Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KARDUS itu sudah kosong sewaktu tim Komisi Pemberantasan Korupsi tiba di rumah pribadi Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, Selasa dua pekan lalu. Padahal, tiga puluh menit sebelumnya, tim KPK masih memantau pergerakan kotak kertas HVS ukuran A4 berisi uang itu.
Lily Martiani Maddari, istri Gubernur yang berada di rumah, terus mengelak ketika tim KPK bertanya ke mana uang dalam kardus berpindah. Tim lantas menyisir setiap sudut kediaman Ridwan di Jalan Hibrida, Gading Cempaka, Kota Bengkulu, itu. "Kami menemukan uang di dalam brankas," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang, Rabu dua pekan lalu. "Jumlahnya Rp 1 miliar dalam pecahan Rp 100 ribu."
Uang tersebut ditengarai berasal dari Direktur PT Statika Mitra Sarana, Jhoni Wijaya, sebagai tanda "terima kasih" karena perusahaannya mendapat proyek. Tim KPK sudah memantau gerak-gerik Jhoni yang bermalam di sebuah hotel di Bengkulu sejak pagi itu.
Setelah sarapan, Jhoni pergi ke kantor PT Rico Putra Selatan di Jalan Bakti Husada. Di sana, menurut Saut, Jhoni menitipkan kardus berisi uang kepada Rico Dian Sari, pemilik perusahaan tersebut. Setelah mengantar uang, Jhoni kembali ke hotel. Tim KPK berbagi tugas. Satu tim membuntuti Jhoni, yang lainnya mengikuti Rico.
Sekitar pukul 09.00, Rico bertandang ke rumah Ridwan Mukti. "Tim melihat Rico membawa masuk kardus HVS A4 itu," ujar seorang penegak hukum. "Kardus itu sama dengan milik Jhoni." Tiga puluh menit kemudian, Rico berpamitan. Selang sepuluh menit, Ridwan keluar dari rumah menuju kantornya. Lagi-lagi tim KPK dipecah. Ada yang membayangi Rico, ada yang menguntit Ridwan.
Tim KPK menangkap Rico dalam perjalanan dari rumah Gubernur. Kemudian mereka membawa Rico kembali ke rumah Ridwan. Lily, yang berada di rumah, panik ketika tim KPK tiba. Sempat menyangkal menyembunyikan uang, Lily akhirnya pasrah ketika KPK membuka brankas di kamar tidur. Tim KPK lantas menggelandang Lily dan Rico ke kantor Kepolisian Daerah Bengkulu.
Jhoni "menyusul" ke Polda Bengkulu setelah tim KPK menangkap dia di hotel. Di kamar Jhoni, petugas KPK menemukan uang Rp 260 juta dalam pecahan Rp 100 ribu dan Rp 50 ribu. Uang itu disimpan dalam ransel.
Sewaktu rumahnya digeledah, Ridwan Mukti sedang memimpin rapat dengan Bupati Bengkulu Utara Mian di Ruang Raflesia, lantai dua kantor Gubernur. Di tengah rapat, Ridwan mendadak meminta pelaksana tugas Sekretaris Daerah Bengkulu, Gotri Suyanto, menggantikannya memimpin rapat. "Dia izin tidak bisa meneruskan rapat," kata Gotri. "Tapi tidak bilang ke mana."
Seorang penegak hukum mengatakan tim KPK tadinya akan menangkap Ridwan Mukti di kantornya. Namun Ridwan lebih cepat menyusul istrinya ke kantor Polda Bengkulu. "Sepertinya ada yang lapor ketika tim menangkap istrinya," ucap sumber ini.
Diterbangkan selepas tengah hari dari Bengkulu, sekitar pukul 16.00, Ridwan, sang istri, dan dua pengusaha itu tiba di gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan. Komisi antikorupsi mengumumkan status mereka keesokan harinya. Sementara Jhoni dan Rico menjadi tersangka pemberi suap, Ridwan tersangka penerima suap. Adapun Lily disangka sebagai perantara suap. Penyidik KPK, kata si penegak hukum, terus menelisik apa persisnya peran istri sang Gubernur.
JALAN provinsi yang menghubungkan Kecamatan Tes dengan Kecamatan Muara Aman, Bengkulu, rusak di banyak tempat. Permukaan jalan bergelombang. Lubang menganga di mana-mana. Di beberapa titik, aspal jalan bahkan sudah lumat oleh tanah.
Awal Maret lalu, pemerintah Bengkulu membuka lelang perbaikan jalan sepanjang 23 kilometer itu dengan pagu Rp 39,9 miliar. Sebanyak 49 perusahaan mendaftar. Akhir bulan itu, pemerintah Bengkulu memenangkan PT Statika Mitra Sarana, milik Jhoni Wijaya. Perusahaan ini memasang harga Rp 37 miliar.
PT Statika juga memenangi lelang perbaikan jalan di tempat lain, yakni Jalan Kecamatan Curup-Air Dingin. Menurut Kepala Unit Pelayanan Lelang Bengkulu Kusnadi, proyek kedua nilainya Rp 16,8 miliar.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menerangkan, suap untuk Gubernur Ridwan Mukti yang melibatkan istrinya diduga berkaitan dengan kedua proyek tersebut. Uang Rp 1 miliar yang telah disetorkan merupakan bagian dari janji suap Rp 4,7 miliar--sepuluh persen dari total nilai proyek setelah dipotong pajak.
Penyidik KPK juga menyelidiki kemungkinan adanya aliran uang dari pengusaha lain. Sebab, Rico Dian Sari, yang menjadi perantara suap, hari itu juga mengerjakan beberapa proyek di Bengkulu. Berdasarkan catatan Unit Pelayanan Lelang Provinsi Bengkulu, PT Rico Putra Selatan mengerjakan tiga proyek yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2017. Antara lain, proyek pembangunan Simpang Padang Guci-Air Kering-Padang Leban senilai Rp 10 miliar. Proyek berikutnya adalah pengerjaan Simpang Kedurang-Keban Agung-Batu Ampar sebesar Rp 28 miliar. Terakhir, proyek peningkatan Jalan Kelutum-Simpang Pino senilai Rp 30 miliar.
Menurut penegak hukum lain di KPK, Jhoni bukan tanpa alasan meminta bantuan Rico menyerahkan uang kepada Ridwan. Rico merupakan Bendahara Dewan Pimpinan Daerah Golkar Bengkulu. Sedangkan Ridwan adalah Ketua DPD Golkar. Adapun Lily anggota Fraksi Golkar Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Selatan pada 2009-2014.
Lily bukan pertama kali tersangkut kasus dugaan korupsi. Ketika duduk di kursi DPRD, pada 2013, ia terseret kasus dugaan penggelapan dana hibah anggaran Provinsi Sumatera Selatan. Perkara dengan taksiran kerugian negara sekitar Rp 2,1 triliun itu diusut Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan. Bersama 60 anggota DPRD lainnya, Lily pernah diperiksa Kejaksaan seputar penganggaran dana hibah tersebut.
Dalam perkara suap di Bengkulu, menurut si penegak hukum, Lily diduga bukan sekadar penerima atau perantara suap. Dia beberapa kali terpantau menghubungi Rico. Penyidik KPK mendapat informasi bahwa Lily meminta Rico mengumpulkan dan menyetorkan uang dari sejumlah kontraktor yang memenangi proyek di Bengkulu.
Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan penyidikan kasus ini tak akan berhenti pada penetapan empat tersangka. "Pengembangan akan terus dilakukan," ujar Febri.
Keempat tersangka mengunci mulut mereka ketika tiba di gedung KPK, Selasa sore dua pekan lalu. Diberondong pertanyaan oleh wartawan, mereka tidak menjawab apa pun.
SEJAK dilantik menjadi Gubernur Bengkulu pada Februari 2016, Ridwan Mukti berkali-kali menyatakan akan mengutamakan pembangunan irigasi dan jalan di Bengkulu. Bekas Bupati Musi Rawas ini menargetkan pembangunan jalan sepanjang 250 kilometer per tahun. Pada 2017, Pemerintah Provinsi Bengkulu melelang 68 paket pekerjaan konstruksi jalan dan irigasi senilai Rp 613 miliar.
Ridwan, yang pernah duduk sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, juga tak lupa memoles citra layaknya tokoh antikorupsi. Awal Juni lalu, misalnya, sang Gubernur mengancam akan memasukkan kontraktor nakal ke daftar hitam. Gara-garanya, Badan Pemeriksa Keuangan memberikan opini wajar dengan pengecualian atas penggunaan anggaran Bengkulu pada 2016.
Audit BPK itu mengungkap tiga masalah dalam pembangunan infrastruktur jalan dan irigasi di Bengkulu. Antara lain, BPK menemukan kekurangan pengerjaan 24 paket pembangunan jalan dan irigasi. Meski pemerintah provinsi sudah membayar Rp 4,42 miliar, realisasi pekerjaan masih jauh dari target.
Masalah lain adalah dugaan "kelebihan bayar" pekerjaan Jalan Pulau Enggano sebesar Rp 7,1 miliar oleh Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dari kelebihan itu, Pemerintah Provinsi Bengkulu baru menagih Rp 1,3 miliar. Terakhir, BPK mengungkap bahwa laporan pembangunan jalan dan irigasi pada 2016 belum ditindaklanjuti.
Menanggapi opini BPK, Ridwan menuding kontraktor nakal sebagai "biang kerok" yang tak mau mengembalikan sisa pembayaran. "Akan saya terbitkan blacklist kontraktor nakal," katanya. "Agar tak bisa mengikuti proyek lagi."
Di luar temuan BPK, menurut Saut Situmorang, KPK mencium kejanggalan tata kelola keuangan Bengkulu sejak awal tahun lalu. Karena itu, pada awal Maret lalu, Saut memimpin tim KPK bertolak ke Bengkulu. Agenda resminya: tim KPK menyaksikan Ridwan Mukti dan 108 pejabat Pemerintah Provinsi Bengkulu meneken pakta integritas antikorupsi. Pada kunjungan yang sama, tim KPK juga memantau penyusunan APBD 2017.
Pembahasan APBD, menurut Saut, molor karena pemerintah saling sandera dengan DPRD. "Kalau sudah saling sandera seperti itu, kami curiga ada yang main-main," ujar Saut. Setelah KPK turun tangan, APBD akhirnya disahkan.
Di tengah sorotan KPK, ketika berpidato menyambut penandatanganan pakta integritas, Ridwan sempat bercanda soal kebiasaan "bagi-bagi proyek" di Bengkulu. Menggunakan bahasa lokal, dia berkata, "Dulu ada pepatah yang bilang Bengkulu itu lubuknya kecil tapi buayanya banyak." Kemudian ia meneruskan, "Sekarang Bengkulu dibilang lubuknya kecil isinya buaya semua." Selasa dua pekan lalu, Ridwan Mukti dan istrinya ditangkap di "lubuk buaya" itu.
Syailendra Persada (Jakarta), Peshi Ester (Bengkulu)
Lily Martiani Maddari bukan pertama kali tersangkut kasus dugaan korupsi. Ketika duduk di kursi DPRD, pada 2013, ia terseret kasus dugaan penggelapan dana hibah anggaran Provinsi Sumatera Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo