Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penampilannya menunjukkan dermaga itu sudah lama telantar. Dindingnya retak-retak dan sebagian bantalan tempat kapal bersandar hancur. Rabu pekan lalu, ketika Tempo melongok dermaga yang terletak di Kelurahan Kubangsari, Cilegon, Banten, itu, tak ada aktivitas di sana. Suasana berbeda terlihat pada dua dermaga tetangganya, milik PT Pelindo dan PT Krakatau Bandar Samudera. Di dua dermaga itu tampak kesibukan sejumlah kapal yang tengah membongkar muatan.
Ditopang trestle—tiang pancang—dermaga itu bagian proyek Pemerintah Kota Cilegon dalam membangun pelabuhan seluas 66,5 hektare di Kubangsari. Karena tumpang-tindih, proyek tersebut dihentikan pada akhir 2010. PT Krakatau Steel, yang sejak awal mengklaim lahan itu, memasukkan lahan tersebut ke komitmen pembangunan pabrik baja baru seluas 388 hektare hasil patungan dengan perusahaan baja Korea Selatan, Pohang Steel Company.
Pada awal Februari 2011, Pemerintah Kota Cilegon dan PT Krakatau Steel sepakat mengadakan perjanjian tukar guling (ruilslag) lahan itu. Perusahaan pelat merah ini juga harus mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan pemerintah Cilegon dalam proses pembangunan pelabuhan itu.
Belakangan, Komisi Pemberantasan Korupsi mengendus bau korupsi dalam proyek pembangunan pelabuhan semasa Wali Kota Cilegon dijabat Aat Syafa'at. Aat menjadi wali kota sejak 2000 hingga 2010. ”Dugaan korupsi pada pembangunan dermaga trestle anggaran tahun 2010,” kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Selasa pekan lalu, kepada Tempo.
Setelah menelisik, KPK menyimpulkan pembangunan dermaga itu membuat negara rugi Rp 11,5 miliar. Aat kini ditetapkan sebagai tersangka. Ketua Dewan Pengurus Daerah Partai Golongan Karya ini dituduh merekayasa lelang dan menggelembungkan harga pembangunan dermaga itu. ÂJumat pekan lalu, Aat diperiksa pertama kalinya sebagai tersangka. Setelah memeriksanya sekitar enam jam, hari itu juga KPK memutuskan menahan Aat.
Sebelumnya, belasan pejabat Pemerintah Kota dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Cilegon, kontraktor proyek, serta Direktur Utama PT Krakatau Steel Fazwar Bujang sudah diperiksa. Akhir April lalu, penyidik KPK menggeledah rumah Aat di Cilegon dan kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Cilegon. Pertengahan Mei lalu, KPK membawa Tim Selam Independen Ahli Konstruksi Institut Teknologi Bandung mengecek tiang pancang di bawah dermaga itu. ”Jumlahnya bukan 170 seperti diklaim Pemerintah Kota Banten,” kata Ananta, Ketua Tim Selam. ”Hanya beberapa buah.”
Menurut seorang kontraktor di Cilegon, proyek pelabuhan ini bermasalah sejak awal karena dibangun di atas lahan sengketa. Awalnya, PT Krakatau Steel membeli lahan itu dari PT Duta Sari Prambanan senilai Rp 34 miliar. Badan Pertanahan Nasional lalu menerbitkan sertifikat hak guna bangunan atas nama Krakatau Steel.
Namun pemerintah Cilegon, pada 2012, mengklaim lahan itu miliknya dengan dalih telah memberi uang kadeudeuh Rp 12 miliar kepada 97 penggarap lahan. ”Karena status lahannya tak jelas, tak ada perusahaan yang mau diajak berinvestasi,” ujar kontraktor pengurukan lahan ini. Alhasil, Aat pun mendanai penuh proyek itu dari kas pemerintah Cilegon. Pembangunan pelabuhan tersebut dimulai awal Oktober 2009.
Dugaan penyimpangan inilah yang tengah diurai KPK. Aat diduga mengalihkan pos anggaran lain untuk membiayai pembangunan dermaga pelabuhan itu. Pada anggaran 2010, misalnya, diduga dana Rp 20 miliar dari Kementerian Pendidikan dan Rp 30 miliar dari Kementerian Keuangan dialihkan untuk proyek tersebut.
Pemenang tender proyek ini, PT Galih Medan Perkasa, ternyata juga masih dari lingkungan keluarga Aat. Kuasa direkturnya, Ibrohim Badawi, adalah suami anak kelima Aat. Oleh PT Galih, proyek itu disubkontrakkan ke PT Baka Raya Utama, milik Lizman Iman Rayadi, keponakan Aat, yang meninggal setahun lalu.
Menurut Busyro, KPK akan mengembangkan dugaan korupsi yang dilakukan Aat. Menurut seorang penyelidik, selain menyediakan 45 hektare lahan pengganti, PT Krakatau Steel telah mengganti biaya Rp 98 miliar yang dikeluarkan pemerintah Cilegon dalam proses pembangunan pelabuhan itu. Duit-duit itu juga akan ditelusuri KPK. ”Tidak akan ada yang bisa mengintervensi,” kata Busyro berjanji.
Ditemui Tempo di kantor Wali Kota Cilegon, Senin dua pekan lalu, Aat tak mau banyak bicara soal kasus yang menjeratnya. ”Doakan saja, ya,” ujar Aat sembari bergegas menuju mobilnya, Lexus LX 570. Sebelumnya, ia mengatakan proyek Pelabuhan Kubangsari justru menguntungkan negara. Selain mendapat penggantian lahan, kata dia, negara mendapat penggantian biaya investasi.
DI SEPANJANG jalan lingkar selatan Cilegon nyaris tak ada bagian yang tidak berlubang. Di beberapa titik, lubang-lubang tersebut ”bersatu” membentuk kubangan. Jika tidak sangat terpaksa, warga Cilegon memilih memutar ketimbang melintasi jalan itu. ”Sekarang orang Cilegon menyebutnya jalan lingkar setan,” kata bekas anggota DPRD Cilegon, Nawawi Sahim. Ia menjadi anggota Dewan saat periode kedua Aat menjadi wali kota.
Diresmikan akhir Desember 2009, inilah salah satu proyek mercusuar pemerintah Cilegon semasa dipimpin Aat. Selain pembangunan jalan itu, ada proyek Terminal Terpadu Merak, hibah dana pembangunan Islamic Center, serta pembangunan Pasar dan Sub-Terminal Pasar Kranggot. Sebagian realisasi proyek itu bergulir menjelang pemilihan Wali Kota Cilegon 2010, yang dimenangi anak Aat, Iman Ariyadi.
Sejumlah dana proyek itu diduga kemudian digangsir Aat. Dugaan penyimpangannya proyek-proyek tersebut sudah diendus sejumlah instansi penegak hukum. Tapi sejumlah sumber Tempo di Kota Baja—julukan Cilegon—menyebutkan tidak hanya dari proyek itu saja Aat dan keluarganya mengumpulkan kekayaan. Sejumlah proyek lain juga ditengarai dikorup demi kepentingan pribadi.
Proyek Jalan Lingkar Selatan misalnya. Dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan pada 2010, bahan-bahan pembuatan jalan tidak sesuai dengan spesifikasi. SeÂorang pejabat Pemerintah Kota Cilegon mengatakan tanah untuk jalan itu dibeli dulu oleh Aat, kemudian dijual dengan harga tiga sampai empat kali lipat. Proyek senilai Rp 113 miliar ini tengah diselidiki kejaksaan. ”Kasusnya kini di Kejaksaan Agung,” ujar Kepala Kejaksaan Negeri Cilegon Reda Mantovani.
Soal kongkalikong pengadaan tanah juga diduga terjadi pada proyek pembangunan Pasar dan Sub-Terminal Pasar Kranggot, Gedung Seni dan Budaya, serta Terminal Terpadu Merak. Dari temuan BPK dan Kejaksaan Negeri Cilegon, harga tanah itu sudah digelembungkan. Sumber Tempo di Bagian Perlengkapan Kota Cilegon mengatakan tanah-tanah itu dibeli dari keluarga Aat. Misalnya, lahan Sub-Terminal Pasar Kranggot dibeli dari Ati Marliati, anak sulung Aat, pada Maret 2009. ”Harganya bisa sampai empat kali lipat dari saat dibeli Ati,” katanya.
Modus hibah juga kerap dilakukan Aat untuk menggangsir duit negara. Pada 2010, misalnya. Menurut catatan anggaran Pemerintah Kota Cilegon 2009, tercantum duit hibah senilai Rp 18 miliar untuk yayasan milik Aat. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga menemukan dugaan korupsi hibah besi rangka eks Pasar Baru Cilegon kepada Pondok Pesantren Daarul Ishlah milik Aat pada September 2009. Dalam hibah itu, negara diduga dirugikan sedikitnya Rp 566 juta.
Selama menjadi wali kota, menurut sumber Tempo, Aat kerap memberikan proyek pemerintah Cilegon kepada perusahaan keluarga dan kroninya. Sumber itu menunjuk proyek Pelabuhan Kubangsari dan Jalan Lingkar Selatan. Dari catatan Kamar Dagang dan Industri Banten, sedikitnya ada 20 perusahaan milik keluarga dan kroni Aat yang kerap menggarap proyek Cilegon. ”Sekarang pun masih terjadi,” kata sumber itu.
Menurut Nawawi, saat ia menjadi anggota DPRD, setiap tahun memang diduga terjadi kebocoran anggaran pemerintah Cilegon sebesar 20-30 persen. Namun tak ada yang berani mengusik karena Aat punya kekuatan uang, politik, dan massa. Penegak hukum yang menyelidiki korupsi itu paling tinggi hanya menjerat pejabat pelaksananya. ”Baru KPK saja yang berani menjerat Aat,” ujar Nawawi.
Menurut anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho, langkah KPK menetapkan Aat sebagai tersangka bisa menjadi pintu masuk mengungkap dugaan korupsi lain di Cilegon. ”Khususnya yang diduga menyangkut keluarga Aat.”
Kepada Tempo, Senin dua pekan lalu, setelah mendampingi Wali Kota Iman Ariyadi menerima Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Aat menolak diwawancarai. ”Saya tak enak badan,” ujarnya. Ia meminta Tempo menghubungi dulu Bagian Komunikasi dan Informasi Pemerintah Kota Cilegon jika mau mewawancarainya.
Jumat pekan lalu, saat keluar dari gedung KPK menuju mobil tahanan, Aat juga tak menjawab pertanyaan wartawan yang mencercanya perihal kasus yang membelitnya. Kepada wartawan, pengacara Aat, Maqdir Ismail, menyatakan Aat tak bersalah dalam kasus ini. Maqdir juga menyesalkan penahanan kliennya itu. Dia menyebutkan Aat memiliki penyakit jantung dan menurut dokter mesti dioperasi. ”Kalau ada apa-apa dengan dia, siapa bertanggung jawab?” kata Maqdir.
Anton Aprianto, Isma Savitri (Jakarta), Wasi'ul Ulum (Cilegon)
Kisah Lalu Bapak Pembangunan
JALAN Bojonegara yang berbatasan dengan Jalan Kapten Piere Tendean, Cilegon, Banten itu bak galeri kekayaan Aat Syafa'at dan keluarganya. Di sana, berdiri empat rumah megah sekelas hunian mewah di Pondok Indah, Jakarta, milik Aat dan tiga anaknya. Dibangun masing-masing di atas tanah sekitar 700 meter persegi, empat rumah jembar berlantai dua itu kontras dengan hunian di sekitarnya.
Di ruas jalan itu juga ada bangunan bergaya kolonial Belanda milik Aat, yang dipakai Ati Marliati, anak sulungnya, sebagai butik. Selama Aat menjadi wali kota, butik berlabel Ratu Collection itulah yang memasok batik untuk pelajar dan pegawai negeri di Cilegon. Butik itu persis berdampingan dengan rumah Aat.
Di seberang rumahnya, Aat tengah membangun rumah sakit bersalin. Tak jauh dari sana ada Masjid Baitul Ishlah dan Pondok Anak Yatim Darus Syafa'at, juga milik Aat. Hanya beberapa langkah dari Pondok Anak Yatim, ada kantor dinas kesehatan, yang bangunan dan lahannya milik keluarga pria kelahiran Cilegon 64 tahun lalu itu. ”Jalan ini seperti Jalan Cendana di Jakarta,” kata Wawan, penggiat antikorupsi di Cilegon. Maksud Wawan, di sepanjang jalan itu banyak rumah atau bangunan milik keluarga Aat. Mirip Jalan Cendana, kawasan tempat bermukimnya bekas presiden Soeharto.
Pada hari ulang tahun Cilegon ke-13, akhir April lalu, Aat dihadiahi gelar Bapak Pembangunan oleh Wali Kota Cilegon Iman Ariyadi, yang juga anaknya sendiri. Predikat yang sama juga pernah disandang Soeharto.
Di mata tokoh masyarakat Cilegon, Nawawi Sahim, gelar Bapak Pembangunan itu mengada-ada. Menurut dia, pembangunan yang dilakukan Aat ketika menjabat wali kota tidak banyak dirasakan warga, tapi hanya dinikmati keluarga dan kroninya. Semua infrastruktur yang dibangun Aat, kata bekas anggota DPRD Cilegon ini, kini banyak yang rusak. Selain tidak dikerjakan serius, ujar dia, sebagian duit proyek-proyek itu diduga menguap. Ia menunjuk contoh proyek Jalan Lingkar Selatan dan Terminal Terpadu Merak.
Kendati sudah tidak menjabat wali kota, menurut Nawawi, Aat tetap memiliki pengaruh besar di pemerintahan Cilegon. Melalui anaknya yang jadi wali kota itu, dia tetap mengendalikan proyek penting di Cilegon. Seorang anggota staf Pemerintah Kota Cilegon membenarkan apa yang diungkapkan Haji Nawawi. ”Semua proyek penting memang harus dilaporkan ke Wali Kota Sepuh, Tubagus Aat,” kata dia.
Gelar Tubagus yang dipakai Aat di depan namanya, kata Nawawi, juga hanya klaim. Kendati ibunya bergelar ratu, kata pendekar Cilegon ini, ayah Aat bukan bangsawan Banten, melainkan hanya warga biasa dari Cirebon, Jawa Barat.
Nawawi menyatakan mengenal Aat jauh sebelum ia menjadi wali kota. Sebelum menjadi wali kota, kata dia, Aat adalah Lurah Jombang Wetan, Cilegon, dan sebelum menjadi lurah bekerja serabutan di terminal dan pelabuhan. ”Menjadi preman terminal dan pelabuhan,” ujar Nawawi.
Setelah terpilih jadi anggota DPRD Cilegon pada 1999, kehidupan Aat mulai membaik. Belum setahun menjadi anggota Dewan, lewat Partai Golkar, ayah lima anak ini mencalonkan diri sebagai wali kota. Melalui pemungutan suara di DPRD, ia terpilih menjadi wali kota pertama kota baja itu.
Ditanya Tempo tentang kekayaan dan perjalanan hidupnya itu pada Senin dua pekan lalu, setelah mendampingi Iman Ariyadi menerima Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Aat tak mau menjawab. Dia mengaku tak enak badan. Ditunggu hingga pekan lalu, Iman Ariyadi dan Ati Marliati juga hanya melontarkan janji tengah mencari waktu untuk bisa diwawancarai.
Anton Aprianto
Tambang Fulus Sang Wali Kota
Menjadi Wali Kota Cilegon dua periode, Aat Syafa'at diduga banyak menambang duit negara untuk memperkaya keluarga dan kroninya. Asetnya berserakan di setiap sudut kota itu. Sejumlah kasus kini membelitnya. Ada yang yang ditangani KPK, ada yang dipegang kejaksaan.
Jejaring Keluarga Wali Kota Sejumlah anak dan besan Aat Syafa'at menduduki posisi penting. Inilah di antaranya.
Sumarliyah (Istri): Pemborong tanah dan pengusaha pasar.
Aat Syafa'at : Wali Kota 2000-2010 dan Ketua DPD Golkar Cilegon.
Robiatul Adawiyah : Suaminya, Ibrohim Madawi, direktur perusahaan penggarap proyek Pemerintah Kota Cilegon.
Amalia Hayani : Suaminya, Yusuf, direktur perusahaan penggarap proyek Pemkot Cilegon (CV Karya Putra Mandiri).
Iman Ariyadi : Wali Kota Cilegon 2010-2015 dan pemilik Mangku Putra Group.
Ade Hidayat : Menjabat Kepala Kepolisian Resor Pandeglang, Banten.
Ati Marliati : Menjabat Asisten Daerah Bidang Pemerintahan Kota Cilegon dan pengusaha butik.
Arief Rivai Madawi : Menjabat Ketua DPRD Cilegon.
Taufiqurrahman : Menjabat Kepala Dinas Tenaga Kerja Cilegon.
Suminar : Menjabat Kepala Dinas Kesehatan Cilegon.
Perusahaan keluarga besar Aat menjadi pelanggan proyek Pemerintah Kota Cilegon milik adik, keponakan, dan kroni Aat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo