KORPS Baret Merah untuk kesekian kalinya kembali mencoreng wajah tentara. Kamis pekan lalu, Wakil Kepala Kepolisian Daerah Papua, Brigadir Jenderal Raziman Tarigan, melansir pengumuman: di antara 13 tersangka pelaku penyerangan terhadap sejumlah karyawan pertambangan PT Freeport Indonesia di Timika, Tembagapura, ada anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Insiden berdarah ini terjadi pada 31 Agustus lampau. Ketika itu, di sebuah kelokan di kilometer 62 Jalan Raya Timika, serentetan tembakan brutal tiba-tiba menghujani kendaraan yang sedang berjalan beriringan. Bus Sekolah Internasional Tembagapura yang mengangkut rombongan guru menjadi sasaran empuk pertama. Tiga orang penumpangnya tewas seketika—Ted Burcon dan Rickey Spear, warga Amerika Serikat, serta F.X. Bambang Riwanto. Sembilan bule lain luka-luka. Dua truk di belakangnya tak luput dari bencana. Beruntung, kali ini badai peluru hanya melukai tiga orang lokal.
Polisi tak sembarangan menuduh. Kata Jenderal Raziman, mereka punya saksi kunci yang menunjukkan keterlibatan para anggota kesatuan elite itu. Dialah Decky Murib, seorang warga setempat yang telah 10 tahun bekerja sebagai tenaga bantuan operasi, alias informan, untuk Korps Baret Merah.
Alkisah, dua minggu setelah penyerangan, Decky, yang gelisah karena merasa telah ikut terlibat dalam pembantaian itu, datang melapor ke polisi. Di Markas Kepolisian Daerah Papua di Jayapura, 18 September lalu, di hadapan Jenderal Raziman dan polisi lainnya, seorang pastor, serta aktivis organisasi nonpemerintah, dia telak-telak menunjuk keterlibatan tentara dalam peristiwa berdarah itu. Tiga di antaranya dikenali Decky sebagai anggota Kopassus. Mereka adalah Kapten Markus, Letnan Satu Wawan Suwandi, dan Prajurit Satu Jufri Uswanas. ”Yang lain saya kenali karena mereka pernah ikut upacara di kantor polres dan kodim,” kata Decky. Raziman menduga sepak terjang pasukan ini bagian dari sebuah operasi intelijen.
Cuma, karena mereka bukan warga sipil, polisi tak berwenang menyidik lebih jauh. Temuan hanya bisa disampaikan ke Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto untuk selanjutnya diambil oper oleh polisi militer. Selasa dua pekan lalu, sebuah tim gabungan dari Cilangkap, Markas Besar TNI, telah datang ke Jayapura. Mereka terdiri atas delapan perwira tinggi dan menengah, dipimpin Kolonel Bambang Suyono dan wakilnya, Kolonel Chairawan, perwira Kopassus yang pernah terlibat kasus penculikan aktivis.
Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Papua, Ajun Komisaris Besar Daud Sihombing, tim penyelidik militer datang untuk menguji kesimpulan polisi. Salah satunya menyangkut mayat misterius yang ditemukan di semak-semak tak jauh dari tempat kejadian. Semula Mr. X—begitu jasad misterius itu semula disebut polisi—diduga merupakan salah satu anggota kawanan penyerang yang kemudian bisa dilumpuhkan tentara. Namun, setelah diselidiki, tubuh tanpa nyawa itu ternyata milik Elly Murib atau Eliken Kwalik. Dan polisi menyimpulkan warga Kampung Banti yang diidentifikasi penduduk sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) itu bukan salah satu pelakunya.
Soalnya, di lapangan, polisi melihat banyak keanehan. Di tempat Elly ditemukan, tak tercecer darah sebercak pun. Sewaktu diautopsi, buah zakarnya pun telah membengkak. Saat ditemukan, hanya enam jam setelah peristiwa, jasadnya sudah dimakan ulat. Padahal lokasi kejadian yang bercuaca dingin mestinya tak akan membuat mayat membusuk secepat itu. Visum dokter menyimpulkan Elly memang sudah tak bernapas lama sebelum penembakan.
Penyelidikan polisi searah dengan hasil investigasi Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua. Menurut koordinatornya, Alberth Rumbekwan, kecil kemungkinan anggota OPM berada di tempat peristiwa penembakan. Lokasi itu ketat diisolasi. Yang bisa lewat hanya aparat keamanan, pegawai Freeport, atau warga yang mengantongi izin khusus. Lain dari itu, jangan harap. ”Bahkan warga yang memiliki tanah ulayat di punggung Gunung Grasberg pun tak bisa melintas tanpa izin,” kata Alberth. Belum lagi, untuk bisa sampai ke situ, orang juga harus melewati markas Kostrad dulu.
Jadi, Kapten Markus dan pasukannya segera diajukan ke meja hijau? Tunggu dulu. Pagi-pagi Komandan Jenderal Kopassus, Mayor Jenderal Sriyanto Muntrasan, sudah menyanggah, ”Saya sangat-sangat percaya anggota saya tak terlibat.” Menurut dia, sangatlah mungkin penyerangan brutal itu dilakukan milisi OPM karena lokasi kejadian selama ini memang dikenal sebagai daerah kelompok separatis itu.
Sriyanto pun mengajukan alibi menyangkut dua anak buahnya yang kena tuding. Menurut dia, mereka sudah ditarik sejak Januari lalu dari Papua, ketika Satuan Tugas (Satgas) Tribuana berganti nama menjadi Cenderawasih. Keanggotaan Letnan Wawan, misalnya, hanya tercatat di periode sebelumnya di bawah Satgas Tribuana saat masih dipimpin Letkol Hartomo—yang kemudian dicopot dari jabatannya setelah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Theys Eluay. Begitu pula Kapten Markus. Setelah dicek, sudah sejak setahun lalu ia mengikuti kursus perwira di Pusat Persenjataan dan Infanteri, Bandung. Karena itulah, kata Sriyanto, yang juga baru ditetapkan sebagai tersangka kasus Tanjung Priok, ”Kalau kesaksian Decky Murib dijadikan bukti, itu ngawur.”
Itu kalau ngawur. Tapi, jika kelak terbukti kesaksian Decky sahih adanya, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Ryamizard Ryacudu telah lantang menyatakan, ”Kalau memang ada anggota Kopassus yang terlibat, akan saya copot dia dari keanggotaan TNI.”
Ahmad Taufik, Bernarda Rurit, Cunding Levi (Papua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini