

Sumbar Priyono menyatakan, sampai kini, perampok gudang es krim itu belum ditemukan. Polisi, menurut dia, juga tak memiliki bukti kuat Kuswanto sebagai perampok gudang itu. Lulus, kata Sumbar, sudah dijatuhi sanksi. Selain ditahan tiga pekan, ia dimutasi dari reserse ke Kesatuan Sabhara.

l l l

DUA pekan lalu, bersama istri dan dua anaknya, Kuswanto, berangkat ke Jakarta dengan bus umum. Didampingi pihak Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), ia berupaya mencari keadilan. Kuswanto, antara lain, mendatangi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ia berharap lembaga itu memberi perlindungan dan membantunya. "Saya dijanjikan mendapat perawatan atas luka saya. Saya tidak mau mati," ujarnya.

Anggota LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, mengatakan permohonan Kuswanto masih diproses. Sesuai dengan prosedur, kata dia, butuh 30 hari untuk menelaah permohonannya. "Kami harus menelaah dan mengecek informasi dari pemohon," ucapnya. Menurut dia, sekalipun ada mekanisme pemberian perlindungan darurat, kriteria darurat belum terpenuhi untuk kasus Kuswanto. "Kriteria mengancam keselamatan dirinya akibat ancaman orang lain dan ancaman atas keselamatan jiwa akibat sakitnya tidak terpenuhi," Edwin menjelaskan.

Di Kudus, Ajun Komisaris Besar Bambang Murdoko, Kepala Polres Kudus, menyatakan permintaan maafnya atas penyiksaan yang dilakukan anak buahnya. Dia meminta Kuswanto melapor kepadanya jika masih ada anggotanya yang meneror.

Rabu sore pekan lalu, sebuah taksi berhenti di depan kantor Kontras, Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Dari kantor itu, dengan bergegas, Kuswanto, istri, dan dua anaknya keluar dan masuk ke taksi. Polda Jawa Tengah memanggil mereka. Menurut Putri Kanesia, Kepala Divisi Hak Politik dan Sosial Kontras, Polda akan segera mengusut kasus penganiayaan ini. "Dia diminta pulang untuk memudahkan pemeriksaan."

Seperti saat ke Jakarta, Kuswanto dan keluarga pulang dengan bus umum. Bersama keluarganya, petang itu ia menuju terminal bus Pulogadung. "Ternyata tak mudah mendapatkan apa yang mereka janjikan kepada saya. Saya pulang tanpa hasil," katanya. Matanya merah seperti menahan tangis.

Maria Rita, Dewi Suci Rahayu (Jakarta), Farah Fuadona (Kudus)


Dilarang Menyiksa

Polisi dilarang melakukan penyiksaan demi mendapat pengakuan dari yang diperiksa. Sejumlah aturan menegaskan hal ini.

Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia dalam penyelenggaraan tugas Polri.

Pasal 10
Dalam melaksanakan tugas penegakan hukum, setiap petugas/anggota Polri wajib mematuhi ketentuan berperilaku (code of conduct) sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf h sebagai berikut ini.
a. Senantiasa menjalankan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang kepada mereka.
b. Menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya.
c. Tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan.
e. Tidak boleh menghasut; mentolerir tindakan penyiksaan, perlakuan, atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia; demikian pula menjadikan perintah atasan atau keadaan luar biasa seperti ketika dalam keadaan perang sebagai pembenaran untuk melakukan penyiksaan.

Pasal 7
Setiap anggota Polri wajib memahami instrumen internasional tentang standar minimal perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung tentang hubungan anggota Polri dengan hak asasi manusia, antara lain:
e. Konvensi Menentang Penyiksaan, Perlakuan, atau Hukuman lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT) Tahun 1984.

Pasal 11

1. Setiap petugas/anggota Polri dilarang melakukan:
a. Penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum.
b. Penyiksaan tahanan atau terhadap orang yang disangka terlibat dalam kejahatan.
d. Penghukuman dan/atau perlakuan tidak manusiawi yang merendahkan martabat manusia.
j. Menggunakan kekerasan dan/atau senjata api yang berlebihan.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Pasal 117
1. Keterangan tersangka dan/atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apa pun.

Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia.
(Berlaku 26 Juni 1984. Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini.)

Pasal 2

1. Setiap negara pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administrasi, hukum, atau langkah-langkah efektif lainnya untuk mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah hukumnya.

2. Tidak ada terdapat pengecualian apa pun, baik dalam keadaan perang atau ancaman perang, atau ketidakstabilan politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya yang dapat digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.

3. Perintah dari atasan atau penguasa tidak boleh digunakan sebagai pembenaran penyiksaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus