NASIB pembantu rumah tangga hampir selalu buntung. Inilah yang dialami Sartinem, 17 tahun. Sejak Juni lalu, dengan upah Rp 20.000 sebulan, ia bekerja di rumah Tekmin, pemilik toko emas di Desa Dwi Warga Tunggal Jaya, Kecamatan Menggala, Lampung Utara. Baru dua pekan bekerja, majikannya menuduh Sartinem mencuri emas. Di pagi akhir Juni lalu, toko tersebut ditunggui Moyin, istri Tekmin, bersama anaknya, Lusiana. Setelah Sartinem datang, satu rak berisi 200 gram emas lenyap. Karena tidak ketemu dicari di seputar ruang toko, lalu mereka menuduh Sartinem yang mengambilnya. ''Saya suruh datang ke toko pukul 10, tapi dia datang pukul 9. Jadi, dialah yang kami curigai,'' kata Moyin. Malamnya Sartinem diinterogasi Tekmin. Ahmad, tukang sepuh emas, tetangga Tekmin yang hadir malam itu, melihat muka Sartinem sudah memar dan bengkak seperti kena embat. Walau terus didesak, Sartinem tetap menyangkal. ''Demi Allah, saya tidak mengambilnya,'' katanya. Beberapa hari kemudian Ahmad pula yang dituduh. ''Kata Tekmin, Sartinem mengaku mengambil emas itu lalu diberikannya kepada saya,'' ujar Ahmad. Karena Ahmad membantah, kemudian Tekmin mengadu pada saudaranya yang bertugas di Kodim Lampung Utara. Ahmad diangkut, dan tiga hari diinterogasi di Kodim. Karena tak ada bukti, akhirnya ia dilepas lagi. Setelah gagal menuduh Ahmad, ibu Sartinem, Tuginah, dipanggil dan diminta mengganti emas yang raib itu. ''Saya tidak mampu,'' jawab petani miskin itu. Sejak itu Sartinem diperlakukan kayak sandera, tidak boleh keluar rumah dan dilarang dijenguk. Sore awal Agustus lalu, Moyin kembali menginterogasi Sartinem. Tapi jebolan kelas V SD itu bungkam, dan naik ke kamarnya di loteng rumah Tekmin. Pukul 10 malam, Moyin ke kamarnya, dan menemukan Sartinem sekarat. Tubuhnya kaku. Dari hidung dan mulutnya keluar busa. Sartinem segera dibawa ke rumah sakit di Tanjungkarang, 120 kilometer dari Desa Dwi Warga. Tapi nyawanya sudah tidak tertolong lagi. Dari hasil pemeriksaan, katanya, Sartinem tewas minum potas. Sartinem dipaksa minum racun tikus itu? ''Kalau benar kami melakukannya, tentu kami bukan manusia lagi,'' kata Moyin kepada Kolam Pandia dari TEMPO. Menerima kabar Sartinem meninggal, kedua orang tuanya berang. ''Waktu berangkatnya sehat, kenapa sekarang meninggal,'' teriak Tuginah. Ia curiga kematian anaknya itu tak wajar. Tapi ketika Tekmin menyodorkan surat pernyataan tak akan menuntut, dengan pasrah Tuginah yang buta huruf itu membubuhkan cap jempol. Ternyata yang tidak rela melihat kematian Sartinem justru warga di sekitar rumah Tekmin. Menurut mereka, Sartinem tewas dianiaya keluarga Tekmin. Dan mayatnya baru diserahkan kepada keluarganya setelah dua hari ia tewas. Meninggal Selasa malam, jenazah Sartinem dikuburkan keluarganya pada hari Jumat. ''Kalau ia bunuh diri, itu pun karena tak tahan menerima perlakuan keluarga Tekmin,'' ujar seorang warga Dwi Warga. Rumah Tekmin nyaris diamuk massa seandainya tidak cepat dicegah oleh Kepala Polsek Menggala, Sersan Sobiran Ansyori. Kasus ini merebak ketika ketua RT di lingkungan Tekmin membeberkan kejanggalan kematian Sartinem di koran Lampung Post. Kapolwil akhirnya memerintahkan aparatnya untuk mengusut. Kini kasus tersebut sedang ditangani Polsek Menggala. Kecuali saksi, hingga pekan lalu keluarga Tekmin belum ada yang diperiksa polisi. Ternyata, tewasnya Sartinem dan perkara emas yang hilang itu tak pernah dilaporkan Tekmin ke Polsek Menggala. Sebelum Sartinem bekerja di rumah Tekmin, menurut Ahmad, toko itu sering kehilangan emas. Dan yang mengambilnya selalu ketahuan, yakni Anyan, anaknya. Menurut ibunya, Moyin, ''Anyan suka ke diskotek dan sering minggat. Sudah seminggu ini ayahnya mencari Anyan yang kini kabur ke Jawa. Ia memang badung.'' Bambang Sujatmoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini