Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEDATANGAN tiga pria tak dikenal di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mojokerto pada Sabtu dinihari tiga pekan lalu membuat Dwi Edwin Endra Praja terkesiap. Anggota Komisi Pembangunan DPRD Mojokerto ini terkaget-kaget sewaktu ketiga orang itu mengenalkan diri sebagai anggota tim penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi. "Tenang saja, tidak ada apa-apa," kata seorang petugas KPK, seperti ditirukan Dwi ketika menceritakan kejadian itu pada Rabu dua pekan lalu.
Pada dinihari ke-22 Ramadan itu, Edwin masih di kantor. Ia baru selesai menghadiri rapat dengar pendapat DPRD dengan Pemerintah Kota Mojokerto. Rapat itu membahas rencana pembangunan kampus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) di Kota Mojokerto, Jawa Timur. Rapat berlangsung Jumat malam, mulai pukul 21.00 hingga pukul 24.00. Sekitar pukul 01.00, ketika tim KPK datang, pimpinan dan anggota lintas komisi DPRD lainnya sudah pulang.
Kepada Edwin, petugas KPK tadi menjelaskan bahwa tim mereka baru saja menangkap enam orang. Tiga di antaranya pemimpin DPRD Kota Mojokerto. Mereka mendatangi gedung DPRD untuk menyegel ruangan pimpinan Dewan di lantai dua dan ruang Komisi Pendidikan di lantai dasar.
Pemimpin DPRD yang diciduk adalah sang ketua, Purnomo, serta dua wakilnya, Abdullah Fanani dan Umar Faruq. Purnomo adalah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fanani politikus dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Umar dari Fraksi Partai Amanat Nasional. Adapun tiga orang lainnya yang ditangkap KPK adalah Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Wiwied Febriyanto serta dua konsultan proyek berinisial "H" dan "T".
Purnomo, Umar, dan "H" dicokok di depan kantor Dewan Pimpinan Daerah Partai Amanat Nasional Kota Mojokerto, Jalan Kiai Haji Mas Mansyur Nomor 13. Sedangkan Wiwied, Fanani, dan "T" diciduk di kediaman masing-masing.
Dalam operasi tangkap tangan itu, tim KPK menyita uang Rp 470 juta. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan duit itu diduga merupakan "pelicin" agar pimpinan DPRD mengalihkan peruntukan anggaran sebesar Rp 13 miliar. Semula, menurut Basaria, anggaran tersebut untuk membangun kampus Politeknik. Belakangan, anggaran dibelokkan untuk program penataan lingkungan. "Itu untuk tawar-menawar. Akhirnya diberikan fee Rp 500 juta," ujar Basaria.
Berdasarkan penelusuran KPK, uang Rp 300 juta merupakan pemberian tahap kedua. Sedangkan uang Rp 170 juta bagian dari setoran rutin per tiga bulan untuk DPRD. Namun, kepada penyidik KPK, Purnomo mengaku uang Rp 300 juta itu merupakan setoran pertama dari Dinas Pekerjaan Umum. "Setoran triwulan masih didalami lagi," kata Basaria.
Sepekan sebelumnya, Wiwied menyerahkan uang Rp 150 juta kepada tiga pemimpin DPRD sebagai setoran tahap pertama. "Ada selisih Rp 50 juta dari nilai komitmen. Itu dianggap diskon," ucap seorang penegak hukum di KPK.
Komisi antikorupsi telah menetapkan Purnomo, Fanani, dan Umar sebagai tersangka penerima suap. Mereka dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Ancaman hukuman untuk mereka 4-20 tahun penjara. Adapun Wiwied disangka sebagai pemberi suap. Ia dijaring dengan Pasal 5 ayat 1 atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Pasal 55 ayat 1 KUHP. Ancaman hukumannya 1-5 tahun penjara. Sedangkan dua konsultan proyek, "T" dan "H", akhirnya dibebaskan.
RAPAT dengar pendapat pada Jumat malam itu mengundang semua pemimpin dan anggota DPRD Kota Mojokerto. Padahal agendanya hanya membahas rencana pembangunan kampus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya di Kota Mojokerto. "Tapi tidak semua anggota datang," ujar Dwi Edwin. Menurut anggota Fraksi Gerindra ini, yang paling berkepentingan dengan rapat itu adalah Komisi Pendidikan dan Komisi Pembangunan DPRD bersama Dinas Pendidikan, Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta Badan Perencanaan Pembangunan Kota Mojokerto.
Sejak diusulkan Pemerintah Kota dua tahun lalu, menurut Dwi Edwin, pembahasan rencana pembangunan kampus PENS selalu alot. Pasalnya, Pemerintah Kota dan DPRD punya pandangan berbeda. Pemerintah Kota semula hendak menghibahkan lahan seluas empat hektare di Dusun Balongcangkring, Kelurahan Pulorejo, Kecamatan Prajuritkulon. Lahan berupa kebun tebu itu berada di belakang Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Mojokerto di Jalan Pendidikan Nomor 39.
Sebaliknya, DPRD tak setuju Pemerintah Kota menghibahkan aset lahan kampus kepada manajemen kampus PENS. Dewan menginginkan Pemerintah Kota membeli lahan baru. Alasan resminya, menurut Dewan, aset Pemerintah Kota saat ini masih terbatas. Tapi, di balik itu, diduga ada kepentingan lain. Selama ini tanah yang akan dihibahkan disewakan kepada masyarakat untuk digarap. Nah, menurut seorang pejabat Pemerintah Kota Mojokerto, lahan itu disewa keluarga salah seorang pemimpin DPRD.
Di samping terganjal persoalan lahan, menurut Dwi Edwin, izin pendirian kampus Politeknik pun belum keluar. Namun, pada 2016, DPRD dan Pemerintah Kota telah menganggarkan dana Rp 7,4 miliar untuk perencanaan dan pembangunan kampus tersebut. "Dananya hanya terpakai untuk perencanaan," ucap Dwi Edwin. Meleset pada tahun sebelumnya, tahun ini Pemerintah Kota dan DPRD malah menaikkan anggaran pembangunan kampus PENS menjadi Rp 13 miliar.
Seorang anggota DPRD yang mengikuti pembahasan anggaran menuturkan, sejak awal dana pembangunan Politeknik dirancang untuk bahan bancakan pimpinan dan anggota Dewan. Skenarionya, setelah dinaikkan jumlahnya hingga dua kali lipat, anggaran pembangunan kampus sebesar Rp 13 miliar itu akan dialihkan untuk program penataan lingkungan. Pengalihan akan dilakukan dalam perubahan anggaran, pada Juli atau Agustus tahun ini. "Setelah dinaikkan, kemudian dialihkan agar bisa dibagi-bagi," ujar anggota legislatif yang tak mau disebutkan namanya ini.
Skenario itu mulai berjalan di tengah perdebatan DPRD dan Pemerintah Kota soal hibah atau pembelian lahan kampus. Dalam sebuah rapat, seorang anggota Komisi Pendidikan DPRD tiba-tiba mengusulkan pembangunan kampus Politeknik itu dibatalkan. Usul itu segera mendapat dukungan dari sejumlah anggota dan pemimpin DPRD. Menurut sejumlah koleganya, anggota Komisi Pendidikan DPRD yang menolak pembangun kampus Politeknik itu merupakan kerabat Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Wiwied Febriyanto.
Tim penindakan KPK sempat menciduk si anggota Komisi Pendidikan sebelum mencokok tiga pemimpin DPRD. Tim penyidik juga sempat memeriksa ruangan anggota Komisi Pendidikan itu. "Dia mengakui sebagai perancang, tapi tidak sampai menerima uang," kata petugas KPK yang tak mau disebutkan namanya. "Karena itu, dia dilepas lagi."
Sekretaris Daerah Kota Mojokerto Mas Agoes Nirbito Moenasi Wasono mengatakan inisiatif pembangunan kampus PENS datang dari pihak eksekutif. "Pak Wali Kota ingin ada kampus negeri di Kota Mojokerto, meniru Kota Madiun yang punya politeknik negeri," ucapnya. Namun Agoes mengaku tak tahu rencana pengalihan anggaran pembangunan kampus menjadi program penataan lingkungan. "Sampai detik ini kami menganggap pembangunan PENS dalam proses," kata Agoes.
Setelah KPK menangkap anak buahnya, Wali Kota Mojokerto Mas'ud Yunus irit bicara. Padahal Mas'ud biasanya kerap berbincang akrab dengan wartawan. "Kami serahkan proses hukumnya kepada KPK," ujar Mas'ud.
Direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya Zainal Arifin mengatakan, sejak 2015, lembaganya bekerja sama dengan Pemerintah Kota Mojokerto untuk pembukaan Program Studi di Luar Kampus Utama. Kesepakatan itu diwujudkan dalam piagam yang diteken pada 24 Mei lalu. "Pendaftaran mahasiswa baru tahun depan," kata Zainal. Namun Zainal mengaku tak tahu ihwal penganggaran pembangunan kampus baru PENS di Mojokerto. "Itu urusan pemerintah kota," ujarnya.
Linda Trianita, Ishomuddin (Mojokerto), Nur Hadi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo