HUBUNGAN ekonomis antara ekspor minyak kelapa sawit, CPO, dan kadar kolesterol dalam tubuh manusia ternyata sangat erat. Coba, lihat saja. Harga CPO, yang Juni lalu mengental sampai Rp 650 per kgj sekarang ini tinggal Rp 450 gara-gara Amerika mengampanyekan bahwa kandungan lemak jenuh pada makanan -- yang bahannya antara lain berasal dari minyak kelapa sawit berbahaya bagi kesehatan. Kampanyenya benar-benar khas Amerika. American Soybean Association (ASA), atau Asosiasi Petani Kacang Kedelai, melalui badan pengawasan makanan dan obat di sana, Food and Drug Administration (FDA), minta agar produk-produk yang mengandung minyak kelapa sawit -- dan sejenisnya diwajibkan mencantumkan kadar lemak jenuhnya. Dengan cara itu, secara tidak kentara, masyarakat diminta lebih teliti sebelum membeli apa-apa yang bahannya mengandung sejenis minyak kelapa sawit. Sebab, memang begitu hubungannya dengan kesehatan, makanan yang mengandung lemak jenuh akan meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Posisi minyak kelapa sawit dengan sendirinya tersudut. Karena orang Amerika lantas menjatuhkan pilihan pada makanan yang bahannya dari minyak goreng asal kedelai. Upaya jitu anggota ASA itu yang rupanya sedang memasyarakatkan minyak kedelai. Maklum, sejak 1984, minyak kedelai mereka lebih banyak tersimpan ditangki pengilangan. Jangan tanya lagi soal harga. Maka, sahlah berbagai upaya petani Amerika untuk merenggut kembali separuh pangsa yang diambil CPO dan minyak kelapa yang bernilai hampir 275 juta dolar setahunnya. Akibatnya sudah terasa. Pelayaran tanker CPO dari sini ke AS tak selaju sebelumnya. Namun, menurut Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Tanaman Keras Hasjrul Harahap, apa yang terjadi dengan minyak kelapa sawit belakangan ini terutama soal merosotnya harga -- bukan hanya karena ulah orang Amerika. Paling tidak, seperti dinyatakannya kepada TEMPO sepulang haji kemarin, "Tak ada kaitan antara kandungan kolesterol dan jatuhnya harga minyak sawit." Harga minyak sawit, kata Hasjrul selanjutnya, memang selalu mengalami fluktuasi. Persaingan antara minyak kelapa sawit dan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, 'kan sudah dari dulu begitu. Memang lagi masanya produsen kelapa sawit lebih banyak prihatin. "Harga yang sekarang ini masih bisa terus merosot," ujar Derom Bangun, salah seorang pengurus Kadin Sumatera Utara, tampak ngeri. Kemerosotan pasar jenis minyak yang satu ini di luar negeri, mau tak mau, berpengaruh juga terhadap harga licinnya di sini. Misalnya saja harga minyak goreng asal CPO (olein) di Jakarta, yang antara Februari dan Maret lalu masih Rp 775 per kg, bulan-bulan berikutnya berkurang Rp 60-Rp 70. Awal bulan ini? Harga tinggal Rp 610 per kilo. Sedangkan ekspor CPO Indonesia ke Amerika belum lama ini turun dari 39 ribu ton per bulan jadi tinggal 20 ribu ton. Malaysia dan Filipina, yang sama-sama "diboikot" petani kedelai AS, juga merupakan ancaman bagi volume dan nilai ekspor dari sini. Dalam lima bulan terakhir ini, ekspor CPO dari negeri produsen utama, Filipina, ke AS memang turun 10.000 ton, sehingga nilainya merosot: menjadi USS 186,2 juta dibandingkan US$ 194,8 juta dalam periode sama tahun lalu. Padahal, kalau dilihat dari konsumsi minyak nabati dan bahan lain yang mengandung lemak di Amerika Serikat, porsi minyak kelapa sawit di sana masih kecil. Yaitu hanya sekitar 2%-3%. Jadi, memang harus dipertanyakan apakah kampanye pengawas makanan (FDA) didikte petani kedelai (ASA). Tapi tampaknya memang berlebihan bila kadar lemak jenuh pada kelapa sawit digunakan untuk propaganda agar konsumen "anti" -- setidaknya berhati-hati -- terhadap jenis makanan apa pun yang mengandung minyak kelapa sawit. Kadar lemak jenuh minyak dari kelapa sawit memang mencapal 50%. Menurut Dr. Yusuf Basiron dari lembaga riset minyak kelapa sawit Malaysia, olahan minyak kelapa sawit justru mengandung vitamin E dalam bentuk tocotrienol, yang mempunyai kemampuan mengurangi kadar kolesterol dalam darah. Itu sudah dibuktikan oleh dua profesor. Dan percaya atau tidak, Derom Bangun mengatakan bahwa minyak yang "dijelek-jelekkan" orang Amerika itu mengandung zat antikanker dan bisa mencegah penggumpalan darah pada pembuluh. Pendapat itu diperoleh Derom Bangun dari B. Bek. Nielsen, orang Denmark, yang sudah menekuni hal ihwal kelapa sawit di Malaysia selama 36 tahun. Menteri Muda Hasjrul Harahap dengan pendekatan lain mencoba membela kelapa sawit. Kendati mengandung kolesterol, katanya, satu kilo minyak sawit baru sebanding dengan kandungan kolesterol pada 27 butir telor. "Tak perlu dikhawatirkan bahayanya," katanya. Tapi apa kata FDA sangat berpengaruh. Sehingga, agar aliran CPO ke AS tidak tersumbat, negara-negara penghasil kelapa sawit mulai melancarkan protes. Sebuah lembaga yang mengurus soal kelapa (The Philippine Coconut Authority) menyiapkan suatu seminar untuk membahas "kekeliruan pandang ASA dan FDA". Ketua lembaga itu sendiri, Jose Romero Jr., menggalang kekuatan neara penekspor kopra se-Asia Pasifik untuk menghadapi petani Amerika yang dianggap membesar-besarkan persoalan minyak sawit dan minyak kelapa dengan kolesterol. Soalnya, 17 juta orang Filipina yang tergantung hidupnya dari kelapa tentu ingin tetap mengekspor 60% hasil kopranya ke Amerika. Semoga, bukan orang Amerika saja yang lihai kampanye. Suhardjo Hs., Laporan Ekram H. Attamimi (Malaysia) dan Djoko Daryanto (Filipina)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini