Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Akan ke mana inflasi membawa kita

Kredit perumahan naik 51% dalam 3 bulan. gelagat ini lagi- lagi dikhawatirkan memacu laju inflasi. lalu, akankah uang ketat diterapkan kembali? atau lebih baik membenahi sektor riil saja?

18 September 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INFLASI, apakah dikau masih harus dikhawatirkan? Jawabnya, rupanya, ya. Hal itu dikiaskan sendiri oleh Presiden Soeharto, dua pekan lalu. Ia mengimbau agar aparatnya tidak membuat kebijaksanaan yang berdampak terhadap kenaikan laju inflasi. Itu pula yang rupanya membuat para pejabat akhir-akhir ini repot tak menentu. Pertamina, misalnya, tiba-tiba meralat kenaikan harga pelumas yang baru berjalan beberapa hari. Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI), Soedradjad Djiwandono, yang merasa waswas melihat perkembangan kredit ke sektor konstruksi dan real estate, segera mengingatkan kemungkinan terjadinya ekonomi yang memanas (overheated). Memang, sebelumnya para pengamat ekonomi juga beranggapan bahwa tingkat inflasi perlu diwaspadai. Lihat saja, selama delapan bulan, sampai akhir Agustus, tingkat inflasi sudah mendekati 8%. Dan jika tidak ingin melampaui laju inflasi satu digit, dalam empat bulan berikutnya inflasi harus ditekan sedikitnya 0,5% per bulan. Tapi, dapatkah? Agaknya sulit. Soalnya, kenaikan harga gabah pada bulan Oktober, serta Natal dan Tahun Baru, akan memacu angka inflasi. Karena itulah, sekalipun sudah dikendalikan, tingkat inflasi diramalkan akan merayap terus. Di samping itu, adanya pengenduran moneter, yang tampak dari peningkatan kredit, diperkirakan juga akan melecut laju inflasi. Hingga semester I tahun ini, jumlah kredit yang disalurkan bank mencapai Rp 7,4 triliun, jauh di atas perkiraan Pemerintah. Paling mencolok adalah penyaluran kredit ke sektor konstruksi, yang dalam waktu tiga bulan (April-Juni) menunjukkan kenaikan 51% lebih, menjadi Rp 3,6 triliun. Kenaikan kredit di sektor konstruksi itu sudah tercermin dalam angka inflasi. Inflasi bulan Agustus (0,32%), misalnya, ternyata 1,3% disumbang dari kenaikan di sektor perumahan (bandingkan dengan makanan yang minus 1,02%). Kenaikan itu agaknya tak diharapkan bisa ditekan pada waktu-waktu mendatang. Selain ada kenaikan permintaan akan bahan bangunan, bank-bank juga getol mengalirkan kelebihan likuiditasnya ke sektor konstruksi. Memang, sudah lama perbankan dikabarkan ''menderita'' kelebihan likuiditas. Menurut presiden komisaris sebuah bank swasta, kelebihan likuiditas itu terjadi karena pelonggaran likuiditas secara serentak. Akibat diturunkannya bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), sepanjang April-Juni, ada dana menganggur tak kurang dari Rp 6 triliun. ''Dana ini mau kita kemanakan? Yang paling cepat menyerap dan berisiko rendah, ya sektor perumahan,'' katanya. Indikasi itu bisa dilihat dari jumlah kredit perumahan yang disalurkan bank-bank swasta. Bank Bali, misalnya, tahun ini akan menyalurkan kredit perumahan (KPR) Rp 60 miliar. Adapun Lippobank, menurut Deputy President Eddy Handoko, telah menganggarkan 10% kreditnya untuk pembiyaaan sektor konsumsi. Juga BII, yang memiliki dana menganggur Rp 700 miliar, sudah mencadangkan dana Rp 150 miliar bagi KPR. Langkah serupa juga diikuti oleh BCA, Lippobank, BUN, Bank Niaga, dan BDNI. Bahkan, untuk menarik para debitur, mereka tak segan-segan membanting harga. Bank Papan Sejatera, contohnya, dalam waktu yang relatif pendek, telah dua kali menurunkan suku bunga KPR menjadi 18,5%. Malah, Jaya Bank dengan berani memasang bunga 14% untuk rumah yang dibangun Jaya Group. Beberapa pengamat menafsirkan, perkembangan itu sebagai sikap bank swasta yang menganggap sektor properti lebih aman, mudah dikontrol, dan agunannya jelas. ''Selain itu, resesi dunia juga ikut mendorong penyaluran kredit ke sektor konstruksi,'' kata pengamat perbankan, Priasmoro. Ia juga menambahkan, jika nafsu bank-bank swasta ini tidak segera dikendalikan, inflasi bisa saja meloncat di atas 10% hingga akhir tahun ini. Itulah sebabnya, dalam seminar yang diselenggarakan Pusat Data Bisnis Indonesia, Selasa pekan lalu, Gubernur BI Soedrajad Djiwandono mengingatkan agar jumlah uang beredar harus segera dikendalikan. Diakuinya bahwa Paket Mei 1993 memang bertujuan membuka ruang gerak bagi sektor perbankan untuk melakukan ekspansi kredit. Tapi ditekankan oleh Soedradjad bahwa perbankan harus hati-hati. Seperti disebut pada awal tulisan ini, ia khawatir kalau-kalau ekonomi segera memanas kembali. Peringatan orang nomor satu di BI itu ada benarnya. Hanya saja, pidato Soedrajad sempat menimbulkan banyak tafsiran, terutama dari kalangan pengusaha dan bankir. ''Jangan-jangan kebijaksanaan uang ketat akan dihidupkan lagi,'' kata seorang pengusaha. Benarkah? Yang jelas, indikasi ke arah itu sudah terlihat dari kenaikan bunga SBI, yang dalam waktu dua pekan meloncat 2%. Dengan menjual SBI berbunga 9,6%, tak kurang dari Rp 700 miliar bisa disedot BI. Dampak lain bisa dilihat dari bunga pinjaman antarbank, yang naik dari rata-rata 5,57% akhir Juli menjadi 8,1%. Namun, seperti yang diakui seorang pejabat moneter, kendati Pemerintah mulai mengendalikan uang beredar, tak berarti ketat total. Katanya, sekalipun penurunan suku bunga kredit agak lamban ketimbang penurunan bunga deposito, semua ini menandakan bahwa kelonggaran moneter terus berlangsung. ''Hanya saja sekarang ini Pemerintah lebih hati-hati dalam melepas uang,'' katanya. Sebab itu, menurut pejabat tadi, kalau ada kalangan yang merasa situasi moneter masih ketat, itu karena memang pasokan kredit dari bank masih seret. Bank-bank saat ini masih menghadapi beberapa masalah. Selain harus menghadapi kredit macet, mereka juga harus memenuhi persyaratan rasio modal dan aset tertimbang menurut risiko (CAR), rasio pinjaman dan deposito (loan to deposit ratio), serta merosotnya keuangan para nasabah. Belum jelas benar, apakah pengetatan yang menciutkan peredaran uang itu juga akan mampu menjinakkan inflasi. ''Tapi kalau uang beredar berkurang, biasanya harga akan turun,'' kata Kepala Biro Harga dan Keuangan Biro Pusat Statistik, Susilo. Namun, kalau Pemerintah berniat menekan inflasi, kata seorang bankir, penguasa moneter harus mengetahui sejauh mana pertumbuhan ekonomi bisa dianggap panas atau belum. Pengetatan likuiditas seperti yang dilakukan BI tahun-tahun sebelumnya, kata bankir lainnya, bersifat tidak pandang bulu, hingga setiap sektor ekonomi terkena. Padahal, sasarannya terbatas hanya pada pengendalian kredit konsumsi dan spekulasi real estate. Karena itu, ia mengusulkan, bila Pemerintah ingin menekan inflasi, pengetatan itu hanya dilakukan terbatas pada sektor properti seperti apartemen, gedung perkantoran, dan perhotelan. ''Kecuali perumahan, unsur spekulasi ketiga sektor tadi cukup besar,'' katanya. Sampai sekarang memang belum ada senjata pemungkas untuk menekan laju inflasi. Menurut Vice President BII, Hidajat Tjandradjaja, pengendalian inflasi lewat instrumen SBI hanya tepat untuk jangka pendek. Karena itu, ia menganggap bahwa penyelesaian yang paling efektif adalah yang berjangka panjang, ''Dan itu bisa berjalan jika sektor riil juga dibenahi,'' Hidajat menambahkan. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Priasmoro. Katanya, untuk mengerem ekonomi panas, otoritas moneter harus memaksa bank-bank melakukan diversifikasi kredit. Dengan alasan yang cukup realistis, Priasmoro beranggapan bahwa tindakan itu akan lebih berhasil mencapai sasaran bila diversifikasi kredit dilakukan ke sektor yang produktif. Bambang Aji dan Indrawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus