Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Bapegengsis Dituduh

Sejumlah anak remaja anggota gang bapegengsis digulung karena mencopet dan menjambret. terbongkar ketika mengadakan aksi di pekan raya jkt. pemimpinnya berumur 17 thn, oleh bbrp pihak dikenal alim.(krim)

9 Agustus 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEWAT tengah malam, begitu kagetnya Bapak itu dikunjungi dua orang polisi. "Bolehkah kami membawa anak Bapak ke Polsek?" kata salah satu polisi, setelah menunjukkan surat tugas dari Polsek Sawah Besar, Jakarta Pusat. Kendati masih terbengong-bengong, si Bapak lalu membangunkan anaknya, yang berumur 17 tahun itu. Masih bercelana pendek biru dan kaus hijau, pelajar kelas II sebuah SMA di Jakarta itu dengan tenang ikut ke Polsek. Ibunya tampak maklum, karena sorenya anaknya habis berkelahi. Tapi siapa yang menyangka bila anak itu oleh polisi dltuduh sebagai otak sebuah gang remaja, yang sering merampas, mencopet, dan memeras? Sudah 13 remaja sekolahan, anggota Bakti Permai Gelanggang Seratus Satu Simpang Enam Swadaya Swasembada, atau mereka pendekkan jadi Bapegengsis, demikian nama gang itu, entah apa artinya, yang sudah diamankan di Polres Jakarta Pusat. Anggota Bapegengsis itu konon berjumlah 40-an remaja, dan diduga yang baru "dijemput" itulah pemimpinnya. Adapun awal terbongkarnya gang ini, karena aksi petualangan mereka di arena Pekan Raya Jakarta yang baru lalu. Tempat keramaian itu ternyata tak menguntungkan mereka untuk cepat-cepat menghilang. Polisi, yang memang kala itu dikerahkan guna menjaga keamanan, dengan mudah menangkap anggota gang yang kebetulan beraksi. Barang bukti dapat dikumpulkan -- misalnya kalung dan cincin emas. Mereka, para remaja ini, tampaknya sulit dimengerti. Bayangkan, yang dituduh pemimpin gang, mengaku rajin salat, dan dikenal orangtuanya sebagai anak alim. Ia tak suka ngopi, merokok, apalagi minum-minum sampai mabuk. "Soalnya, ia ingin jadi ABRI," tutur ibunya, yang biasa mengkreditkan pakaian. Bahkan, untuk menunjang cita-citanya itu, remaja satu ini sudah membeli buku perlengkapan ABRI. Anak muda ini pun tiap pagi lari-lari, guna menjaga kesegaran tubuhnya. Oleh orangtuanya, tiap berangkat ke sekolah ia selalu dibekali Rp 1.000, sedangkan ongkos transportasi pulang-pergi hanya Rp 300. Masih ada sisa uang untuk jajan. "Dia memang suka jajan," kata ibunya, yang heran, "Mengapa anak saya dituduh menjambret." Kepala SMA-nya pun tak kurang herannya. Di sekolah, si "pemimpin" tidak pernah bikin onar. Ia luwes bergaul, termasuk dengan guru. "Bayaran sekolahnya pun tak pernah menunggak," tutur Pak Kepala. Satu-satunya kesalahan, bila mau dicari-cari ia memang pernah membolos, ketika kelas I. Kesalahan itu ditebusnya dengan lari mengelilingi lapangan sepak bola 10 kali. Prestasi belajarnya juga tidak jelek, masih termasuk rata-rata kelas. SATU-satunya kemungkinan mengapa ia terlibat mencari rezeki tak halal adalah terpengaruh oleh kegiatannya di luar rumah. Ia memang sering nongkrong di warung dekat rumahnya, terutama malam Minggu, bersama teman yang suka mabuk. Di antara teman-teman itu ada yang sudah mengenal soal copet-mencopet dan jambret-menjambret. Setidaknya demikianlah penuturannya sendiri. "Semakin lama, saya pun terpengaruh mereka," tuturnya. Dari situlah muncul Bapegengsis, yang semula sebenarnya cuma kelompok break-dance. "Kami cuma berani operasi di tempat ramai dan melakukannya ramai-ramai," ujar remaja ini polos. Namun, dalam kelompok ini tidak dikenal bagi hasil. "Siapa yang dapat dialah pemiliknya," tuturnya. Dan, dalam operasi itu, tambah si tertuduh yang mengaku tidak merasa mengorganisasikan Bapegengsis, tidak ada paksaan bagi teman yang tidak mau ikut. Lantas, untuk apa hasilnya? "Dipakai membeli kemeja, dan sisanya untuk jajan bakso, es, dan lainnya," tutur remaja ini lancar, seperti tak menyembunyikan apa pun. Sementara mereka masih meringkuk di Polres Jakarta Pusat, Letkol (Pol.) K. Ratta, Kapolresnya, ingin membabat anggota Bapegengsis lainnya, yang diduga punya kegiatan sama. Maklum, menurut catatan Polres Jakarta Pusat, kenakalan remaja Juli lalu meningkat lebih dari dua kali lipat dibanding bulan sebelumnya. Remaja-remaja itu tampaknya menyesal setelah merasakan tahanan. "Setelah keluar, saya ingin masuk pondok pesantren saja," kata si "pemimpin" seraya mengenakan pecinya -- menutupi kepalanya yang dlbotaki oleh polisi. Yang kini masih teka-teki, gang ini cuma amatir, atau memang terorganisasi dengan rapi, dan punya jaringan luas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus