Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang Wiryono Prodjodikoro di sisi barat lantai II Gedung Mahkamah Agung pada Selasa pekan lalu tak lagi ramai. Seleksi hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berlangsung di ruang itu sudah berakhir seminggu sebelumnya. Panitia seleksi telah meluluskan 12 dari 35 nama dalam tahap wawancara, tahap akhir seleksi.
Pada saat pendaftaran hakim ad hoc yang ditutup 3 April lalu, ada 132 pelamar. Jumlah itu menyusut menjadi 102 pada tahap seleksi administrasi. Pada tahap seleksi tertulis, lolos 83 nama. Dan lolos 35 orang pada tahap uji kajian profil. Pada tahap akhir, yang lolos hanya 12 peserta.
Mereka yang terpilih dari seleksi akhir adalah Andi Bahtiar, Anwar, Slamet Subagio, Hendra Yospin, Sofialdi, dan Ugo untuk pengadilan tingkat pertama. Di tingkat banding adalah Surya Jaya, Amiek Sumindriyatmi, dan M. Hadi Widodo. Sedangkan pada tingkat kasasi terpilih Leopold Luhut Hutagalung, Odjak Parulian Simanjuntak, dan Sophian Marthabaya.
Nama-nama tersebut, menurut Sekretaris Panitia Seleksi, Soeparno, dalam minggu ini akan diserahkan Bagir kepada Presiden Susilo Bambang Yudho-yono untuk disahkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Setelah keputusan presiden turun dan mereka mengucapkan sumpah jabatan sebagai hakim, barulah mereka boleh menjalankan tugasnya mengadili ber-bagai kasus korupsi yang dilimpahkan Ko-misi Pemberantasan Korupsi.
Hingga menjelang akhir Agustus, Komisi Pemberantasan Korupsi telah menyerahkan tujuh perkara korupsi ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta. Perkara-perkara itu memasuki tahap penuntutan. ”Dan dua kasus dalam tingkat kasasi,” ujar Wakil Ketua Kom-isi Pemberantas-an Korupsi, Erry Ryana Hardjapamekas, Kamis pekan lalu.
Tentu saja hakim ad hoc yang bertu-gas di pengadilan tingkat pertama (peng-adilan negeri) yang lebih dulu harus bergegas pindah ke Jakarta. Soalnya, se-jumlah perkara sudah menanti mereka. ”Mereka bekerja full time di sini (Jakarta),” kata Soeparno.
Persoalannya, apakah Mahkamah Agung sudah menyediakan tempat ti-ng-gal bagi para hakim ad hoc antikorupsi itu yang berasal dari daerah. Soeparno menggelengkan kepala. Menurut dia, perumahan bagi para hakim memang be-lum tersedia. Anggaran untuk peng-adaan rumah masih digodok di Biro Pe-ren-canaan Mahkamah Agung. Itu pun kemungkinan besar tidak bisa cair dalam waktu dekat. Pasalnya, pembahasan itu ditujukan untuk anggaran 2006.
Panitera/Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung, Gunanto Suryono, di hadap-an Komisi Hukum DPR pada Februa-ri lalu mengatakan Mahkamah Agung mengusulkan anggaran 2005 senilai Rp 5,4 triliun dengan pertimbangan pemberlakuan kebijakan satu atap. Semua lembaga peradilan berada di bawah Mah-kamah Agung.
Namun, Panitia Ang-garan DPR ha-nya menyetujui anggar-an Mah-kamah Agung 2005 sebesar Rp 1,105 triliun. Angga-r-an yang kecil ini, me-nurut Gunanto, te-lah mengakibatkan kerja Pengadil-an Tindak Pidana Korupsi terha-m-bat. Bisa dimengerti, sampai sekarang Mahkamah Agung tak mampu menyedia-kan fasilitas ru-mah bagi para hakimnya, termasuk 12 hakim ad hoc yang baru terpilih pekan lalu.
Bahkan tunjangan bu-lan-an bagi sembilan hakim ad hoc antikorupsi yang terpilih setahun lalu saja belum kunjung diberikan, karena keputusan presidennya belum turun. ”Termasuk hakim karier pun belum menerima gaji,” kata Soeparno.
Maria Hasugian/Heru C.N.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo