SEMUA orang -- tanpa kecuali -- pasti suka wajah cantik. Ini bagaikan "dalil" yang berlaku dari zaman ke aman. Beberapa penelitian ilmiah yang dilakukan kemudian membuktikan bahwa kecenderungan manusia -- pada yang cantik manis memang sah adanya. Nilai tinggi untuk si cantik terbentuk sendiri dalam masyarakat dan diwariskan dari generasi ke generasi. Tidak heran kalau setiap anggota masyarakat bisa menerima nilai itu sebagai bagian dari tradisi, bahkan dari kebudayaan secara keseluruhan. "Mata bagaikan bintang kejora, hidung bak dasun (bawang) tunggal, bibir ibarat delima merekah, pipi pauh dilayang, rambut mayang terurai..., dan sebagainya. Perumpamaan ini, yang kian jarang dipakai orang kini, membuktian bahwa dulu kala bangsa kita sudah mengenal tata nilai, khusus yang menyangkut kecantikan kaum Hawa. Dan tata nilai itu pun membudaya, satu fenomena yang juga bisa ditemukan pada berbagai bangsa di dunia. Tapi baru-baru ini ada penelitian yang menyodorkan kenyataan lain. Nilai tinggi pada si cantik tidak cuma sekadar faktor budaya atau lingkungan, tapi faktor alami, dibawa manusia sejak lahir. Benarkah? Penelitian itu memastikan bahwa "dari sononya", makhluk yang bernama manusia itu memang cenderung suka yang bagus-bagus. Bahkan sejumlah bayi -- yang menjadi tolok ukur penelitian itu -- rata-rata juga memperhatikan paras cantik. Penemuan baru ini hasil eksperimen Dr. Judith H. Langlois, bersama rekan-rekan psikolog dari University of Texas, Austin, AS. Penelitian dilakukan dengan cara menyodorkan beragam pasangan wajah wanita kepada 34 bayi. Sebelumnya, tampangtampang itu ditentukan dulu nilainya, dikategorikan dalam golongan cantik, lumayan cantlk, agak jelek, dan buruk rupa. Separuh dari wajah yang diperlihatkan terdiri dari sepasang tampang yang sangat berbeda: sangat rupawan dan sangat tidak menarik. Sisanya terdiri dari wajah yang kurang lebih sama, sedang, sampai yang agak jelek. Karena orok umur 6 sampai 8 bulan itu tak bisa memberi tahu peneliti tampang mana yang lebih mereka sukai, Dr. Langlois menggunakan tolok ukur waktu, tegasnya lama atau sebentar sang bayi menatap wajah-wajah itu. Juga diperhatikan bagaimana cara bayi menatap: dengan perasaan senang atau tidak. Selain itu, peneliti juga memperhitungkan faktor wajah ibu para bayi tadi. Ini untuk melihat ada atau tidak pengaruh kecantikan atau kejelekan wajah ibu pada si orok. Hasilnya? Para peniliti mencatat, bayi-bayi menatap wajah cantik lebih lama ketimbang si buruk rupa. Ternyata, ini kecenderungan umum, tak peduli ibu sang bayi cantik atau jelek. Dan 71% melihat lebih lama ke arah si cantik dari kelompok pasangan tampang yang sangat bertolak belakang. Dari kelompok pasangan wajah bernilai sedang, 62% memandang lebih lama pada wajah yang lumayan. Berarti, wajah buruk atau setengah jelek dilihat sepintas saja. Ketika penelitian diulang pada 30 orok yang lebih muda -- usia 2 sampai 3 bulan -- para ilmuwan memperoleh hasil yang nyaris sama. Di situ terbukti, tampang ibu tak berpengaruh apa-apa. Hampir dua pertiga dari jumlah orok itu, lagi-lagi, lebih lama memelototi wajah menarik ketimbang muka nan buruk. Mengapa bayi lebih menyukai wajah rupawan ? Langlois dan rekan-rekannya menduga, karena tampang keren mungkin lebih banyak garis lengkung alias tidak persegi. Atau lebih simetris secara vertikal. Hal ini terbukti dari contoh wajah yang dipertontonkan pada bayi: mereka yang berwajah molek mempunyai raut dengan garis lengkung lebih banyak. Sekalipun begitu, para peneliti berpendapat, standar umum untuk wajah menarik juga dipengaruhi faktor kebudayaan dan variasi lain yang bersifat sementara. Apa yang disebut cantik oleh orang bule mungkin tidak cantik di mata orang Indonesia, demikian pula sebaliknya. Karena itu, penelitian Dr. Langlois mungkin perlu juga dilakukan di sini. Siapa tahu, bayi-bayi Indonesia juga suka wajah cantik, tapi versinya berbeda. F.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini