Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Teknologi Keuangan dan Katalisator Pertumbuhan

3 Juli 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM laporan berjudul Fintech and Financial Services: Initial Considerations, yang dilansir pada awal Juni 2017, tersirat jelas bahwa Dana Moneter Internasional (IMF) agak terkejut atas pesatnya perkembangan industri teknologi keuangan secara global. Di samping melihat industri ini sebagai salah satu katalisator penting dari perekonomian dunia sejak krisis keuangan global 2009, sektor teknologi keuangan (financial technology atau fintech) dipercaya akan mengubah struktur perekonomian dunia masa depan.

Perusahaan-perusahaan fintech secara global telah menyerap jumlah investasi yang sangat besar dalam beberapa tahun terakhir. Skala dari mayoritas perusahaan-perusahaan ini memang masih relatif kecil. Meski demikian, arus investasi yang masuk ke sektor ini bertambah cepat. Secara global, investasi di perusahaan-perusahaan fintech telah meningkat dari US$ 9 miliar pada 2010 menjadi lebih dari US$ 25 miliar pada tahun lalu. Valuasi dari perusahaan-perusahaan fintech yang tercatat di NASDAQ telah mencapai sekitar enam kali lipat dari nilai valuasi pada 2009. Ini jauh melampaui kinerja valuasi dari semua sektor lain. Tak mengherankan bila perusahaan startup global terus bertambah di sektor ini.

Ekosistem fintech global telah berubah signifikan dari sejak era dotcom pada 1990-an. Saat itu fintech masih dikuasai perusahaan Internet, seperti Netscape dan Yahoo!. Sekarang banyak perusahaan Internet gulung tikar alias sudah punah. Sejak 1995, industri teknologi keuangan tumbuh dalam ekosistem baru yang disebut industri platform. Dua tahun lalu, industri platform didominasi perusahaan raksasa seperti Apple, Alphabet, Alibaba, dan Facebook. Kapitalisasi pasar dari semua perusahaan Internet pada 1995 yang bernilai US$ 17 miliar tentu saja sangat kecil bila dibandingkan dengan kapitalisasi pasar industri platform pada 2015, yang bernilai sekitar US$ 3 triliun.

Perkembangan pesat dari pengguna telepon seluler secara global, khususnya smartphone dengan akses Internet, turut mendorong terciptanya ekosistem pasar yang semakin kondusif. Pesatnya pertumbuhan akses terhadap mobile Internet ini berperan sebagai faktor perkembangan teknologi yang sangat dominan dalam menyebarkan produk jasa teknologi keuangan ke konsumen individu. Tiap ponsel pintar telah menjadi portal yang berfungsi bukan hanya sebagai jalur pemasaran produk jasa keuangan secara online, tapi juga menjadi pintu bagi investor-investor mikro menjaring crowdfunding ataupun dalam melakukan transaksi person-to-person (P2P).

Sayangnya, perkembangan fintech di Indonesia seakan-akan terlepas dari tren global. Laporan Asosiasi Fintech Indonesia menyebutkan, dari sekitar 40 perusahaan pada 2006, jumlah pemain teknologi keuangan di Indonesia bertambah menjadi sekitar 80 pada 2014. Jumlah ini kemudian meningkat menjadi sekitar 140 perusahaan selama 2015-2016. Di samping jumlahnya yang masih sedikit, nilai investasi masih sangat rendah. Menurut hitungan sederhana, jumlah investasi di sektor keuangan dan asuransi sekitar Rp 160 triliun pada 2016. Sedangkan investasi teknologi keuangan, yang berada di bawah sektor keuangan dan asuransi, hanya Rp 500 miliar.

Kendala terbesar yang dihadapi industri fintech di Indonesia saat ini adalah masih sangat rendahnya pemahaman konsumen, sangat kurangnya sumber daya manusia, dan pemerintah yang kurang visioner.

Rendahnya pemahaman konsumen terlihat dari survei informal pada 2016 yang dilakukan Asosiasi Fintech Indonesia. Karakteristik responden yang tercakup dalam survei ini antara lain mayoritas (sekitar 85 persen) berumur 20-35 tahun dan tinggal di Pulau Jawa, khususnya di perkotaan. Terlepas dari metode sampling yang cenderung bias, ada beberapa hasil indikatif yang cukup penting. Dari 1.000 responden, hanya 18 persen mengaku menggunakan jasa teknologi keuangan saat ini. Sementara itu, kurang dari 30 persen mengaku pernah mendengar istilah fintech. Dari hasil survei itu, industri fintech dapat mencontoh apa yang dilakukan industri e-commerce di Indonesia, yang bisa tumbuh sangat pesat melalui iklan yang gencar dan efektif. Tentunya biaya iklan tersebut tidak murah.

Masalah sumber daya merupakan persoalan klasik di Indonesia. Mayoritas startup fintech di Indonesia mengalami kesulitan mencari tenaga kerja di bidang analisis data, back end programmer, dan manajemen risiko. Beberapa perusahaan fintech tetap merekrut tenaga kerja yang masih kurang kompeten, lalu perusahaan tersebut menyediakan pelatihan setelah rekrutmen. Di samping butuh biaya yang relatif tinggi, sulit menjaga tenaga kerja yang telah dilatih ini tidak pindah ke perusahaan lain. Dengan karakteristik pendidikan dan pelatihan sebagai barang publik seperti ini, memang dibutuhkan peran pemerintah untuk menggenjot kualitas sumber daya manusia ini.

Kurangnya visi pemerintah di sektor ini adalah masalah yang paling krusial. Padahal industri di sektor ini membutuhkan visi dan kepemimpinan pemerintah. Harus diakui, pemerintah masih tertinggal dalam urusan manajemen perubahan. Buktinya, setiap kali muncul inovasi di pasar, reaksi pertama pemerintah adalah pendekatan regulasi. Celakanya, hal ini sering dilakukan tanpa usaha yang memadai dari pemerintah untuk mempelajari dan memahami potensi dari inovasi tersebut, termasuk dampak positif dan negatifnya. Kehadiran transportasi berbasis online, misalnya, menunjukkan fenomena ini dengan sangat jelas.

Upaya mempelajari dan memahami potensi teknologi keuangan terus dilakukan negara maju dan berkembang. Dalam sebuah konferensi internasional pada akhir 2016, misalnya, Carolyn A. Wilkins, Deputi Senior Gubernur Bank Sentral Kanada, mengatakan, "Tidak ada yang tahu apa hasil sosial dan ekonomi dari investasi ini. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana perkembangan fintech nantinya akan mengubah model bisnis atau sistem keuangan pada umumnya. Tapi kita semua sedang mencoba untuk mencari tahu." Hal senada diucapkan Hiroshi Nakaso, Deputi Gubernur Bank of Japan. Di mata Hiroshi, salah satu yang paling penting dari kehadiran inovasi yang luar biasa di bidang teknologi informasi adalah memperhitungkan bagaimana inovasi tersebut mengubah masa depan sektor keuangan dan perekonomian. Karena itu, komunikasi intens antara akademikus dan praktisi menjadi sangat penting.

Otoritas sektor keuangan di negara maju dan berkembang tampaknya sedang berusaha memproyeksikan dampak dari industri baru ini. Seiring dengan usaha untuk memahami arah dari industri ini, pemerintah di negara maju dan beberapa negara berkembang yang cukup progresif--seperti India dan Cina--melakukan pendekatan yang disebut sandbox dalam mendesain sejumlah peraturan baru. Dalam konteks sandbox, produk baru dari perusahaan fintech akan diberi ruang dan waktu dalam periode tertentu, misalnya selama enam bulan, untuk diuji coba meskipun tanpa ada peraturan yang baku. Setelah masa uji coba selesai, pemerintah dan perusahaan bersangkutan akan mengevaluasi produk tersebut, termasuk merumuskan bersama peraturan yang cocok.

Pemerintah Indonesia masih dalam tahap awal memahami sektor fintech. Meski begitu, terbitnya peraturan Otoritas Jasa Keuangan tentang teknologi keuangan pada tahun lalu merupakan prestasi tersendiri. Walaupun menimbulkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban, adanya peraturan OJK yang bisa dikritik tersebut merupakan awal yang baik. Dibentuknya departemen khusus mengenai fintech di OJK ataupun di Bank Indonesia merupakan keniscayaan.

Di sisi lain, pemerintah perlu mengubah paradigma selama ini, dari semata-mata sebagai regulator menjadi fasilitator dari disrupsi ini. Artinya, pendekatan sandbox perlu dilakukan dengan serius. Saat ini hanya Bank Indonesia yang menggunakan pendekatan tersebut. Adapun OJK serta Kementerian Komunikasi dan Informatika belum melakukan pendekatan itu.

Meski demikian, tak ada salahnya OJK diberi peran sebagai pemimpin dalam transformasi ini. Syaratnya, ketiga regulator harus saling legawa. Harapannya: industri fintech menjadi salah satu katalisator penting dari pertumbuhan ekonomi Indonesia. l

Febrio Kacaribu
Kepala Kajian Makro Dan Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi Dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Dan Bisnis Universitas Indonesia


Kurangnya visi pemerintah di sektor ini adalah masalah yang paling krusial. Padahal industri di sektor ini membutuhkan visi dan kepemimpinan pemerintah. Harus diakui, pemerintah masih tertinggal dalam urusan manajemen perubahan. Buktinya, setiap kali muncul inovasi di pasar, reaksi pertama pemerintah adalah pendekatan regulasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus