IDRIS Sardi tampil mantap mengayun baton. Dan para pemusik Orkes Simfoni yang dipimpinnya itu kompak, mengikuti gerakan tongkat kecil yang terayun-ayun di tangan kanan sang dirigen. Sabtu malam barusan, sejarah seperti terulang -- ke masa 166 tahun lampau. Pada 7 Desember 1816, gedung Schouwburg itu diresmikan, dan pertama kali di sana dipentaskan sandiwara Othello, karya William Shakespeare. Kini bangunan yang namanya ditukar jadi Gedung Kesenian ini dikenang kembali, juga dengan pementasan. Drama Sumur tanpa Dasar, karya Arifin C. Noer, akan dimainkan selama seminggu. Selama ini, dengan terpaksa mereka harus puas bermain di Teater Tertutup atau Graha Bhakti Budaya di Taman Ismail Marzuki, yang akustiknya pas-pasan. "Saya merasa berbahagia. Sekarang ada gedung yang bagus untuk bermain," ujar Idris Sardi. Ia adalah violis dan dirigen yang mengaku meniti kariernya di dalam Gedung Kesenian di Jalan Pos, Pasar Baru, Jakarta, itu. Sutradara Teguh Karya, yang juga berkali-kali mementaskan sandiwara di sana, niscaya sependapat dengan Idris Sardi. Pekan lalu, setelah rampung dipugar, gedung ini diresmikan Gubernur Soeprapto. Gedung yang berakustik bagus ini sempat disebut "keramat" oleh sementara seniman. Kemudian keadaannya tak terawat. "Batu-batu bata dalam tiang penyangga malah jadi bubuk tanah," begitu cerita Ir. Triono Tasman, arsitek pemugaran gedung itu. Gedung ini bertahun-tahun terabaikan, bahkan hingga 1983, setelah pada 1970 dikontrak pengusaha bioskop New City. Gedung ini menyimpan kisah panjang. Mula-mula dibangun pada 1814, hanya berupa bangunan sementara, beratap rumbia sebagai gedung hiburan buat para serdadu di zaman Raffles, dua tahun kemudian Daendels memugarnya untuk gedung pameran. Setelah itu, pada 1821, gedung dipugar lagi, dan resmilah sebagai gedung teater dengan nama Schouwburg -- kebangaan masyarakat elite Batavia saat itu, sejajar dengan Sociteit de Harmonie yang dibangun pada 1815, dan kemudian Sociteit Concordia yang berdiri belakangan, 1833. Ketika itu, penerangan di dalam hanya berupa lilin. Belakangan diganti listrik, sementara diluar lampu gas. Di zaman Jepang, gedung itu dijadikan markas tentara. Setelah itu, kembali dipakai untuk gedung pertunjukan, dengan nama Siritsu Gekizyoo. Di sanalah kelompok sandiwara Maya bermain. Ada Usmar Ismail, Rosihan Anwar, H.B. Jassin, Soerjo Soemanto, D. Djajakusuma. Sedang Kusbini mempergelarkan Malam Seni Rhapsodi dan Cornel Simanjuntak pernah mempertunjukkan Opera Madah Kelana. Menjelang kemerdekaan, mereka -- ditambah para pelukis, seperti Basuki Resobowo dan Soedjojono serta satu-satunya gadis yaitu Malidar Malik, kini Nyonya Hadiyuwono, produser film -- membentuk grup Seniman Merdeka. Di gedung itulah mereka biasa mangkal. Dengan truk, mereka berkeliling, membakar semangat rakyat Jakarta. Pada akhir Agustus 1945, Komite Nasional Indonesia Pusat menyelenggarakan sidang pertama, di gedung itu. Dulu, ketika pertama kali gedung Schouwburg dibangun, agaknya memang khusus untuk kalangan atas. Tapi Firma Lie A Tjie, yang kala itu memborong pembangunannya, bekerja seenaknya saja. Ia menggunakan bahan bangunan bekas. Kayu dan puing-puing tiga bangunan di belakang kawasan kumuh Pasar Ikan, yaitu dari Rumah Tahanan, Sekolah VOC, dan Rumah Sakit Cina, dimanfaatkan lagi untuk membangun gedung Schouwburg. Bangunan itu menelan biaya 67.000 gulden. "Selain menggunakan bahan bekas, pekerjaannya juga tak rapi. Banyak lekukan yang tak mulus," ujar Triono. Arsitektur gedung itu juga tak jelas bergaya apa, tapi ada yang menyebutnya model Yunani Baru. "Gayanya campuran atau Eklitisme menurut istilah arsitekturnya," kata Triono lagi. Bagian luar, bergaya Indisch -- model bangunan kolonial di negeri-negeri tropis agak sedikit dominan. "Orang Belanda ketika itu mungkin mencoba menyesuaikannya dengan iklim tropis di sini," tambahnya. Cirinya gampang dikenali: ada koridor luas yang berfungsi menahan tempias hujan, dan menjaga agar udara di dalam tetap sejuk. Di atas kolom ada relief bergaya Renaesance, di akhir abad pertengahan. Sedang di mtara kolom dan relief terselip ornamen bergaya Romawi Kuno. Gaya ini juga mendominasi interior gedung. Tepi langit-langit dan dinding balkon penuh dengan ornamen keemasan. Banyak yang mesti ditangani Triono dan timnya. Apalagi arsitektur gedung ini tak boleh berubah. Sementara itu, ini yang terpenting, akustik gedung harus seprima mungkin. Tetapi yang bikin pusing: gambar nncian bangunan atau peninggalan apa pun yang bisa diJadikan pegangan pemugaran tak ada sama sekali. "Terpaksa diteliti kembali satu per satu. Dan harus sabar," tukas Triono. Sedangkan biaya pemugaran bengkak menjadi Rp 2,98 milyar. "Padahal, semula diperkirakan Rp 1,8 milyar," kata Soeparmo, Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jaya. Untuk menciptakan akustik yang baik, banyak yang dilakukan. Koridor, misalnya harus ditutup dengan kaca berlapis dua yang ketebalannya berbeda, 10 dan 6 milimeter. Pintu juga berlapis dua, terbuat dari kayu jati tebal. Atap dilengkapi peredam suara dari bahan rock wool. Sekarang kebisingan di kawasan Pasar Baru sudah mencapai 90 desibel. Sedangkan tingkat kebisingan dalam ruangan Gedung Kesenian yang bisa ditolerir hanya 35 desibel -- agar layak untuk gedung pertunjukan. Dan kini, dengan akustik yang prima, tingkat kebisingan di dalam ruangan cuma 28 desibel. Tapi untuk menyempurnakan akustik juga harus diperhitungkan pengaruh kebisingan yang berasal dari dalam ruangan sendiri. Dengung alat penyejuk juga harus diperhitungkan. Dan itu bukan gampang. Kata Martin Vedt dan Klaas van Helden, dua konsultan Belanda, dan Ir. Margana Kusumadinata, ahli akustik dari Puspitek Serpong, "Tak ada rumusan baku dalam mendesain akustik." Tetapi, menurut mereka, akustik Gedung Kesenian sudah andal. "Setaraf dengan gedung opera di Eropa," kata Martin dan Klaas, yang sudah berpengalaman 24 tahun dalam berurusan dengan akustik itu. Bila ada gedung lain yang dirancang untuk pertunjukan atau dipugar, menurut mereka, akustik Gedung Kesenian yang berkapasitas 420 kursi itu layak dijadikan patokan. Selama ini banyak gedung pertunjukan yang justru kelemahannya di akustiknya. Lain di Medan. Gedung yang dulunya bernama Oranje itu dibangun pada 1904. Kini gedung di Jalan Bali itu dijadikan bioskop. "Padahal, akustiknya juga sebagus Gedung Kesenian Pasar Baru," ujar Haji Abdul Rahman Qamar, 49 tahun, anggota Dewan Kesenian Medan. Jebolan ATNI, Jakarta, ini memang pernah bermain drama di dua gedung itu. Sejak gedung itu berubah fungsi, dramawan dan pemain musik di Medan kucar-kacir mencari tempat pertunjukan yang bagus akustiknya. Yopie Hidayat, Laporan Biro Jakarta & Biro Medan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini