DI negeri tropis ini urusan mudah sekali bermuara di ujung pisau. Kali ini Petrus Un, 17 tahun, jadi korbannya. Warga Desa Numponi, Atambua, Timor Timur, itu jebolan kelas III SD. Suatu sore April lalu ia memotong rumput di huma. Ia dibekuk dari belakang oleh Martinus Asa Bau, 29 tahun. Kejadian begitu cepat, tahu-tahu Martinus menoreh buah kelamin Petrus. ''Awas, kalau kau bilang. Mati kau,'' ancam Martinus. Tapi Petrus memekik. Sebelum pingsan, ia mendengar Martinus memaki, ''Kau rampas air kami, ya.'' Di rumahnya, keluarga Petrus gelisah. Semalaman ia tidak pulang. Rupanya, Petrus pingsan sampai pagi. Ia ditemukan tak jauh dari tempat kejadian di Kreana, desa tetangga. Kondisinya lemah, badannya panas. Tiga hari Petrus panas meski sudah diberi obat. Dari tubuhnya tercium bau busuk. Kepada orang tuanya ia tak mau cerita apa-apa. Petrus dibawa ke Balai Pengobatan Halilulik. Petugas menyarankan dibawa ke rumah sakit di Atambua. Dalam perjalanan sekitar 65 km itu, ketika si anak dipaksa membuka celana, orang tuanya kaget melihat scrotum, atau kantong kelamin, anaknya itu melorot. ''Waktu itu, saya kira ususnya keluar,'' kata Andreas, ayahnya. Namun, Petrus tetap bungkam. Juga pada Dokter Eko Junaedi di RS Atambua. Itu sebabnya ia didiagnosa terkena penyakit Koro, sejenis penyakit gangguan jiwa. Jika kumat, penderita mengalami ketakutan luar biasa, yang berakhir dengan merusak alat kelaminnya sendiri. Beberapa waktu lalu, kasus serupa terjadi pada seorang pasien di rumah sakit itu. Setelah sembuh, Petrus bercerita. ''Saya tak habis pikir, Martinus kan masih keluarga,'' kata Andreas kepada Putu Wirata dari TEMPO. Andreas yakin, Martinus berbuat begitu karena beberapa waktu lalu seorang keponakan perempuannya diremas- remas kelaminnya oleh Petrus. ''Masuk akal dia mengebiri keponakan saya,'' kata Mathias M. Marok, paman Petrus. Kesumat Martinus boleh jadi juga berkaitan dengan kasus bak air di desa itu. Seminggu sebelumnya, beberapa anak melempari bak air itu dengan tongkol jagung, serpihan kayu, dan benda- benda lain. Petrus tak ikut-ikutan. Kejadian ini dilihat Martinus, hingga bocah-bocah itu dicerca. Dan para ibu, termasuk istri Andreas, membela anak-anak mereka. Setelah mendengar pengakuan Petrus, Andreas mengadu pada kepala desa. Lalu urusan ini diteruskan ke Polisi Sektor (Polsek) Boas. Ternyata Polsek Boas mengembalikan laporan ini ke Desa Numponi. Alasannya, kejadian itu di Desa Kreana di lingkungan Polsek Kuaputu. Oleh pihak Polsek Kuaputu, Andreas dan Martinus dipanggil. Di situ polisi menyarankan mereka berdamai saja. Sebab kasus ini sulit diteruskan karena tak ada barang bukti dan saksi. Tapi, Andreas tidak putus asa. ''Saya awam hukum, tapi ini kan kasus pidana. Korban sendiri apakah tidak bisa menjadi saksi,'' katanya. Kabarnya, Martinus menyangkal mengebiri. ''Kamu potong sendiri barangmu, orang lain yang kamu tuduh,'' katanya. Martinus belum bisa ditemui karena sedang tidak ada di rumah. Empat bulan kasus ini mengendap. Dan akhir Agustus lalu, Andreas mengirim pengaduan ke Kapolda Nusa Tenggara di Denpasar. ''Dalam kasus ini, saya langsung katakan harus diproses,'' kata Mayor Jenderal Amrin Syahrofi, Kapolda Nusa Tenggara, kepada Putu Fajar Arcana dari TEMPO. Kini Petrus mengaku tidak takut lagi pada Martinus. Juga, kelaminnya kembali normal. ''Tak ada kelainan, tetap seperti dulu,'' katanya sambil tertawa malu. WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini