Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana panas menyelimuti rapat pemilihan Ketua Umum Serikat Pekerja PT Pelita Air Service di lantai 5 gedung Pelita Air, Jakarta Pusat, tiga pekan lalu. Baru saja rapat dibuka, jajaran direksi yang dipimpin Direktur Operasi M. Sasongko Adi langsung bersuara keras mempertanyakan soal mosi tak percaya terhadap direksi yang dikeluarkan serikat pekerja. Direksi menuding serikat pekerja yang diketuai Kartono berada di balik pengiriman mosi yang dikirim ke komisaris perusahaan dua bulan sebelumnya.
Salah satu isi mosi memang sensitif, menyinggung masalah penjualan suku cadang helikopter Puma dan Super Puma yang diselidiki Kejaksaan Agung. "Mereka mengkondisikan agar dalam rapat itu Kartono tidak terpilih kembali," kata seorang petinggi Pelita Air kepada Tempo pekan lalu.
Kartono memang dituding sebagai pihak yang melaporkan soal Puma itu ke Kejaksaan Agung. Dalam sejumlah pertemuan antara direksi dan pegawai Pelita, Direktur Utama Pelita Air Andjar Wibawanun sempat menyebutkan serikat pekerja tak beretika karena melaporkan masalah ini. Andjar menyatakan kasus tersebut sudah selesai setelah pemberian sanksi administratif kepada panitia lelang.
Menurut salah satu petinggi Pelita, lantaran tak mau kecolongan, direksi memilih "mengebiri" orang-orang serikat pekerja yang dinilai vokal. Apalagi muncul kabar Kejaksaan telah menghentikan penanganan kasus tersebut. Kabar ini berembus kencang di kantor Pelita sebulan sebelum pemilihan ketua serikat pekerja.
Kartono memang "terlempar" dari kursi ketua serikat pekerja. Ia dikalahkan Asisten Manajer Pelita Training Center Lilik Pramono, yang mendapat dukungan direksi. Kepada Tempo, Corporate Secretary Pelita Air Benny Respati membantah rumor kekalahan Kartono karena adanya intervensi direksi. "Yang dimaksud intervensi itu seperti apa?" katanya.
PERSELISIHAN antara direksi dan Serikat Pekerja Pelita, yang dipimpin Kartono, berkembang setahun terakhir. Pemicunya laporan dugaan korupsi lelang suku cadang helikopter Puma dan Super Puma ke Kejaksaan Agung.
Penjualan suku cadang Puma dan Super Puma milik anak perusahaan Pertamina ini berawal dari usul direksi kepada komisaris Pelita Air pada Juni 2013. Alasannya, Pelita tak lagi mengoperasikan helikopter tersebut. Satu helikopter terakhir yang mereka miliki kandas saat uji coba pada 2009 di Pondok Cabe, Tangerang. Alasan lainnya, adanya suku cadang membebani perusahaan karena harus dijaga dan dirawat. Selain itu, gudang tempat suku cadang bakal dipakai untuk keperluan lain.
Serikat pekerja Pelita Air mencium ada hal lain di balik usul itu. Indikasinya, dari 4.609 suku cadang, hanya 634 yang diusulkan untuk dilelang. Penilaian harga suku cadang juga dinilai dilakukan tanpa dasar yang jelas.
Dalam surat ke komisaris perusahaan yang salinannya diperoleh Tempo, direksi hanya menyatakan harga jual suku cadang adalah 25 persen dari harga beli. Padahal pasal 28 peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara tentang pelepasan aset BUMN menyatakan penetapan harga jual harus melalui tim penaksir atau menggunakan jasa perusahaan penilai. "Ini tidak ada audit penaksiran, tiba-tiba muncul harga US$ 257 ribu," ujar petinggi Pelita itu.
Panitia lelang yang dipimpin Corporate Secretary Pelita Air saat itu, Uud Udayana, juga sudah menawarkan barang tersebut sebelum keluar izin komisaris perusahaan. Dalam dokumen tercatat penawaran dikirim sejak awal Juni 2013, padahal surat permohonan pelepasan aset baru dikirim ke komisaris pada 25 Juni 2013.
Sejumlah kejanggalan perihal harga penawaran juga muncul. Misalnya, awalnya Pelita menawarkan suku cadang itu dengan harga US$ 315 ribu kepada PT Pandji Buana Luhur dan PT Aero Pro International. Belakangan, angka itu diturunkan menjadi US$ 257 ribu. Kemudian harga ini naik lagi menjadi US$ 292 ribu. Perubahan harga terjadi setelah lelang dimenangi perusahaan asal Malaysia, PT Solid Potential Sendirian Berhad, dengan penawaran US$ 305 ribu.
Menurut dokumen yang dimiliki Tempo, jual-beli itu diteken antara Andjar dan PT Luxury Mahatunggal Indonesia, yang diwakili direktur utamanya, Dini Hari Usman. Padahal Luxury tidak terdaftar sebagai perusahaan peserta lelang. Pelita beralasan Luxury mendapatkan kuasa (power of attorney) dari Solid Potential. Kemudian diketahui tak ada surat kuasa untuk menandatangani kontrak jual-beli tersebut. "Yang ada surat penunjukan Luxury sebagai agen Solid Potential untuk menjual suku cadang pesawat," kata sang sumber.
Serikat pekerja juga menemukan ternyata pihak pembeli sudah melunasi pembayaran sebelum kontrak ditandatangani pada 19 Juli 2013. Sebelum kontrak keluar, pemenang lelang itu sudah mengambil suku cadang dari gudang di Pondok Cabe. Pengambilan dilakukan pada malam hari dan ternyata yang diambil semua barang yang ada di gudang—bukan hanya yang dilelang. Sumber Tempo, seorang petugas di Pondok Cabe, menyebutkan ada 5 kotak special tools dan 3.975 suku cadang yang diangkut. "Bahkan ada yang melihat mesin pesawat Cessna juga ikut diangkut," katanya. Petinggi Pelita yang diwawancarai Tempo menilai, dilihat dari jumlah item yang diangkut, total harganya mencapai hampir Rp 20 miliar.
Lelang yang dinilai penuh keanehan itu pun mengguncang kantor Pelita. Direksi kemudian memerintahkan audit internal. Dokumen audit menuliskan memang ada barang lain yang diangkut. Markas Pelita semakin gonjang-ganjing ketika kemudian diketahui semua anggota panitia lelang menerima "setoran" dari Luxury.
Sebagai ketua panitia lelang, Uud mengaku menerima US$ 25 ribu dari Luxury, yang dibaginya ke empat anggota tim lelang lain. Sejumlah pegawai Pelita Air yang tak menjadi panitia lelang juga menerima aliran dana ini. Besarnya US$ 5.000 hingga Rp 500 ribu. Total penerimanya 13 orang. Namun hasil audit ini hanya berhenti pada sanksi administratif yang dijatuhkan Anjar kepada Uud dan kawan-kawan. Uud dan wakilnya, Ibnu Kadir, dipecat dari Pelita, sementara yang lain diturunkan golongannya. Pelita juga meminta kembali lima kotak special tools yang "terangkut" Luxury. Adapun 3.975 suku cadang yang ikut diangkut tak ada kabarnya.
Tak puas dengan hukuman tersebut, serikat pekerja kemudian melaporkan hasil audit kasus ini ke Kejaksaan Agung. Mereka menilai kasus ini sebagai korupsi dan ada upaya untuk menutupi otak pelakunya. Para pekerja juga menganggap hukuman yang diberikan sebenarnya tak serius karena para terhukum belakangan, setelah dihukum, malah mendapat promosi jabatan. Uud yang dipecat pun juga mendapat pesangon dan hak pensiun normal.
Kejaksaan kemudian "memegang" kasus ini. Sejak Mei lalu, sejumlah petinggi Pelita diperiksa, termasuk yang ikut dipanggil pihak Luxury. Petinggi Pelita itu mengatakan, setelah masuk ke Kejaksaan, Andjar mengontak Luxury, meminta 3.975 suku cadang mereka dikembalikan. Namun pihak Luxury menolak.
Kepada Tempo yang meminta konfirmasi atas kasus ini, Asisten Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung Sarjono Turin membenarkan kabar bahwa pihaknya menyelidiki perkara tersebut. Namun, kata dia, penyidik tak menemukan adanya pelanggaran hukum. "Karena kelebihan suku cadang yang terjual itu sudah dikembalikan," ucap Sarjono, Jumat pekan lalu. Perihal adanya suap dan gratifikasi kepada panitia lelang, Sarjono menyatakan tak tahu. Penyidik, menurut dia, hanya menemukan bukti aliran dana dari Luxury untuk membayar biaya angkut. "Itu cuma biaya kuli."
Corporate Secretary Pelita Air Benny Respati menyatakan masalah ini sudah selesai setelah Luxury mengembalikan suku cadang yang bukan haknya tersebut ke Pelita pada Juli lalu. "Sudah masuk ke gudang dan disegel Kejaksaan," katanya. Saat Tempo meminta izin melihat isi berita acara pengembalian, Benny menolak karena, menurut dia, harus seizin Kejaksaan. Ia juga menolak ketika Tempo meminta izin melongok isi gudang. Kepada Tempo, sebelumnya, sumber lain, seorang pejabat Pelita, menyatakan sebenarnya tak ada pengembalian tersebut.
Pihak Luxury tak bisa dimintai konfirmasi. Tertera beralamat di Jalan RS Fatmawati Blok B Kaveling 17, Jakarta Selatan, dalam dokumen kontrak jual-beli dengan Pelita, kantor perusahaan ini tak ditemukan. Di deretan ruko di kompleks itu tak ada nama Luxury. Seorang petugas keamanan menyatakan tak pernah mendengar nama tersebut. "Saya lima tahun bekerja di sini. Tidak pernah dengar ada perusahaan bernama Luxury," katanya.
Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo