"SUDAH kubunuh anjing-anjing itu semua. Selamatlah untuk kita sekalian." Ucapan Arnold Sijabat pagi itu membuat tetangganya di Desa Kualabangka, Labuhanbatu, Sumtera Utara, tertegun. Arnold, 28, tak biasa berbasa-basi dan sama sekali tak berbakat melucu. Memang pagi itu, yang terlihat di lantai rumah panggungnya, sungguh jauh dari lucu. Di sana bergeletakan keempat anak Arnold, yang berusia antara, termuda, 7 bulan dan tertua, 6 tahun. Tubuh anak-anak itu berlumuran darah, dan kepala mereka entah di mana. Arnold, yang dikenal kurang waras, telah menjagal anak-anaknya. Di pagi yang sama, jauh dari Kualabangka, di Desa Mlaten, Demak, Jawa Tengah, Nuralim, memangkas leher kakeknya. Wajah Sukahar, kakek berusia 65 itu, yang dikenal sebagai dukun dan biasa mengobati orang sakit, ia tutupi dengan kain sarung. "Biarlah Kakek, dan semua manusia, tahu bahwa binatang yang disembelih merasakan sakit," ujar Nuralim, 22, pemuda yang tegap dan kukuh. Dua tahun lampau, pemuda yang sering murung ini menjadi pasien RS Jiwa Magelang. Ia mengalami gangguan jiwa, karena putus sekolah dari SMP. Orang tak waras, atau yang diduga gila, belakangan ini memang sering menjadi berita. Mereka yang biasa tertawa atau tersenyum-senyum sendiri ini, tanpa terduga ternyata bisa tiba-tiba muncul dengan wajah menakutkan dan menyebar maut. Dua kasus tersebut, yang terjadi pada 23 Juli lalu, hanya sekadar contoh (lihat Si Gila Hidung Membunuh ?) Dua tahun lalu, 1984, Arnold pernah dirawat di Medan. Sekembalinya, ketidakwarasannya membaik. Kalau bicara, misalnya, kembali lancar. Ia pun bisa kembali bekerja, menggarap lahan pertaniannya yang dua hektar. Dari situ, bisa dihasilkannya 5 ton padi kering setahun, jumlah yang cukup untuk membelanjai keluarganya. Hanya istrinya, Porida, tahu persis bahwa suaminya itu sebenarnya belum pulih benar. Itu ketahuan bila Arnold menghadapi keempat anak mereka. "Mereka itu anjing, Ma. Harus dibunuh," begitu Arnold sering berkata kepada Porida. Di masa kecil, kabarnya, Arnold pernah digigit anjing dan dia merasa darahnya tercemar. Sekaligus, ia merasa darah yang sudah tercemar itu menurun kepada anak-anaknya. Malah dalam bayangannya Hobbin dan ketiga adiknya terkadang benar-benar telah berubah menjadi anjing. Porida, tentu berdikit-dikit mencoba menyadarkan suaminya. Tapi, di pagi berdarah itu, Arnold rupanya sudah begitu rupa terdorong untuk melenyapkan bayang-bayang yang selalu mengganggunya. Kini, seperti halnya Nuralim, ia ditahan polisi untuk selanjutnya dikirim (lagi) ke rumah sakit jiwa. Pengidap gangguan atau sakit jiwa, agaknya, memang tak bisa diharapkan bisa sembuh total. Bila mengalami stres atau tekanan yang berat, mereka cenderung kambuh. Dan seperti dikatakan Dokter Jamaluddin S., Direktur RS Jiwa Medan, orang-orang seperti itu, "Sangat potensial membahayakan lingkungan." Sedang yang namanya lingkungan itu, sudah barang tentu, bukan melulu ternak atau tumbuhan. Dan bila mereka merusakkan, umumnya dengan cara yang telak. Lihat saja yang dilakukan Syamsir bin Usman, 28, tengah malam November tahun lampau. Dia membedah perut istrinya, Zahara, yang hamil 9 bulan. Leher si orok, yang belum sempat lahir, ya, Tuhan, juga dia tetak. Begitu pula abang si bayi, Rizal, yang baru berusia 4 tahun. Maka, Desa Alu Ieurejak, Aceh Selatan, hari itu gempar. Masih di Aceh, di Kabupaten Pidie, seorang Norma juga memotong putus leher bayinya pada 1984. Dia lalu keliling desa, mengumumkan bahwa baru saja membunuh seekor kucing. Itu mirip dengan yang dilakukan Rida boru Harahap, 19, dari Desa Sijambi, Asahan, Sumatera Utara. Bedanya, anaknya, Sri Mulyani yang baru berumur 15 hari, dia kira babi. Kejadiannya, Januari 1985. Dan di bulan itu pula, seorang guru mengirimkan anaknya yang baru berusia 4 tahun ke surga. Hanya caranya berbeda: ia memberi minum es yang dicampur dengan obat antihama kepada anak itu. Tapi kasus kriminalitas yang melibatkan orang-orang yang kehilangan akal warasnya tak begitu mudah dibawa atau tak dibawa ke pengadilan. Seperti dikatakan Dokter Pranowo Sosrokoesoemo, Kepala Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan, tak gampang sebenarnya menentukan seseorang itu gila atau tidak. Itu hanya bisa dilakukan oleh psikiater yang melakukan pengamatan cermat untuk beberapa waktu lamanya. Orang yang bertindak agresif, atau kelewat agresif seperti menyerang atau membunuh, "Belum cukup untuk menentukan bahwa dia memang sakit jiwa," kata Pranowo. Itu makanya, bila seseorang yang diduga gila sempat diadili, persidangan biasanya berlangsung ramai. Jaksa, umumnya, tak yakin terdakwa gila. Sebaliknya, pembela berpegang pada keterangan psikiater yang menyatakan terdakwa gila dan karenanya harus dibebaskan. Ini, misalnya, terjadi dalam kasus Maria boru Surbaki, 25, yang 2 Agustus lalu divonis 5 tahun di Pengadilan Negeri Lubukpakam. Majelis hakim pimpinan Sofyan Tanjung yakin, Maria membunuh suaminya, Semangat, dengan kesadaran penuh, pada 12 Maret tahun ini. Buktinya, kata Sofyan, usai membacok-bacok, ia sempat menggali lubang untuk menguburkan korban, dan kemudian lari takut kepergok. Di persidangan pun, Maria bisa menjawab pertanyaan dengan lancar. "Pakaiannya juga rapi, dan kelihatan cantik," kata Sofyan tertawa. Maka, ia tak merasa perlu benar menghadirkan psikiater, sebagai saksi ahli. Sedangkan menurut pembelanya, Darwan Perangin-angin -- yang tentu saja naik banding -- Maria, yang pernah menjadi pasien Dokter Djamal Eka Pinem, seorang psikiater, pada 1981, jelas belum sembuh betul. Dokter Pinem pun, ketika dihubungi, menyatakan hal itu. Sebagai orang yang pernah sakit "Maria tentu akan mudah kortsliting bila jiwanya tertekan," kata Pinem. Dan yang menekan itu adalah karena Maria merasa dikucilkan dan dianggap wanita pendosa, oleh suami dan mertua, setelah bayi yang dilahirkannya cacat dan kemudian mati, begitu tutur Darwan. Yang kemudian jadi pertanyaan, yakni seberapa berbahayakah orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan itu. "Orang normal justru lebih berbahaya," kata S.D. Garjito, Kepala Subdirektorat Psiko Sosial, Departemen Kesehatan, kepada TEMPO. Berbahaya karena orang waras jelas bisa punya seribu satu dalih, bisa bersandiwara, dan bisa menghapus jejak kejahatannya. Kemudian, di kali lain, si waras ini mengulangi tindak kriminalitasnya, hingga korban yang ditimbulkannya bisa bertambah. Tapi, lebih atau kurang berbahaya, ada pihak yang kemudian menjadi korban. Lalu, siapakah yang mesti bertanggung jawab? Tak semuanya, memang, bisa selesai dengan undang-undang. Surasono Laporan Biro Medan, Yogyakarta, dan Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini