Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Komisi Kebenaran Minus Keadilan

Komisi ini tidak bertujuan menjebloskan mereka yang terlibat peristiwa kekerasan ke penjara. Sejumlah LSM menuding komisi ini alat ”pencucian dosa” pelaku pelanggaran hak asasi.

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENYUM Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Republik Timor Leste Xanana terkembang lebar. Di bawah pohon kamboja, di area kantor Gubernur Bali, Kamis dua pekan lalu, keduanya meresmikan beroperasinya kantor Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Republik Indonesia-Republik Timor Leste.

Beranggotakan 10 orang, komisi ini mempunyai tugas penting: mengungkap kebenaran akhir peristiwa sebelum dan setelah jajak pendapat tahun 1999 di Timor Timur. Lantaran mencakup dua negara, ketuanya pun dua. Dari Indonesia Benjamin Mangkoedilaga, dan Cirilo Jose Jacob Valadares dari Timor Leste.

Komisi ini tidak bertujuan menjebloskan mereka yang terlibat dalam peristiwa tadi ke penjara, tapi untuk memperkuat rekonsiliasi dan persahabatan Indonesia dan Timor Timur. ”Ini bukan committee of justice, tapi committee of truth,” kata Xanana.

Dalam kerangka kerja (term of reference) disebutkan, setelah menemukan kebenaran seputar peristiwa jajak pendapat 1999, komisi ini tidak akan merekomendasikan pembentukan badan pengadilan apa pun, kecuali memberikan sejumlah rekomendasi, yang salah satunya berupa pengampunan bagi pelaku pelanggaran hak asasi yang bersedia bekerja sama. Ide komisi ini lahir setelah Yudhoyono dan Xanana bertemu di Bali pada 14 Desember 2004.

Benjamin menjelaskan, KKP akan bekerja sesuai dengan kerangka yang disepakati kedua negara, yaitu memeriksa kembali kasus kekerasan sebelum dan sesudah jajak pendapat. Ada lima kasus yang akan diperiksa, yakni peristiwa 6 April 1999 di Liquisa, 17 April 1999 di rumah Manuel Viegas Carrascalao, 5 September 1999 di Diosis Dili, 6 September 1999 di kediaman Uskup Bello dan di Suai. ”Komisi akan memeriksa semua bahan yang didokumentasikan oleh lembaga yang melakukan penyelidikan sebelumnya, jumlahnya sekitar 11 ribu dokumen,” kata Benjamin.

Lantaran tak mengarah ke meja hijau itulah, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menuding komisi ini sekadar akan menjadi alat ”pencucian dosa” bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur. Pada awal Agustus lalu, misalnya, sejumlah LSM, antara lain Human Rights Working Group (HRWG), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), mengeluarkan pernyataan sikap. Mereka waswas, dengan adanya komisi ini, para korban kasus Timor itu tak bisa memetik keadilan.

Koordinator Kontras, Usman Hamid, menyebut jika tujuan akhir komisi ini hanya mencari kebenaran, hal itu dianggap mubazir. Menurut Usman, sebelumnya sudah ada lembaga yang melakukan upaya serupa. Di Indonesia, misalnya, ada Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi, sementara di Timor Leste ada Special Panels for Serious Crimes dan Commission of Reception, Truth and Reconciliation Timor Leste. ”Yang belum dilaksanakan kan memperkuat penuntutan atas pelakunya,” katanya.

Usman juga mempertanyakan rekrutmen keanggotaan. Ia mencontohkan masuknya mantan Kepala Staf Teritorial TNI, Agus Widjojo. ”Padahal komisi semacam ini butuh imparsialitas yang tinggi,” katanya. Memang, selain Benjamin dan Agus Widjojo, tim Indonesia adalah mantan Duta Besar RI untuk Jepang, Wisber Louis; pakar hukum Universitas Hasanuddin, Achmad Ali; dan Uskup Kupang, Mgr. Petrus Turang. Tapi Benjamin menepis kekhawatiran itu dan mengatakan, adanya Agus Widjojo justru akan membantu kerja komisi. ”Karena dia sangat tahu soal teknis kemiliteran,” ujarnya.

Menurut Usman, komisi ini juga tidak dirasa menawarkan keadilan bagi para korban. ”Karena lebih merupakan alat pelindung pelaku pelanggaran hak asasi dari cokokan pengadilan internasional,” kata dia. Padahal, menurut Usman, salah satu rekomendasi Komisi Ahli (Commission of Experts) PBB soal Timor Timur adalah perlunya pengadilan internasional untuk pelaku, karena korban tak puas atas pengadilan hak asasi di Indonesia.

Tentu saja tak ada masalah jika pemerintah mau melindungi para perwira militer yang terlibat dalam kasus Timor Timur. Hanya, kata Usman, ini harus diikuti oleh pengadilan yang serius dan transparan. ”Salah satu rekomendasi Komisi Ahli PBB kepada Sekjen PBB, pada 26 Mei lalu, adalah meminta adanya pengadilan internasional karena pengadilan ad hoc HAM di Indonesia dinilai tidak kredibel,” ujarnya.

Tak diperolehnya keadilan dalam kasus yang diselesaikan KKP ini diakui guru besar hukum pidana internasional Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita. ”Korban tidak memperoleh keadilan. Yang dilindungi pelaku,” kata Romli. Menurut Romli, dengan adanya KKP ini, memang para pelaku akan bebas dari jangkauan pengadilan internasional. Apalagi, menurut Romli, prinsip hukum internasional menyatakan tiap negara berdaulat. ”Salah satunya dengan melakukan kerja sama bilateral untuk tidak menyerahkan warga negaranya yang melakukan pelanggaran hak asasi ke mahkamah internasional,” katanya.

Namun, Romli menjelaskan, ini bukan berarti ancaman pengadilan internasional tak ada lagi. ”Resolusi Dewan Keamanan PBB itu sakti,” ujar Romli. Untuk berjaga-jaga, Romli menyarankan pemerintah terus melobi anggota tetap Dewan Keamanan PBB, khususnya Cina. Negara Tirai Bambu itu, kata Romli, pernah terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya, setelah Commission of Inquiry on East Timor (CIET) merekomendasikan adanya pengadilan internasional atas kasus Timor Timur.

Abdul Manan, Rofiqi Hasan, Rilla Nugraheni (Denpasar)


Perjalanan Menuju KKP

27 Januari 1999 Pemerintah mengeluarkan dua opsi masa depan Timor Timur, menerima atau menolak otonomi khusus.

April 1999 Terjadi pembantaian di sejumlah tempat, seperti di Gereja Liquica, rumah Mario Carrascalao.

30 Agustus 1999 Pelaksanaan jajak pendapat. Sebanyak 94.388 suara (21,5 persen) menerima otonomi khusus, 344.580 (78,5 persen) menolak. Terjadi penjarahan dan pembakaran rumah penduduk.

September 1999 Terjadi penyerangan dan pembakaran di Gereja Suai, kompleks Polres Bobonaro, Lospalos, dan Diosis Dili.

22 September 1999 Komnas HAM membentuk KPP HAM di Timor Timur.

27 September 1999 Komisi Hak Asasi PBB meminta Sekjen PBB membentuk komisi penyelidik internasional.

6 Januari 2000 International Commission of Inquiry for East Timor merekomendasikan pengadilan internasional. Indonesia merespons dengan menggelar pengadilan hak asasi.

14 Desember 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertemu dengan Presiden Xanana Gusmao di Tapak Siring, Bali, dan melahirkan kesepakatan pembentukan Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP).

18 Februari 2005 Sekjen PBB membentuk komisi ahli.

11 Agustus 2005 Yudhoyono dan Xanana meresmikan beroperasinya kantor KKP.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus